Imaam: Pemberian Allah Haruslah Menjadi Keberkahan

Cileungsi, Kabupaten Bogor, MINA – Imaamul Muslimin Yakhsyallah Mansur dalam tausiyahnya mengatakan kaum Muslimin harus menjadikan apapun pemberian Allah agar dapat mendatangkan keberkahan bagi dirinya.

Kata berakar dari kata birkah yang artinya kolam (telaga), tempat seseorang mengambil air untuk minum dan membersihkan diri. Sedangkan berkah secara istilah adalah segala sesuatu pemberian Allah yang mendatangkan kesenangan dan kebahagiaan  bagi penerimanya serta membuat ia semakin dekat dengan Allah.

“Istri bisa jadi berkah jika mendatangkan kebahagiaan bagi suaminya. Demikian pula suami bisa jadi berkah jika membuat istrinya bahagia. Hal itu juga berlaku dengan anak, harta, jabatan, dan lainnya”, pesannya dalam tausiah pagi kajian surah Al-Furqon ayat 1-4 di masjid At-Taqwa, pesantren Al-Fatah, Cileungsi, Kabupaten Bogor, Rabu (4/7).

Keberkahan ada dua macam yaitu berkah yang tampak (hissiyah) dan berkah yang tidak tampak (maknawiyah). “Indonesia diberi alam yang melimpah, itulah keberkahan hissiyah. Namun apakah kekayaan alam itu menjadikan rakyatnya bahagia dan semakin dekat dengan Allah? Inilah yang perlu dipertanyakan pada diri kita”, paparnya.

Kekayaan alam yang dimiliki Indonesia jika tidak menjadikan bangsa ini semakin dekat dengan Allah berarti belum menjadi berkah. Oleh karenanya bangsa ini harus introspeksi bagaimana menjadikan sumber daya alam yang melimpah ini sebagai sarana untuk ibadah dan semakin dekat dengan Allah. Itulah sebenarnya tugas utama seorang amir (pemimpin) yang harus menjadikan rakyatnya beriman dan bertaqwa kepada Allah”, lanjutnya.

Yakhsyallah melanjutkan, Allah menurunkan Al-Quran sebagai sumber keberkahan. Jadi siapapun yang ingin mendapat keberkahan, ia harus menjadikan Al-Quran sebagai pedoman. Bangsa Indonesia jika ingin mendapat keberkahan baik secara maknawiah maupun hissiyah haruslah menjadikan Al-Quran sebagai pedoman dalam hidup berumah tangga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Di samping itu, Al-Quran juga sebagai furqan yang memberi petunjuk dan pembeda, mana yang benar (haq) dan mana yang salah (batil).

Pada zaman jahiliyah, membunuh anak perempuan dianggap benar karena itu merupakan aib bagi keluarga. Al-Quran memperingatkan, itu merupakan kesalahan. Memakan bangkai dianggap lebih mulia dari pada memakan hewan sembelihan. Al-Quran menjelaskan itu salah. Dulu kalau tawaf di ka’bah dengan telanjang dianggap baik. Al-Quran meluruskannya.

Yakhsyallah menutup tausiahnya dengan kalimat: “Jadi, dalam mengatur manusia dan alam ini agar menjadi keberkahan bagi semua haruslah dengan memakai aturan Allah (syariat Allah) yang diturunkan yaitu Al-Quran. Itulah yang oleh Syaikh Wali Al-Fatah disebut dengan Non- (murni syariat Allah)”. (L/P2/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Widi Kusnadi

Editor: Widi Kusnadi

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.