ISLAM, MEDIA, VERIFIKASI

Oleh Rifa Arifin, Wartawan  Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Sejatinya banyak manfaat yang bisa didapat dari mengikuti siaran-siaran  massa seperti televisi dan internet,  namun belakangan ini makin banyak yang merasakan media massa itu juga sebagai “biang keladi”  dari krisis budaya zaman kita.

Ketika terjadi kesimpangsiuran pemberitaan media atas suatu peristiwa, pernahkah terlintas di benak antum sekalian untuk membayangkan lalu memperbandingkannya dengan, misalnya, uji verifikasi hadis dalam tradisi Islam? Sesungguhnya membandingkan kedua hal itu bisa membantu antum bermawas diri dan punya secercah kesadaran skeptis saat berhadapan dengan hadis-hadis. Maksud saya begini.

Ambil contoh yang masih dalam ingatan : insiden Tolikara, Papua. Antum tahu, kita kini hidup di zaman internet, di mana suatu berita itu benar atau dusta, cukup mudah di-cek-ricek (teliti, teliti dulu kebenaran beritanya, selidiki dulu akurasi berita-nya). Malahan kampanye dunia yang sedang dilancarkan badan PBB, UNESCO, dengan tajuk Media Literacy, salah satunya adalah kritis pada media massa. Jangan langsung percaya. Ini karena kita masih menghadapi kesimpangsiuran berita dan tak sedikit orang jadi korban provokasi yang dilancarkan kalangan tertentu degan agenda tertentu (dan parahnya, ada kaum elit yang jadi provokatornya). Hal ini terjadi bukan hanya di level sanad (transmisi berita oleh media), melainkan juga di aspek matan (wording atau redaksinya). Sebagai contoh, antara “musala terbakar” dan “masjid dibakar” berbeda implikasinya dan  konsekuensi hukumnya (padahal ‘cuma’ beda awalan “di-” dan “ter-“). Misal lain: menarasikan peristiwa itu sebagai “insiden” saja akan beda jauh dampaknya dengan menyebutnya sebagai “konflik agama”.

Baca Juga:  Renungan Hardiknas 2024: Pendidikan Bermutu untuk Memperkuat Daya Saing Bangsa

Dari segi sanad, memang ada media-media tertentu yang tergesa-gesa memberitakan, sebab ingin mengejar kecepatan ketimbang akurasi, sehingga beritanya bercacat. Tapi media lain bisa segera memunculkan berita lain, dengan kualitas yang jauh lebih tepat dan lebih akurat. Artinya, ada banyak pilihan tersedia dan, jika mau sedikit berpayah-payah, kita bisa mendapatkan keberimbangan informasi (cover both sides) dan obyektif. Tak kalah penting, kita punya para fihak kritis yang siap memonitori, apakah media tersebut menaati kode etik jurnalistik, dan apakah media tersebut melaksanakan prinsip kemerdekaan pers dengan cara yang benar.

Kode Etik Jurnalistik adalah pegangan etik wartawan dalam menunaikan profesinya, yang antara lain berisi : harus bikin berita yang benar, harus cek dan ricek dulu, obyektif, cover both sides (pemberitaan seimbang antara para fihak yang menjadi berita), tak boleh menyebarkan berita bohong, tak boleh memfitnah, tak boleh menghasut, tak boleh memperuncing konflik agama dan suku, melarang pornografi, melindungi anak-anak dan lain-lain.

Pemahaman ini  seyogianya dapat membantu kita untuk tak terhasut framing dari media yang menyimpan propaganda sektarian, yang punya agenda subyektif sesuai dengan visi/misi media-nya,  dan tidak prorekonsiliasi. Dalam satu hal yang mungkin bagi sebagian antum jadi faktor penting untuk menjatuhkan vonis tidak tsiqah (tak terpercaya) bagi media yang bersangkutan (sebagai perawi). Padahal pegangan dasar dan universal sebuah media massa adalah kepercayaan publik pada media yang bersangkutan, karena pemberitaan-pemberitaannya yang benar, tepat dan dapat dipercaya. Maka demi menjaga kepercayaan itu, televisi berita paling terkemuka di dunia, CNN dengan tegas memecat wartawannya, Peter Arnett, yang demikian menonjol dengan laporan-laporan langsungnya meliput agresi Amerika Serikat di Irak. Karena ternyata kemudian ada beberapa laporan yang diakui lapor dari padang pasir medan perang, ternyata dari tempat yang direkayasa sebagai medan perang. Demikian pula raja suratkabar dunia, R. Murdoch, tahun lalu menutup suratkabar News of the World yang usianya hampir 200 tahun, karena menyiarkan berita tak akurat tentang penyelewengan keuangan di kantor Walikota  London (Lord Mayor of London).

Baca Juga:  Dukungan Mahasiswa AS untuk Palestina Menginspirasi Dunia

Membahas soal verifikasi atau uji kebenaran berita, kita bisa mengakses bukti fisik yang sezaman dengan peristiwanya.

Bandingkan dengan periwayatan hadis. Mayoritas hadis diriwayatkan secara ahad. Seringkali ucapan atau perbuatan Nabi hanya disaksikan satu-dua-tiga Sahabat saja. Dari situ, ia disebar ke generasi setelahnya secara lisan (bayangkan kalau-kalau ada kata yang diubah/hilang atau ada ‘korupsi’ fakta yang terjadi dari transmisi oral itu–lha wording media abad 21 saja bisa simpang siur).

Lalu informasi itu baru ditulis jauh setelah peristiwanya selesai alias post-factum (al-Muwattha’ karya Imam Malik, yang menjadi salah satu kitab hadis terawal, baru ditulis abad 2H, Sahih Bukhari di abad 3 H).

Selain itu, sebagian riwayat itu susah diverifikasi dengan nilai akurasi tinggi karena kita tak mendapati bukti-bukti fisik yang sezaman dengan informasi dalam hadis.

Baca Juga:  Renungan Hardiknas 2024: Pendidikan Bermutu untuk Memperkuat Daya Saing Bangsa

Tak kalah penting, terutama saat menyangkut hadis yang bermuatan politis, subjektifitas perawi hadis bisa saja berpengaruh. Seorang perawi boleh jadi dinilai tidak tsiqah semata-mata karena ia berafiliasi ke kelompok atau mazhab yang dianggap menyimpang oleh penulis hadisnya dengan kata lain, ada sentimen sektarian.

Ini baru hadis, belum narasi sejarah di kitab-kitab tarikh klasik yang uji otentifikasi riwayatnya tak seketat hadis.

 

Penutup

Media mempunyai peranan yang amat penting dalam mewujudkan sebuah yang harmoni dan negara yang maju dan cemerlang. Media massa yang semakin hari kian bertambah perlu sama-sama menilai dan mengkritik dalam usaha memperbaiki nilai untuk kebaikan, bukannya mengkritik untuk menjatuhkan dan meruntuhkan sebagai sasaran utama. Pesan yang disampaikan bukan hanya sekadar maklumat untuk tatapan, akan tetapi seyogianya mampu mengubah persepsi dan sikap masyarakat terhadap pristiwa. Media yang digerakkan dengan penuh kesadaran sosial, sesuai Kode Etik Jurnalistik,  mampu membawa pelbagai manfaat kepada masyarakat dan negara, namun media yang dilonjakkan dengan semangat mencari laba dan keuntungan apalagi provokatif untuk agenda tertentu, mengacuhkan akurasi dan subyektif,   tanpa mengutamakan tanggungjawab media massa, akan dapat mengundang pelbagai malapetaka.

Jadikan informasi bermanfaat dan berakhlak menjadi budaya kita !! (P013/P2)

Sumber :

  • Jajat Omeni, Komunikasi Islam dan Tantangan Modernitas. 2008
  • Sosiologi Komunikasi, Jakarta Kencana Prenada Media 2006

 Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

 

Wartawan: Rifa Arifin

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0