Haruskah Imam dari Kalangan Quraisy?

Uray-Helwan

Oleh Uray Helwan Rusli (Penulis Buku Khilafah vs Yahudi)

Perkara Imam min  (Imam dari Quraisy) senantiasa hangat dibicarakan. Sejak dahulu, masa salafush shalih hingga sekarang. Tanpa bermaksud menambah jurang perbedaan, kami ingin mengetengahkan hal ini. Mudah-mudahan menjadi bahan renungan.

Imam min Quraisy merujuk pada banyak hadits shahih. Berikut ini diketengahkan beberapa diantaranya:

اْلأَءِمَّةُ مِنْ قُرَيْشٍ اِنْ لَهُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا وَلَكُمْ عَلَيْهِمْ حَقًّا مِثْلَ ذَالِكَ مَا اِنْ اسْتُرْحِمُوْا فَرَحِمُوْا وَاِنْ عَاهَدُوْا وَفَوْا وَاِنْ حَكَمُوْا عَدَلُوْا فَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَالِكَ مِنْهُمْ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلَاءِكَةِ وَالنَّاسِ اَجْمَعِيْنَ

“Pemimpin-pemimpin itu dari suku Quraisy. Mereka memiliki hak atas kalian dan kalian juga memiliki hak atas mereka. Jika mereka diminta untuk mengayomi, mereka bisa mengayomi. Jika mereka membuat kontrak mereka pasti akan melaksanakan. Barangsiapa yang tidak seperti itu maka ia akan dilaknat Allah, malaikat dan semua manusia.” (HR. Ahmad dan Thabrani. Redaksi dari Ahmad).

يَكُوْ نُ اثْنَا عَشَرَ اَمِيْرًا فَقَالَ كَلِمَةً لَمْ اَسْمَعْهَا فَقَالَ اَبِى اِنَّهُ قَالَ كُلُّهُمْ مِنْ قُرَ يْشٍ

Jabir bin Samurah berkata, “Saya mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: ‘Akan ada 12 orang amir’. Maka dia mengatakan suatu kalimat yang saya tidak mendengarnya ! Maka berkatalah ayahku: Sesungguhnya Nabi telah mengatakan, “Semua mereka dari golongan Quraisy.” (HR. Bukhari dan Muslim).

حَدَّثَنَا هَاشِمٌ حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا زِيَادُ بْنُ خَيْثَمَةَ عَنِ الْأَسْوَدِ بْنِ سَعِيدٍ الْهَمْدَانِيِّ عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَكُونُ بَعْدِي اثْنَا عَشَرَ خَلِيفَةً كُلُّهُمْ مِنْ قُرَيْشٍ قَالَ ثُمَّ رَجَعَ إِلَى مَنْزِلِهِ فَأَتَتْهُ قُرَيْشٌ فَقَالُوا ثُمَّ يَكُونُ مَاذَا قَالَ ثُمَّ يَكُونُ الْهَرْجُ

“Telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Zuhair, telah menceritakan kepada kami Ziyad bin Khaitsamah dari Al Aswad bin Sa’id Al Hamdaniy dari Jabir bin Samurah ia berkata; Aku mendengar Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam -atau Jabir mengatakan; Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam – bersabda: “Akan muncul setelahku dua belas khalifah, semuanya dari Quraisy, ” Jabir melanjutkan; “Kemudian beliau pulang ke rumahnya, lantas orang-orang Quraisy menemuinya sambil bertanya; “Setelah itu apa yang akan terjadi?, ” beliau menjawab: “Lalu terjadilah pembunuhan.” (HR. Ahmad).

Hadits-hadits di atas merupakan khabar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengenai kekhilafahan yang berada di tangan orang-orang Quraisy. Dan hal ini telah menjadi jalan keluar ketika terjadi perselisihan di antara para shahabat mengenai perkara siapa yang paling berhak untuk melanjutkan kepemimpinan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, apakah kaum Muhajirin ataupun Anshor.

Ternyata setelah diketengahkan pada Tsaqifah Bani Sa’adah kala itu mengenai kepemimpinan adalah dari Quraisy perselisihan pun mereda, kemudian mereka sepakat untuk membai’at Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu menjadi khalifah. Beliau adalah shahabat terkemuka, tidak hanya di kalangan Muhajirin namun juga di kalangan Anshar, dan beliau adalah seorang Quraisy.

Namun seiring waktu berlalu, setelah masa kekhilafahan berakhir dilanjutkan dengan periode Mulkan urusan pemimpin dari Quraisy sepertinya tidak menjadi persoalan yang utama. Pada kenyataannya setelah kekuasaan Bani Abbasiyah berakhir (yang mereka itu masih keturunan Quraisy) dan dilanjutkan dengan Turki Utsmani, persoalan pemimpin harus dari Quraisy tidak mencuat, padahal Turki Utsmani bukan dari Quraisy melainkan kaum pendatang dari Turkoman (Turkmenistan).

Lantas apakah Quraisy menjadi syarat mutlak sah atau tidaknya seorang khalifah yang dibai’at? Berikut ini penulis merangkum beberapa hujjah, bahwa pada dasarnya kedudukan khalifah tidak menyaratkan secara mutlak harus berasal dari Quraisy.

Khalifah Tidak Berdiri Sendiri

Ia terkait dengan Jama’ah Muslimin atau Khilafah ‘Ala Minhajinnubuwwah. Maksudnya, tidak ada sebutan khalifah jika tidak wujud dalam Khilafah, atau tidak ada Imaamul Muslimin jika tidak dengan keberadaan wadah Jama’ah Muslimin. Jadi antara khalifah dengan khilafah adalah satu paket, begitu pula antara Imaamul Muslimin dengan Jama’ah Muslimin juga satu kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan.

Perkara Al-Jama’ah merupakan perintah yang ditegakkan atas dasar ayat-ayat Allah. Berikut ini beberapa ayat yang dimaksud:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah seraya berjama’ah dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali Imran: 103)

 شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰ ۖ أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ ۚ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ ۚ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَن يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَن يُنِيبُ

“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).” (QS. Asy Syuura: 13).

Dua ayat di atas menunjukkan bahwa menegakkan Al-Jama’ah berarti pula upaya penyelamatan dari kondisi perpecahan dan perselisihan. Perpecahan dan perselisihan adalah larangan Allah, pelakunya mendapatkan balasan dari Allah yakni siksa yang berat. Dalam Al Quran Allah nyatakan:

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِن بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ ۚ وَأُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (QS. Ali Imran:105)

Selain itu, keberadaan kepemimpinan bagi kaum Muslimin merupakan kewajiban yang Allah perintahkan juga dengan penegasan dalam Al Quran:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59).

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِّنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ ۖ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَىٰ أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ ۗ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا

Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).” (QS. An Nisa: 83).

Merujuk pada ayat-ayat di atas dan ayat-ayat lain dengan maksud yang tidak jauh berbeda, bisa disimpulkan bahwa menegakkan Al Jama’ah dan mentaati Ulil Amri merupakan kewajiban yang sangat fondasi dalam Islam. Jika hal ini diabaikan kaum Muslimin akan berada dalam kondisi perpecahan (iftiroq), dan itu diancam oleh Allah dengan azab yang besar. Perintah mengenai Al Jama’ah dan Ulil Amri ini dijabarkan lebih operasional melalui hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sehingga diketahui secara detil langkah-lengkah pengamalannya serta apa saja yang dapat membatalkannya.

Jadi seperti apa pun hadits yang diketengahkan mengenai Al Jama’ah dan hal-hal lain yang terkait dengannya, pada dasarnya untuk mendukung pengamalannya, tidak justru menjadi penghambat perwujudannya. Jika itu yang terjadi (menjadi penghambat), bukan haditsnya yang salah namun cara memahami yang tidak tepat. Tidak layak sebuah ayat yang sangat urgen untuk diamalkan menjadi terhambat lantaran ada sebuah kriteria dari hadits yang belum bisa dipenuhi.

Inilah yang mesti dipahami terhadap hadits-hadits kepemimpinan berasal dari Quraisy tersebut. Menunggu sebuah kriteria hadits, namun dengan melanggar ayat-ayat Al Quran. Jika kaum Muslimin bertahan pada kriteria Quraisy, sementara hal tersebut belum dapat dipenuhi, maka mereka akan terjerumus pada kondisi iftiroq. Mereka lebih merasa ringan hidup tanpa naungan al Jama’ah dan Imamnya, padahal hal tersebut merupakan perintah Allah dalam Al-Quran. Mereka menganggap remeh hidup tercerai berai, padahal di sisi Allah itu perkara yang besar, diancam dengan siksa dari Nya.

Sebagai tamsil, dalam shalat berjama’ah contohnya, jika imam yang fasih bacaan Al Qur’annya tidak ada, maka tunjuklah imam yang ada, yang penting shalat berjama’ah bisa dilaksanakan. Jangan sampai dikatakan seperti ini: “Hari ini kita tidak shalat berjama’ah, karena tidak ada imam yang sesuai dengan kriteria.”

Taat kepada Pemimpin Meskipun Budak Habsyi

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mencontohkan sunnah yang telah sempurna. Tidak hanya ketika beliau masih berada di tengah-tengah para sahabat, namun juga bagi umat mutaakhirin. Termasuk dalam situasi bagaimana yang harus dilakukan jika tidak ada Khalifah / Imam dari Quraisy. Ternyata beliau memberikan solusi wajib ta’at meskipun terhadap seorang budak Habsyi.

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ بَشِيرِ بْنِ ذَكْوَانَ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ أَبِي الْمُطَاعِ قَالَ سَمِعْتُ الْعِرْبَاضَ بْنَ سَارِيَةَ يَقُولُ قَامَ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ وَذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَعَظْتَنَا مَوْعِظَةَ مُوَدِّعٍ فَاعْهَدْ إِلَيْنَا بِعَهْدٍ فَقَالَ عَلَيْكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا وَسَتَرَوْنَ مِنْ بَعْدِي اخْتِلَافًا شَدِيدًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَالْأُمُورَ الْمُحْدَثَاتِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Ahmad bin Basyir bin Dzakwan Ad Dimasyqi berkata, telah menceritakan kepada kami Al Walid bin Muslim berkata, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Al ‘Ala` berkata, telah menceritakan kepadaku Yahya bin Abi Al Mutha’ ia berkata; aku mendengar ‘Irbadl bin Sariyah berkata; “Pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri di tengah-tengah kami. Beliau memberi nasihat yang sangat menyentuh, membuat hati menjadi gemetar, dan airmata berlinangan. Lalu dikatakan; “Wahai Rasulullah, engkau telah memberikan nasihat kepada kami satu nasihat perpisahan, maka berilah kami satu wasiyat.” Beliau bersabda: ” Hendaklah kalian bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat meski kepada seorang budak Habsyi. dan sepeninggalku nanti, kalian akan melihat perselisihan yang sangat dahsyat, maka hendaklah kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah para khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham, dan jangan sampai kalian mengikuti perkara-perkara yang dibuat-buat, karena sesungguhnya semua bid’ah itu adalah sesat. (HR. Ibnu Majah, Abu Dawud dan At-Tirmidzi).

Pada hadits di atas jelas terlihat bahwa urusan ketaatan lebih utama ketimbang mempersoalkan dari mana ia (pemimpin) berasal. Bahkan meskipun ia budak Habsyi, namun jika ia seorang amir dan memerintahkan kepada yang haq, ketaatan wajib ditegakkan. Kita bisa bayangkan, dalam situasi yang sangat buruk sekalipun sehingga kita tidak menemukan seorang pemimpin yang layak untuk dibai’at melainkan seorang budak Habsyi, maka itupun sah dan wajib taat. Karena jika tidak, kita akan digilas oleh situasi perselisihan dan perpecahan yang dahsyat.

Memang sebagian kaum Muslimin menyatakan bahwa hadits di atas bukan untuk posisi khalifah, namun sebatas amir yang lebih kecil (seperti amir thoifah, amir perjalanan, dan lain-lain. Pen). Akan tetapi mestinya hadits di atas disyukuri sebagai jalan keluar terhadap persoalan kriteria Imam dari Quraisy saat ini, sebagaimana kita pun mensyukuri adanya petunjuk hadits min Quraisy sebagai solusi dahulu ketika perselisihan antara Muhajirin dan Anshar.

Lagi pula tidak terlihat isyarat pembatasan amir pada hadits di atas. Jadi pada dasarnya hadits ini menjadi petunjuk Rasulullah, jika memang tidak ditemukan seorang khalifah dari Quraisy, maka cukuplah dibai’at Imam yang non Quraisy. Wallahu a’lam.

Hussain bin Muhammad bin Ali Jabir (penulis buku Ath Thariq Ila Jama’atil Muslimin) menyatakan hadits seperti di atas dan lainnya yang senada menunjukkan kepemimpinan secara umum tanpa pengkhususan kepada orang Quraisy. Hal ini mendukung pandangan yang memungkinkan adanya khalifah dari selain Quraisy. Sekaligus merupakan Khilafah yang sah (syar’i) dalam umat Islam, dimana seseorang tidak boleh keluar darinya karena hanya bukan dari Quraisy.

Sisi Kemaslahatan Tidak Boleh Diabaikan

Bangunan Islam dalam kerangka besar rahmat bagi seluruh alam. Seluruh syariat yang Rasululullah Shallallahu Alaihi Wasallam bawa, pada dasarnya mengacu pada hal ini.

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ

Dan tidaklah Kami utus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al Anbiya: 107)

Kepemimpinan adalah hal yang sangat fondasi dalam Islam. Bahkan ketika manusia masih belum menghuni bumi, tugas khalifah telah Allah persiapkan untuk mereka. Allah pun mengajarkan, betapa seluruh penghuni bumi, baik benda hidup maupun mati, memiliki sosok yang berperan sebagai leader. Dalam tataran keilmuan manusia, sejak dahulu hingga sekarang masalah kepemimpinan merupakan hal yang sangat prinsip. Ia menjadi pemersatu dan sekaligus pula sebagai tameng dari perpecahan. Dan jangan lupa, pasukan syaitan dan bala tentaranya (musuh kita yang paling utama itu), mereka memiliki leader dalam menyesatkan umat manusia.

Lantas bagaimana mungkin ummat Islam yang Allah persiapkan sebagai khaira ummat, bisa mengabaikan hal ini? Tentu sangat menyedihkan. Tidak terkira akibat yang ditimbulkan karena urusan kepemimpinan diabaikan oleh kaum Muslimin, apa pun alasan mereka. Azab mendera mereka, dengan lautan fitnah yang tidak kunjung usai. Kita menjadi umat yang lemah, sekedar menuntaskan urusan qunut saja tidak mampu. Hanya mendengar dan berteriak ketika ribuan kaum Muslimin dibunuh. Hanya sekedar iba tatkala kelaparan melanda negeri-negeri Islam tanpa mampu memberi pertolongan. Dan hanya bisa marah ketika musuh-musuh Allah secara terang-terangan mengambil alih Masjid al Aqsha dan secara terang-terangan pula menyatakan akan merobohkannya.

Jika urusan kekhilafahan ini, ditegakkan hanya dengan hujjah ro’yu (akal), menurut penulis itu sudah merupakan alasan yang kuat untuk mengamalkannya, lantaran kemudaharatan teramat besar kalau hal ini ditinggalkan. Apatah lagi banyak dalil yang menjadi landasannya, baik dalam Al Quran dan As Sunnah maupun contoh Khulafaurrasyidin Almahdiyyin.

Ijtihad Ulama Terdahulu

Ulama terdahulu yang tidak menyaratkan secara mutlak khalifah dari Quraisy seperti Ibnu Taimiyah. Menurut beliau masalah ini diperselisihkan jadi syarat golongan Quraisy tersebut tidak mungkin diterapkan. Lebih dari itu (masih menurut beliau, pen.) persyaratan golongan Quraisy bertentangan dengan prinsip ajaran Alquran mengenai konsep persamaan hak. Jadi persyaratan itu sekalipun ada yang berpendapat dibenarkan hadits, tapi bertentangan dengan nas yang lebih unggul (rajih).

Apa yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun juga tidak jauh berbeda. Menurut beliau adanya persyaratan Imam (khalifah) dari suku Quraisy dimaksudkan untuk melenyapkan perpecahan di kalangan suku-suku lain, karena suku Quraisy, merupakan suku yang sangat kuat dan disegani jadi dianggap mampu melakukan tugas kekhalifahn tersebut. Namun pada masa Ibnu Khaldun suku Quraisy tidak lagi terlalu dominan, oleh karenanya menurut beliau orang yang memiliki kemampuan setara dengan kemampuan yang pernah dimiliki oleh Quraisy dapat dikelompokkan dalam persyaratan ini.

Mengenai hadits yang mengkhususkan kepemimpinan pada orang Quraisy Ibnu Hajar memberikan kesimpulan, yakni dengan mensyaratkan keistiqomahan orang Quraisy tersebut pada agama Allah. Jadi apabila terdapat orang yang lebih istiqomah dan lebih mampu dari pada orang Quraisy maka ia harus diutamakan ketimbang orang Quraisy tersebut. Wallahu a’lam. (P004/R02)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: Admin

Editor: Bahron Ansori

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.