Agama Bukan Ideologi

(Tanggapan atas pidato pada ke-44)

Oleh:   YAYAN DNS

Atmosfer Politik yang terbakar oleh suhu politik Pilkada DKI Jakarta dan kasus penodaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terasa semakin panas setelah Megawati Soekarno Putri berpidato dalam ulang tahun PDI Perjuangan (PDIP) yang ke-44.

Dalam pidatonya, Mega menyatakan “Di sisi lain, para pemimpin yang menganut ideologi tertutup pun memosisikan dirinya sebagai pembawa self fulfilling prophecy”, para peramal masa depan. Mereka dengan fasih meramalkan yang akan pasti terjadi di masa yang akan datang, termasuk dalam kehidupan setelah dunia fana, yang notabene mereka sendiri belum pernah melihatnya.  Kontan saja pidato itu disimpulkan oleh sejumlah pihak sebagai penodaan terhadap agama Islam.

Adalah Baharuzaman yang melaporkan kepada polisi atas pidatonya, padahal Megawati tidak sekalipun menyebut  nama Islam dalam pidatonya yang didengar dan dilihat oleh jutaan pirsawan melalui layar kaca di seluruh Indonesia.

 

“Bukan penistaan” khusus kepada Islam

Tentang “hari depan setelah alam fana adalah puncak keimanan semua penganut agama : Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu. Jadi, hemat kami, Ibu Mega hanya tidak percaya kepada kehidupan alam keabadian setelah alam fana (dunia) sebagai bentuk keimanan bagi semua ummat beragama. Perlu dicatat dengan huruf tebal, bahwa semua agama tidak memaksakan ajaran keimanan kepada mereka yang memang tidak mau beriman.

Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. ….. (Q.S. Al-Kahf [18]: 29).

Adalah hak prerogratif Megawati untuk beriman atau tidak, jadi bukan penistaan agama, tetapi mutlak pilihan hati nurani dia sendiri, hak berekspresi yang dilindungi konstitusi.

Agama bukan ideologi

Semua agama datang dari Tuhan, bukan lahir dari sebuah ide atau gagasan manusia yang dituangkan dalam untaian kata-kata yang kemudian menjadi sebuah ideologi seperti yang dilakukan Plato, Socrates, John Lock, Nicollo Machiavelly, Karl Mark, Adam Smith, Montesque, Thomas Moore dan lain lain. Kini, ideologi ciptaan mereka mewarnai jagat perpolitikan, tertutup atau terbuka, terang terangan atau terselubung.

Namun, menurut penulis, agama Islam bukan merupakan ideologi seperti yang dicetuskan para tokoh di atas. Islam sangat terbuka, terang terangan disebarkan kepada seluruh ummat manusia, tidak tertutup dan tidak ada rahasia dalam dakwahnya.

Tap MPRS No 25/1966, Larangan bagi Atheisme

Memang Tap MPRS NO.25/1966, berbunyi “Tidak ada tempat di In-donesia bagi orang yang tidak beragama”. Artinya, setiap orang yang mengaku dirinya berpancasila pasti beragama dan percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tapi sepanjang pandangan kami, Tap MPRS  itu hanya berfungsi sebagai “dokumen sejarah” semata mata yang tidak mempunyai kekuatan hukum. Penulis sendiri tidak tahu siapa sebenarnya yang berkewajiban mengawal peraturan ini.

yang tidak bertuhan, berteriak paling Pancasilais

Tudingan “anti ” dan “kontra revolusi” menjadi senjata ampuh bagi PKI di zaman orde lama untuk menghancurkan lembaga/organisasi yang dianggapnya sebagai musuh. Ciri khas strategi perjuangan kader-kader PKI adalah mereka gencar menekan penguasa untuk membubarkan segenap kekuatan yang dianggap  sebagai rintangan dalam menjalankan visi dan misinya.

Dalam sejarah kita bisa simak, mereka gencar memberondong lawan-lawannya, antara lain : Partai Murba, PSI dan Masyumi sehingga mereka dibubarkan. Terakhir menjelang, prolog pemberontakan, PKI mendesak  agar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dibubarkan, tetapi gagal. Bung Karno acuh tak acuh terhadap tekanan dan tuntutan PKI tersebut.

Pancasila sebagai akhlak dan budaya bangsa yang luhur dan bermartabat oleh PKI hanya dijadikan alat pukul yang ampuh dan mematikan. Sekarang jelas dan terang benderang, bahwa indikasi itu sangat jelas di panggung politik saat ini dengan  adanya tekanan untuk membubarkan FPI.

Tidak mustahil, kalau hal itu telah berhasil akan disusul kemudian dengan tekanan bubarkan MUI, ICMI, Ormas dan Partai Islam serta semua agama yang ada. Begitu strategi jitu mereka, terpogram dan tersusun dengan rapi.

Megawati tidak perlu diajukan ke ranah hukum

Menurut hemat kami, beriman atau tidak berimannya Megawati terhadap firman Ilahi tentang “kehidupan setelah dunia fana” bukan urusan orang-orang yang beragama, tetapi urusan dia dengan Tuhannya. Biarlah Tuhan yang menentukan balasan terbaik untuk Mega.

Kita generasi ummat beragama, terutama generasi muda tinggal menyaksikan, bagaimana akhir kehidupan beliau yang secara duniawi hidup berlimpah dan gemerlapan kekuasaan. Beliau sendiri dan sejarah yang akan mencatat dan menjadi saksi atas apa yang ia ucapkan dan bagaimana kesudahannya.

Pahlawan bukan turunan

Memetik pandangan Moh Natsir, tentang Soekarno pada Majalah Panji Masyarakat, 21 Juni 1970, ketika melepas Almarhum Bung Karno pulang ke Rahmatullah : “Sungguh banyak para pahlawan di negeri ini (Indonesia), terbukti dengan bertebarannya komplek Taman Makam Pahlawan di mana mana, tetapi dari sekian banyak para pahlawan, tidak seorangpun yang setara dengan Bung Karno, rasanya sangat sulit bagi bangsa ini untuk mencari Bung Karno kedua dalam satu abad ke depan”.

Dari sejak itu, penulis tidak pernah berhenti mengintip lahirnya “Bung Karno  kedua. Fokus perhatian pertama penulis tertuju kepada keluarga besar Bung Karno sendiri. Penulis sadar bahwa semangat kepahlawanan tidak mesti datang dari garis keturunan biologis, tapi lebih kepada ideologis.

Ideologi Bung Karno adalah Nasionalisme Religius (Pancasilais sejati). Ketika Mega muncul sebagai Presiden RI yang kelima, sepekulasi- penulis tertuju kepada dia,  tetapi dalam perkembangan berikutnya, penulis dan bangsa Indonesia tahu bahwa Mega bukanlah pewaris kepahlawanan ayahnya.

Telinga bangsa dan rakyat Indonesia telah bising dengan nada-nada sumbang retorika “Demi Pancasila dan UUD 45”, tapi prakteknya jauh panggang dari api. Aneh tapi janggal, gigih membela dan mengawal Pancasila, tetapi tidak percaya dengan ajaran agama.

Mengutip paparan Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo bahwa tidak ada Indonesia, kalau tidak ada Islam; tidak ada Indonesia, kalau tidak ada Katolik; tidak ada Indonesia, kalau tidak ada Kristen; tidak ada Indonesia, kalau tidak ada Hindu; tidak ada Indonesia, kalau tidak ada Budha; tidak ada Indonesia, kalau tidak ada agama lainnya, rasanya Indonesia tidak bisa lahir tanpa kehadiran agama-agama di dalamnya.

Marilah kita berdo’a bersama, mudah mudahan Megawati Soekarno Putri, kembali menjadi Pancasilais sejati yang beragama. Agama apapun yang beliau percaya pastinya mengimani adanya kehidupan setelah alam fana.  Aamiin. (P02/RS1)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

 

Wartawan: Widi Kusnadi

Editor: Admin

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.