Faktor Mohammed Dahlan Dalam Krisis Baru Hamas

Mohammed Dahlan, tokoh Fatah di yang disingkirkan Mahmoud Abbas. (Foto: MEE)

yang menguasai Jalur Gaza sejak 2006 tidak dapat dikalahkan oleh kekuatan belaka. Namun, Hamas dapat diturunkan menjadi kekuatan politik yang tidak efektif melalui sebuah aliansi Arab dengan memunculkan satu nama tokoh lama asal Gaza pula, yaitu Mohammed Dahlan.

Dulu, Dahlan adalah orang kuat Gaza yang memimpin 10 cabang keamanan, menyiksa para penentang dan mengendalikan Jalur Gaza dengan cara menyeimbangkan kepentingan partai Fatahnya dan juga dengan dikte Israel.

Beberapa bulan setelah Hamas memenangkan pemilihan pada 2006, Dahlan melaporkan bahwa Hamas melakukan kudeta. Saat itulah pengepungan oleh Israel bermula.

Dahlan kemudian melarikan diri ke Tepi Barat. Sebuah perebutan kekuasaan di Fatah menyebabkan ia disingkirkan oleh Mahmoud Abbas, yang juga menuduhnya melakukan upaya kudeta pada tahun 2011.

Pada tahun 2012, Dahlan menetap secara permanen di Uni Emirat Arab (UAE).

Setelah kudeta Mesir pada tahun 2013, Dahlan dan Presiden Abdel Fattah Al-Sisi memiliki kesamaan. Awalnya bertujuan mengalahkan Hamas, tapi akhirnya mengkoordinasikan Hamas.

Abbas dengan cepat kehilangan kepercayaan dari Kairo, sementara Dahlan menjadi orang kuat Fatah, sejauh menyangkut urusan Mesir.

Dosa Abbas adalah penolakannya untuk bergabung bersama Dahlan dengan tujuan utama mengalahkan Hamas.

Pada saat bersamaan, Abbas dan Hamas gagal mencapai bentuk persatuan yang minimal. Abbas tetap berada di Tepi Barat, dengan putus asa berusaha menemukan saluran baru untuk memenangkan kancah perpolitikan.

“Rencana Dahlan” kemudian muncul.

Menurut sebuah dokumen yang bocor, kemudian banyak dilaporkan di media Israel dan media lainnya, menunjukkan bahwa Dahlan dan Hamas telah menegosiasikan kepulangan yang pertama tokoh Fatah itu ke Gaza. Isunya, untuk memimpin sebuah pemerintahan di Gaza dengan imbalan pencabutan blokade dari sisi Mesir.

Menurut rencana dalam dokumen tersebut, katanya, Hamas akan tetap mengendalikan Kementerian Dalam Negeri dan tidak akan melucuti senjata.

Namun, seperti yang dikatakan oleh Zinh Bar’el di media Haaretz, setidaknya Israel akan memiliki mitra di Gaza yang mendukung rekonsiliasi.

Kewalahan dengan langkah lawan politiknya yang tak terduga tersebut, Abbas sekarang berusaha membuat hidup orang Palestina di Jalur Gaza menjadi lebih sulit, dengan harapan bisa memberikan tekanan lebih besar kepada Hamas untuk mengakhiri kemitraannya dengan Dahlan.

Mahmoud Abbas (kanan) dan Mohammed Dahlan (kiri), dua politisi Fatah yang saling bersaing. (Foto: Palestine Chronicle)

Beberapa bulan yang lalu, Abbas memangkas gaji untuk ribuan karyawan di Jalur Gaza, banyak di antaranya adalah orang-orang yang setia kepada Fatah dan juga kepada Dahlan.

Baru-baru ini, Otoritas Palestina menolak untuk membayar sebagian besar listrik yang diberikan Israel ke Gaza, menyebabkan pemerintah Yahudi itu memangkas listrik ke Jalur Gaza.

Penderitaan orang-orang Palestina di Gaza sekarang bertambah pelik.

Pengangguran di Jalur Gaza sudah termasuk yang tertinggi di dunia, saat ini diperkirakan mencapai 44 persen. Mereka yang dipekerjakan tetap berjuang untuk bertahan hidup. Sementara 80 persen dari semua warga Gaza, dikatakan bergantung pada bantuan kemanusiaan.

Pada tahun 2015, PBB telah memperingatkan bahwa pada tahun 2020, Gaza tidak layak lagi dihuni oleh manusia.

Sebuah laporan Palang Merah pada Mei lalu memperingatkan adanya “krisis yang menjulang” di sektor kesehatan masyarakat, karena kurangnya listrik.

Krisis energi telah meluas dari pasokan listrik hingga gas untuk memasak.

Seiring pengurangan energi terbaru yang dimulai pada 11 Juni 2017, rumah tangga keluarga Gaza sekarang menerima listrik hanya dua sampai tiga jam setiap hari, itupun listrik menyala pada jam-jam yang tidak tetap.

Wakil Direktur Regional untuk Timur Tengah dan Afrika Utara di Amnesty International, Magdalena Mughrabi, membunyikan alarm bahaya pada tanggal 14 Juni. Dia memperingatkan bahwa pemotongan energi terakhir berisiko mengubah situasi yang sudah mengerikan menjadi malapetaka kemanusiaan yang penuh.

Pemimpin Palestina yang benar-benar terlibat dalam pengetatan atau manipulasi pengepungan sangat mencemaskan.

Meski gagal menaklukkan Gaza, tapi Israel berhasil menyebarkan beban warga Palestina yang tersiksa di sana dengan melibatkan tangan pemerintah Palestina dan Arab. Masing-masing memainkan peran dalam permainan politik kotor yang tidak memperhatikan hak asasi, kehidupan atau martabat manusia. (RI-1/P2)

 

Sumber: tulisan Ramzy Baroud di Al Jazeera.

Ramzy Baroud telah menulis tentang Timur Tengah selama lebih dari 20 tahun. Dia adalah kolumnis sindikasi internasional, konsultan media, penulis beberapa buku dan pendiri PalestineChronicle.com. Situsnya adalah www.ramzybaroud.net.

 

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor: Widi Kusnadi

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.