Banda Aceh, 13 Shafar 1438/13 November 2016 (MINA) – Jihad paling akbar bagi seorang Muslim adalah perjuangan untuk memperbaiki dirinya sendiri, perjuangan melawan nafsu diri dan godaan setan yang membawa kepada kejahatan yang mendatangkan murka Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Bila kita melakukan perang melawan semua hal ini, maka sesuai ajaran Islam kita ini dianggap sebagai sedang berjihad dalam makna paling luhur. Membelanjakan harta untuk membantu penyebaran agama Allah serta mengajak kepada yang makruf dan meninggalkan yang mungkar juga bentuk jihad yang lainnya.
Demikian antara lain disampaikan Teuku Azhar Ibrahim Lc, Pimpinan Dayah Baitul Arqam Sibreh, Aceh Besar saat mengisi pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak Jeulingke, Rabu (9/11) malam.
“Jihad yang paling utama di sini adalah perjuangan memperbaiki diri, keluarga dan masyarakat dengan menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya dan meninggalkan yang dilarang. Sementara jihad berperang melawan orang kafir dan munafik itu adalah untuk membela diri serta mempertahankan kehormatan dan kemuliaan Islam karena penghinaan oleh musuh-musuh,” ujar Ustaz Azhar.
Baca Juga: Menag RI dan Dubes Sudan Bahas Kerja Sama Pendidikan
Ia menyebutkan, upaya umat Islam di Aceh yang saat ini sedang berjuang untuk menerapkan syariat agamanya juga merupakan bagian dari jihad menegakkan agama Allah di muka bumi. Karenanya, ini perlu dilakukan dengan sungguh-sungguh, tidak boleh setengah hati.
“Yang paling penting, kita tidak boleh pesimis dengan penerapan syariat Islam di Aceh yang masih belum seluruhnya berjalan sesuai harapan, tapi minimal sudah lebih baik dengan daerah-daerah lain. Teruslah kita ini kita perjuangan dengan usaha-usaha penuh keyakinan kita bersama, hasilnya kita serahkan kepada Allah,” jelas Ustaz lulusan Universitas Al-Azhar Kairo Mesir ini.
Teuku Azhar yang lama menetap di Australia untuk berdakwah bersama beberapa dai dari seluruh dunia di Negara Kangguru itu menyampaikan, Aceh paling tidak perlu menyiapkan enam hal guna memperkuat kehidupan masyarakat sesuai syariat Islam.
Pertama, menciptakan masyarakat yang kuat imannya sebagai landasaan ideal dan spiritual dari sebuah masyarakat. Setiap mukmin harus menjadi auliya bagi mukmin lainnya. Maknanya adalah mereka saling mengasihi, menyayangi, tolong menolong dalam kebaikan,karena adanya kedekatan diantara mereka atas dasar kesamaan dalam beberapa hal yang sangat prinsip dalam kehidupan, yaitu akidah (tauhid), pedoman hidup (Alquran dan Sunnah), dan tujuan hidup (meraih keridhaan Allah, bahagia di dunia dan akhirat) Persamaan dalam tiga unsur tersebut diharapkan akan memicu sinergi antara satu dengan lainnya.
Baca Juga: Mendikti Sampaikan Tiga Arah Kebijakan Pendidikan Tinggi Indonesia
Kedua, melaksanakan ibadah dan perintah Allah penuh keyakinan. Sebagai realisasi dari keimanan, yaitu selalu mengerjakan shalat lima waktu (lebih utama berjamaah) dengan memerhatikan syarat, rukun dan etikanya. Dilakukan secara terus menerus sepanjang hayat dan dikerjakan dengan baik dan khusyu’, agar hikmah shalat berubah menjadi kepribadian seseorang.
“Hari ini kita melihat di Aceh, masih banyak masjid di Aceh yang masih sangat minim dari jamaah shalat berjamaah, hanya masjid-masjid di kota saja yang terisi jamaah shalat. Ini tentunya tidak sesuai dengan ajaran syariat Islam,” terangnya.
Ketiga, masyarakat yang kuat melakukan amar makruf, yaitu memerintahkan yang lain untuk berbuat kebaikan. Maksud kebaikan di sini adalah segala yang dipandang baik oleh agama dan akal. Mereka juga saling mencegah berbuat kemungkaran atau suatu perilaku yang dipandang jelek baik menurut agama maupun akal.
“Maka semua elemen masyarakat harus saling bahu membahu untuk menghindari kemungkaran. Saat ini, bentuk-bentuk kemungkaran telah berkembang bahkan berubah sesuai budaya dan perilaku manusia, walaupun substansinya masih sama dengan apa yang disebutkan dalam Alquran.
Baca Juga: Kedutaan Besar Sudan Sediakan Pengajar Bahasa Arab untuk Pondok Pesantren
Tersingkirnya prinsip amar ma`ruf nahi munkar ini akan menyebabkan masyarakat bisa hancur,” ungkapnya.
Kelima, adanya kepedulian sosial melalui zakat dan menginfakkan hartanya di jalan Allah. Zakat bentuk rasa kesetiakawanan sosial, empati, berbagi dengan orang lain. Dengan zakat, manusia tidak lagi kikir, egois, materialistis. Dengan zakat, kesenjangan ekonomi tidak begitu melebar.
Jika zakat sebuah kebijakan agama yang demikian mulia, maka cara menunaikannya juga harus baik, yaitu sesuai dengan ketentuan, diberikan kepada yang berhak, dan pemberi zakat mendatangi sendiri para mustahiknya, seakan dia yang membutuhkan kepada mereka.
Keenam, rujukan ilmu agama yang kuat. Mengatasi berbagai persoalan kehidupan diperlukan ilmu sebagai rujukan. Dalam Islam rujukan yang betul-betul kredibel adalah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, dalam semua lini kehidupan, baik dalam soal akidah, mu’amalah, ibadah maupun akhlak. Taat kepada Allah berarti taat kepada ajaran yang ada dalam Alqur’an. Sementara taat kepada Rasul adalah taat kepada apa yang ada dalam Hadits.
Baca Juga: Konferensi Internasional Muslimah Angkat Peran Perempuan dalam Pembangunan Berkelanjutan
“Tidak ada dikotomi ilmu dalam Islam, ilmu agama dan umum itu sama. Hanya yang satu fardhu ain dan fardhu kifayah. Kita juga perlu menghargai khilafiyah. Silahkan pelajari ilmu segala mazhab untuk diketahui dan diamamlkan. Umat Islam harus bersatu dengan apa yang kita sepakati dan toleransi yang tidak disepakati jika itu menyangkut khilafiyah dalam furu’iyah ibadah,” katanya. (T/R05/P2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Tingkatkan Literasi Al-Aqsa, AWG Gelar Sosialisasi di PPTQ Khadijah Pesawaran Lampung