Perang Dunia 1, Antiklimaks Kesultanan Utsmani

Oleh: Rendy Setiawan, Jurnalis MINA

Kesultanan pernah menjadi salah satu pusat kekuatan dunia selama hampir 7 abad lamanya. Selama itu pula, Utsmani mengalami berbagai peristiwa yang mengubah wajah dunia. Peristiwa paling besar yang pernah terjadi di masa kejayaan Utsmani adalah ketika mampu membebaskan Konstantinopel dari tangan Romawi tahun 1453 masehi.

Sultan Muhammad Al-Fatih sang inisiator pembebasan kota tersebut kemudian memindahkan pusat kota Utsmani dari Anatolia ke Konstantinopel. Selain kehebatan Sultan Muhammad Al-Fatih, nama lain yang tak kalah tenar hingga terdengar di telinga masyarakat Eropa adalah Sultan Sulaiman Al-Qanuni.

Dosen UIN Yogyakarta, M. Abdul Karim dalam buku “Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam” menuliskan bahwa Sulaiman Al-Qanuni adalah seorang khalifah yang saleh. Ia mewajibkan rakyatnya shalat lima waktu dan berpuasa di Bulan Ramadan. Jika ada yang melanggar, tidak hanya dikenai denda namun juga sangsi badan.

Selepas Sultan Sulaiman Al-Qanuni wafat pada 1566 Masehi, Imperium Utsmani mengalami masa kemunduran. Meski tidak langsung terasa, banyak peristiwa yang mengindikasikan bahwa Utsmani sedang dalam situasi yang mengkhawatirkan.

Konstitusi Utsmani

Pada pertengahan tahun 1876 Masehi, untuk pertama kalinya Utsmani mengumumkan adanya pembentukan Konstitusi Utsmani. Konstitusi yang hanya berjalan beberapa bulan ini diinisiasi oleh Kelompok Turki Muda, berkiblat pada sistim kepemerintahan yang banyak dianut negara-negara Barat saat itu.

Menurut Sejarawan William L. Cleveland, beberapa anggota Kelompok Turki Muda menyimpulkan rahasia kesuksesan Eropa bukan hanya terletak pada pencapaian teknis tetapi juga pada organisasi politiknya. Mereka berpandangan bahwa konstitusi berperan sebagai fungsi pemeriksaan atas otokrasi dan memberikan kesempatan untuk mengubah kebijakan.

yang saat itu baru saja menerima mandat sebagai pucuk pimpinan Utsmani berjanji akan menegakkan konstitusi tersebut. Tak sampai setahun berselang pandangan Sultan Abdul Hamid II mengenai Konstitusi Utsmani berubah 180 derajat, dari yang awalnya mendukung menjadi menolak.

Tahun 1877 Masehi, Sultan Abdul Hamid II memberanikan diri untuk membekukkan Konstitusi Utsmani hingga waktu yang belum ditentukan, meski ia mengetahui risiko yang akan dihadapi. Kenekatannya dilatarbelakangi akibat munculnya beberapa pemberontakan di wilayah perbatasan dan perseteruan dengan Kekaisaran Rusia yang ingin memperluas pengaruhnya hingga Laut Hitam.

Perseteruan itu diawali dari keinginan orang-orang ultra-nasionalis di wilayah Balkan untuk merdeka dari Utsmani. Kegaduhan antara Istanbul dengan sejumlah pihak di Balkan membuka peluang Kekaisaran Rusia masuk di dalamnya. Sultan Abdul Hamid II berpandangan bahwa Konstitusi Utsmani hanya akan membuat wilayah Utsmani semakin terkikis.

Menurut Eugene Rogan dalam buku “The Fall of the Khilafah”, ikut campurnya Kekaisaran Rusia didasari oleh pandangan bahwa mereka adalah penerus Byzantium dan pemimpin spiritual gereja Ortodoks Timur. Dengan situasi itu, tamatlah riwayat konstitusi yang dikenal sebagai Konstitusi Utsmani 1876 itu.

Perjanjian Berlin

Pada 24 April 1877 masehi, Kekaisaran Rusia mendeklarasikan perang terhadap Utsmani. Di tahun yang sama, Rusia yang dibantu Austria-Hongaria dan sejumlah negara di wilayah Balkan berhasil mengepung Istanbul. Gerak cepat Rusia tidak bisa diimbangi Utsmani yang saat itu sedang mengalami konflik horizontal.

Pada Juni 1878 masehi, delegasi Utsmani terbang ke Berlin, Jerman, untuk menghadiri Kongres Berlin. Menurut Rogan, pertemuan itu dihadiri oleh sejumlah delegasi dari negara Eropa seperti Inggris, Perancis, Austria-Hongaria hingga Italia untuk membahas perseteruan Istanbul-Krimea dalam setahun terakhir.

Pertemuan di Berlin itu kemudian menghasilkan apa yang dinamakan Perjanjian Berlin. Sebagai buntut kekalahan atas Pasukan Tsar Rusia, Utsmani menderita kerugian teritorial yang sangat besar. Utsmani harus merelakan dua per lima dari wilayahnya dan seperlima penduduknya di Balkan dan Anatolia Timur lepas.

Utsmani juga kehilangan sejumlah wilayah lain yang dicaplok beberapa negara Eropa. Selain daerah yang diserahkan dalam Perjanjian Berlin, Inggris memperoleh Siprus dan Mesir tahun 1882 masehi. Sementara Perancis mencaplok Tunisia tahun 1881 Masehi.

Setelah Perjanjian Berlin yang merugikan, Sultan Abdul Hamid II tidak lagi mau mendengar adanya seruan dan suara-suara sumbang mengenai konstitusi, termasuk kritikan terhadap sang Sultan. Siapa saja yang tidak mematuhinya, akan segera ditangkap. Sikap itulah yang kemudian dijadikan oleh Kelompok Turki Muda sebagai sikap Hamidian Absolutism.

Antara tahun 1908 dan 1913, Utsmani menghadapi ancaman internal dan eksternal yang sangat berat. Salah satunya adalah suara untuk kembali kepada aturan Konstitusi Utsmani 1876, diiniasiasi oleh kelompok yang mengatasnamakan dirinya sebagai Komite Persatuan dan Kemajuan Turki (CUP).

Pada 3 Juli 1908, anggota CUP dari militer, Ajudan Mayor Ahmed Niyazi, memimpin 200 tentara bersenjata lengkap dan warga sipil pendukungnya untuk mengobarkan revolusi. Mereka menuntut Sultan Abdul Hamid II mengembalikan Konstitusi 1876 dan menghidupkan Parlemen Utsmani.

Upaya yang kemudian dinamai Revolusi Turki Muda ini berhasil. Sultan Abdul Hamid II mengabulkan tuntutan mereka

Revolusi tak menyudahi persoalan di dalam negeri. Kondisi di luar pun dipenuhi hiruk-pikuk peperangan. Rusia bergabung dengan Inggris dan Perancis membentuk persekutuan yang dikenal sebagai Sekutu. Jerman yang saat itu berperang dengan Sekutu mengajak Utsmani yang memang masih punya masalah dengan tiga kekuatan itu.

Utsmani masuk dalam pusaran Perang Besar pada November 1914. Sejarah kemudian mencatat, keputusan inilah yang menjadi antiklimaks Utsmani. Sempat menang di Galipolli berkat seorang perwira bernama Mustafa Kemal, Utsmani tak kuasa menerima kekalahan demi kekalahan. Bersama Jerman, Utsmani pun menjadi pecundang pada Perang Besar tersebut.

Rogan berpendapat, kekalahan Utsmani itu merupakan bencana besar bagi kekhalifahan. Bukan berarti Utsmani tak pernah kalah. Sejak tahun 1699 Masehi, Utsmani berperang dan mereka kerap kalah. Tapi, kekhilafahan masih bisa berdiri tegak. Menurut Rogan, kondisinya sangat berbeda setelah Perang Dunia 1.

Perjanjian Sevres

Sekali lagi, Utsmani dipaksa menerima kenyataan. Mereka tak punya pilihan lain kecuali bekerja sama dengan pemenang perang. Mereka mesti menyepakati Perjanjian Sevres, meskipun isinya memberatkan seperti pembagian wilayah oleh Eropa. Namun, Gerakan Nasional Turki yang dipimpin Mustafa Kemal mengakui bahwa Utsmani tak mungkin mengembalikan wilayah yang sudah lepas.

Menurut situs Wikipedia, perjanjian Sevres ditandangani Sekutu pada Selasa 10 Agustus 1920 di Paris, Perancis, setelah melalui 15 bulan perencanaan. Perjanjian ini dirancang untuk semakin melemahkan kekuatan Utsmani melalui sanksi-sanksi berat di dalamnya. Italia, Inggris dan Perancis menandatanganinya atas nama Sekutu yang menang.

Salah satu point penting dari perjanjian adalah pembagian wilayah Utsmani di Timur Tengah. Perancis mengambil alih Lebanon, Suriah dan wilayah di Anatolia bagian selatan, sementara Inggris mengambil alih Palestina dan Irak. Ketentuan pembagian ini telah diputuskan dalam Perjanjian rahasia Sykes-Picot tahun 1917.

Sementara itu, Yunani yang aktif dalam perlawanan terhadap Utsmani diberi kendali atas Smirna, meskipun secara teknis tetap berada dalam Utsmani. Namun, orang-orang Smirna diberi pilihan referendum mengenai apakah mereka ingin tetap menjadi bagian Utsmani atau bergabung dengan Yunani.

Sementara Italia diberi Kepulauan Dodecanese serta pengaruh di wilayah pesisir Anatolia.

Perjanjian itu membuat Selat Dardanelles menjadi perairan internasional dan melucuti kekuasaan Utsmani atasnya. Selain itu, beberapa pelabuhan dekat Istanbul berubah menjadi zona bebas internasional yang bebas dilalui. Secara teritorial ini merupakan kerugian besar bagi sebuah negara.

Perjanjian Sevres bertujuan mengamankan kepentingan Sekutu di Timur Tengah. Selain itu, Sekutu juga memperoleh sumber daya minyak yang belum lama ditemukan di daerah itu. Perjanjian Sevres juga mengakui daerah-daerah tertentu sebagai negara berdaulat yang independen, di antaranya Kerajaan Hijaz dan Armenia.

Ketentuan dalam Perjanjian Sevres ditentang oleh salah satu anggota Revolusi Turki Muda, Mustafa Kemal. Menurut Kemal, Perjanjian Sevres sangat memberatkan rakyat Turki bukan pemimpin-pemimpin Utsmani.

Tahun 1922, Kemal membawa pasukannya dalam tiga pertempuran melawan Armenia, Perancis, dan Yunani. Ia memenangkan ketiga pertempuran itu dan dianggap pahlawan bergelar “Ataturk”. Ia berhasil menguasai politik dalam negeri.

Pada 3 Maret 1924, Kemal bersama Grand National Assembly (Majelis Agung Nasional Turki), mengakhiri riwayat perjalanan panjang nan mengagumkan Utsmani. (A/R06/RS1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rendi Setiawan

Editor: illa

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.