Ancaman Bagi Nelayan Gaza (Oleh: Ahmed Al-Sammak, Gaza)

Beirut al-Aqraa menunjukkan kerusakan yang ditimbulkan pada kapal penangkap ikannya oleh Israel. (Ahmad Al-Sammak)

Oleh: Ahmed Al-Sammak, jurnalis di Gaza

Beirut al-Aqraa berada dua mil di laut pada 24 Desember 2021, ketika perahu nelayannya mulai tenggelam. Dia segera menuju kembali ke pantai. Namun, beberapa ratus meter dari pantai, kapal itu benar-benar tenggelam ke dalam air.

Bersama dua pekerjanya, Beirut berenang ke tempat yang aman. Namun, tiga saudara laki-lakinya harus diselamatkan dan dibawa ke rumah sakit.

“Untungnya, saat itu sekitar jam 1 siang,” kata Beirut. “Dan beberapa nelayan lain melihat kami dan bergegas membantu kami.”

Kecelakaan itu berdampak serius pada Nayef, saudaranya.

“Jika saya terjebak di laut lebih lama lagi, saya akan mati,” kata Nayef. “Saya muntah setiap hari sejak itu. Dan saya jadi takut laut. Saya tidak akan pernah berlayar lagi. Saya lebih suka tetap menganggur daripada pergi dengan kapal Beirut sekali lagi.”

Sejumlah kapal Beirut telah dirusak oleh ketika melakukan serangan besar-besaran di Gaza pada Mei tahun lalu. Dalam serangannya Israel menargetkan pelabuhan Deir al-Balah di Gaza tengah, tempat kapal-kapal Beirut ditambatkan.

Salah satu perahu terbukti tidak dapat diperbaiki.

Pihak berwenang Gaza memperkirakan bahwa kerugian Beirut dari serangan Mei 2021 mencapai sekitar AS$25.000. “Tapi sesungguhnya lebih sekitar $ 30.000,” katanya.

Kapal yang tenggelam pada 24 Desember itu bernama Amal. Itu termasuk di antara yang rusak oleh pecahan peluru Israel pada bulan Mei.

Untuk memperbaiki perahu dengan baik, Beirut membutuhkan sekitar 3 kilogram fiberglass. Dia tidak mampu membeli fiberglass, jadi dia menggunakan sealant, yang lebih murah.

Baca Juga:  Mau Bahagia Dunia Akhirat, Amalkan Lima Perintah Nabi SAW

Dia bisa tetap bekerja sebagai nelayan, menggunakan Amal, sejak serangan Mei. Namun ketika kapalnya mulai hancur pada 24 Desember, terlihat jelas bahwa pekerjaan perbaikan belum memadai.

 

Khader al-Saidi memegang beberapa peluru baja berlapis karet yang ditembakkan angkatan laut Israel kepadanya. (Ahmad Al-Sammak)

Tidak ada kompensasi

Beirut ingat bagaimana dia dijuluki sebagai “raja nelayan”.

“Dulu saya punya empat perahu,” katanya.

Sebelum serangan Israel pada Mei 2021, dia bisa mendapatkan hingga $1.300 per bulan. Sekarang dia hanya menghasilkan sekitar $300.

“Dan tidak ada yang membayar kompensasi atas kerugian saya,” katanya.

Telah didokumentasikan dengan baik bahwa Israel sering menyerang nelayan Palestina secara langsung. Sebanyak 73 insiden di mana Israel menembaki para dicatat oleh pemantau hak asasi manusia antara Oktober hingga Desember.

Pasukan Angkatan Laut Israel bahkan menembaki nelayan Gaza dua kali pada Hari Tahun Baru.

Nelayan bernama Khader al-Saidi juga telah berulang kali ditembaki oleh Israel.

Setelah episode kekerasan Israel pada tahun 2017, Khader ditangkap dan ditahan selama hampir satu tahun. Dia dituduh melintasi batas penangkapan ikan yang diizinkan di lepas pantai Gaza, batas yang seringkali sewenang-wenang.

Tiga anak Muhammad Musleh. (Ahmad Al-Sammak)
Baca Juga:  Ratusan Massa Gelar Aksi Solidaritas Palestina di Paris

Pada Februari 2019, Khader sedang memancing dengan sepupunya Muhammad, ketika mereka diserang oleh Angkatan Laut Israel. Kedua pria itu mencoba menyelamatkan diri, tetapi tidak bisa.

Angkatan Laut Israel menembakkan sekitar 30 peluru baja berlapis karet kepada Khader, sementara sepupunya berhasil merunduk.

Setelah terkena pada kedua matanya, Khader jatuh dan kehilangan kesadaran.

“Saya terbangun empat hari kemudian di sebuah rumah sakit Israel di Ashdod [sebuah kota pelabuhan],” katanya. “Saya mendengar seseorang berbicara bahasa Ibrani dan bertanya kepadanya ‘di mana saya?’ Tapi dia tidak menjawab.”

Seorang dokter, yang berbicara bahasa Arab, kemudian menjelaskan kepada Khader bahwa dia telah kehilangan penglihatan di mata kanannya. Mata kirinya akan membutuhkan waktu sekitar satu pekan untuk pulih, prediksi dokter.

Meskipun kesakitan parah, tangan dan kaki Khader dibelenggu saat tentara membawanya ke pos pemeriksaan militer Erez, yang memisahkan Gaza dan Israel.

Dia dikawal melalui pos pemeriksaan dan ditinggalkan oleh tentara Israel. Seorang pria datang untuk membantunya dan membawanya ke polisi setempat, yang kemudian memanggil ambulans.

Ketika Khader diperiksa oleh dokter di Gaza, mereka memastikan bahwa dia sekarang buta di kedua matanya.

Hari ini, Khader jarang meninggalkan rumahnya. “Saya tidak punya keinginan untuk bertemu siapa pun,” katanya.

Dia telah mengajukan tunjangan disabilitas dari Otoritas Palestina, tetapi belum menerima apa pun.

“Dulu saya adalah pencari nafkah untuk keluarga besar saya, total sembilan orang,” katanya. “Sekarang saya bergantung pada orang baik untuk memberi saya sejumlah uang. Israel telah mengubah saya menjadi seorang pengemis.”

Baca Juga:  Pembelaan Mahasiswa Terhadap Palestina Menyebar ke Jepang

Menembak bukan satu-satunya cara Israel merusak keselamatan para nelayan Gaza. Blokade tanpa henti di Gaza telah menyebabkan standar hidup menurun secara umum dan khususnya di kalangan nelayan.

Banyak nelayan tidak dapat membayar tagihan untuk pekerjaan pemeliharaan kapal mereka. Pembatasan impor Israel juga menyebabkan kekurangan suku cadang.

Kekurangan berarti bahwa ketika suku cadang tersedia untuk dibeli, harganya lebih mahal dari sebelumnya.

Menurut seorang pria yang melakukan pekerjaan perbaikan di kapal Gaza, harga mesin baru untuk kapal berukuran sedang sekarang lebih dari $ 11.000 – hampir dua kali lipat dari harga satu dekade lalu.

Konsekuensi bekerja di kapal yang tidak laik melaut bisa berakibat fatal, seperti yang digambarkan oleh kisah Muhammad Musleh.

Muhammad, 40, tenggelam pada bulan September 2021 ketika kapal yang dia gunakan untuk memancing terbalik. Mesinnya telah berhenti berfungsi.

Kakaknya, Alaa, mengaku bahwa perahu itu tidak dalam kondisi baik. Namun, keluarga harus tetap menggunakannya karena alasan kebutuhan ekonomi.

“Jika kami punya uang untuk membeli mesin lain, kami tidak akan kehilangan Muhammad,” kata Alaa. “Tapi kami tidak mampu membeli yang baru. Dan kami masih tidak bisa.”

“Saya tahu itu salah bagi kami untuk melaut,” katanya. “Tapi kami tidak punya pilihan lain. Saya ayah dari empat anak, Fayez [saudara laki-laki lain] adalah ayah dari tiga anak dan Muhammad juga ayah dari empat anak. Siapa lagi yang akan memberi makan anak-anak kami?” (AT/RI-1/P1)

Sumber: Electronic Intifada

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.