Israel: Semua Orang Arab Palestina Tersangka

Oleh: Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Jika berjalan pergi menuju Kota Tua Yerusalem, telah menjadi pemandangan yang biasa bila menyaksikan tentara Israel menepuk-nepuk tubuh beberapa remaja Palestina secara bersamaan untuk memeriksa apakah ada senjata yang disembunyikan di balik pakaian, dengan kedua tangan menempel di dinding, kepala menghadap ke depan, dan kaki terbuka lebar.

Berkat undang-undang yang baru-baru ini disahkan oleh pemerintah Israel pada Februari lalu, menghentikan dan menggeledah adalah hukum. UU itu memungkinkan tentara Israel memeriksa mencari senjata setiap orang yang lewat.

“Hal ini terang-terangan rasisme. Siapapun yang terlihat Arab. Dan tampaknya Israel tahu siapa yang terlihat (etnis) Arab,” kata Jamil Freij, seorang dari Yerusalem kepada Al Jazeera.

Freij yang berusia 26 tahun bekerja di Kota Tua. Ia mengatakan “luar biasa” jumlah pasukan Israel yang dikerahkan di daerah itu dan telah membuatnya sangat gelisah.

“Mereka gila. Mereka akan menembak saya,” katanya.

Sejak awal pemberontakan pada bulan Oktober yang juga disebut Intifadhah Al-Quds , ketakutan dan paranoia muncul mengkarakterisasi suasana kota, terutama di Damaskus Gate, titik yang rentan menimbulkan bentrokan.

Puluhan tentara Israel dibekali senjata berat dengan jari-jari yang selalu menempel pada pemicu. Mereka terkonsentrasi di titik-titik strategis di pintu gerbang, tempat yang biasa para berkumpul.

“Kami memiliki masalah sekarang, laki-laki muda yang tidak punya niat untuk melawan akan waspada ketika berjalan di depan tentara. Ketika saya berjalan, saya mulai berpikir untuk tidak membuat gerakan tiba-tiba di depan tentara,” kata Freij.

Delapan bulan terakhir berlangsungnya serangan sporadis oleh warga Palestina terhadap tentara dan pemukim Israel, telah dianggapi dengan tindakan keras oleh pasukan Israel dalam bentuk penembakan terhadap orang tidak bersalah yang terduga penyerang dan demonstran yang tidak bersenjata. Pos militer melakukan mengeledahan tubuh warga Palestina dan menyebarkan pasukan bersenjata berat di seluruh kota Yerusalem.

Menurut hukum, tentara dapat memeriksa setiap individu, di lokasi tertentu, tanpa harus menjawab pertanyaan atas tindakan mereka. Kelompok hak asasi menggambarkannya sebagai “tindakan ”. Penggeledahan terhadap warga Palestina kadang-kadang agresif dan hanya berdasarkan penampilan mereka.

“Setiap warga Palestina yang lewat akan diperiksa oleh tentara Israel dan membuat mereka harus berdiri dari 15 menit sampai satu jam. Cara mereka mencari adalah memalukan,” kata Nisreen Allayan, pengacara dari Asosiasi untuk Hak-Hak Sipil di Al-Quds (Yerusalem Timur).

“Mereka selalu mengangkat senjatanya dan membuka kaki mereka (warga Palestina yang diperiksa). Kadang-kadang tentara membuat mereka membuka kancing celananya dan membuka baju mereka di tengah jalan, “kata Allayan, menggambarkan cara para pemuda Palestina yang sedang diperiksa.

Sebelumnya, RUU memperbolehkan tentara untuk memeriksa individu hanya jika mereka memiliki cukup alasan berdasarkan perilaku dan tindakan, sehingga mereka mencurigai individu tersebut berpotensi melakukan serangan. Dengan demikian, mereka akan dibawa ke kantor polisi untuk pemeriksaan daripada dipermalukan di jalan.

Allayan meyakini, UU baru adalah bentuk hukuman kolektif otoritas Israel terhadap warga di Yerusalem dan generasi mudanya.

Meskipun pemerintah Israel belum mengungkapkan di mana area tempat hukum itu diterapkan, Allayan mengatakan dengan jelas bahwa UU itu menargetkan Gerbang Damaskus, terutama karena pernah beberapa serangan dilakukan terhadap tentara Israel di sana.

Meskipun bersenjata, tapi tentara Israel terlihat menggunakan “kekuatan yang berlebihan” dalam menanggapi dugaan ancaman serangan, seperti yang PBB tunjukkan dalam laporan terbarunya.

Sebuah adegan mengerikan telah direkam oleh Al Jazeera di Gerbang Damaskus pada bulan Februari. Video itu menunjukkan pasukan Israel menembakkan hujan peluru kepada warga Palestina 20 tahun yang diduga menyerang dua polisi perbatasan Israel dengan pisau, bahkan setelah ia jelas mati dan tidak menimbulkan ancaman.

“Setiap gerakan yang terjadi di tempat yang salah pada waktu yang salah, dapat ditafsirkan salah dan dapat menyebabkan pelatuk ditarik, terutama karena ada dorongan dari aspek nasional,” kata Issam Jweihan, Direktur Pusat Kesadaran di al-Maqdese untuk Pengembangan Masyarakat LSM, organisasi yang bekerja untuk melindungi dan membela hak-hak warga Palestina, khususnya di Yerusalem.

Pada bulan Maret, insiden lain yang menggunakan kekuatan yang tidak proporsional juga tertangkap kamera, ketika tentara Israel bernama Elor Azaria (19) mengeksekusi mati seorang pria Palestina yang dilucuti dalam kondisi terbaring terluka di tanah, meskipun ia terlihat tidak menimbulkan ancaman setelah diduga melakukan serangan menusuk .

Setelah itu, polisi Azaria kemudian didakwa dengan kasus pembunuhan yang berlangsung di Hebron. Akibat vonis itu, ribuan warga Israel turun ke Rabin Square di Tel Aviv pada 19 April untuk menggalang dukungan bagi Azaria. Mereka berteriak, “Dia pahlawan.”

Menurut Jweihan, unjuk kekuatan digunakan untuk mengirim pesan kepada warga Palestina, “Kamu adalah orang Arab dan kamu semua adalah tersangka.”

Majd Zughayar, pemuda Palestina lain yang berada di Yerusalem, mengatakan, dia berhenti pergi ke kota tua sebanyak mungkin karena adanya ruang militerisasi.

“Setiap kali saya berjalan melewati para prajurit, saya sadar dan mulai mengekspos (memperlihatkan) tangan saya dengan jelas untuk menunjukkan bahwa tidak ada (apa-apa) di dalamnya,” kata Zughayar.

Sebelum UU itu disahkan, beberapa anggota oposisi di Knesset Israel menyatakan keberatannya tentang hukum rasisme yang justeru akan membangkitkan “kelompok lemah” untuk melawan.

“Hari ini, mereka mendengar seseorang berbahasa Arab di telepon, mereka berkerumun di sekitarnya dalam hitungan detik dan orang memiliki alasan untuk takut dalam hidupnya,” kata Allayan.

Seiring waktu, Jweihan yang bekerja dengan banyak pemuda Palestina, meyakini bahwa penggeledahan tubuh yang konstan, yang sering dengan kekerasan dan merendahkan, dapat menyebabkan masalah psikologis bagi pemuda Palestina.

“Dia (pemuda Palestina) memiliki dua pilihan. Entah ia tetap diam dan menyerah kepada semua provokasi itu, atau dia bisa ditangkap jika ia mencoba melawan,” kata Jweihan.

Menurut Allayan, melihat Palestina sebagai ancaman.

“Cara mereka memperlakukan mereka bukan untuk menjaga keamanan warga Palestina,” katanya. (P001/P4)

Sumber: Tulisan Zena Tahhan di Al Jazeera

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.