KHUTBAH ‘IDUL ADHA 1434 H: RELEVANSI HAJI DAN KURBAN DENGAN KESATUAN UMAT DALAM RANGKA PEMBEBASAN MASJID AL-AQSHA

Arafah adalah miniatur padang Mahsyar, terminal akhir perjalanan manusia sebelum ditentukan nasibnya, apakah dia akan ke surga atau ke neraka. Di sinilah manusia akan diadili oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan seadil-adilnya. Oleh karena itu, apabila terjadi perselisihan, janganlah merasa diri paling benar selama yang diperselisihkan bukan hal-hal yang qath’i, yang sudah dipastikan kebenarannya oleh Allah dan Rasul-Nya. Di Arafah ini, hendaknya manusia menyadari pula bahwa apapun perbedaan yang terjadi di antara mereka akhirnya mereka akan bersatu kembali di padang Mahsyar di bawah keagungan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, satu-satunya Dzat yang mampu menyatukan segala perbedaan. Kesadaran inilah yang akan mengantarkan manusia menjadi arif (memahami) diri sendiri dan orang lain.

Menurut Ibnu Sina, apabila kearifan telah menghiasi diri seseorang, maka dia akan “Selalu gembira, banyak senyum karena hatinya telah gembira sejak ia mengenal Allah Subhanhu Wa Ta’ala. Di mana-mana ia melihat satu saja, melihat Allah yang Mahasuci. Semua makhluk dipandangnya sama. Ia tidak mengintip-ngintip atau mencari-cari kesalahan orang. Ia tidak akan cepat tersinggung walau melihat yang mungkar sekali pun (namun bukan berarti tidak memiliki kepekaan terhadap lingkungan). Karena jiwanya telah diliputi oleh rahmat dan kasih sayang.”

Di Arafah inilah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyampaikan khutbah pada Haji Wada’ yang intinya menekankan:

  • Persamaan di antara manusia,
  • Keharusan memelihara jiwa, harta dan kehormatan orang lain, dan
  • Larangan melakukan penindasan atau pemerasan terhadap kaum lemah baik di bidang ekonomi, maupun bidang-bidang lain.

5. Dari Arafah, para jamaah haji menuju Mudzalifah untuk mengumpulkan batu di malam hari dalam rangka melempar jumrah di Mina. Mereka melemparkan batu pada titik yang sama secara bersama-sama pada waktu yang sama dengan cara yang sama. Batu dikumpulkan di tengah malam sebagai lambang bahwa musuh tidak boleh mengetahui siasat dan senjata kita. Melempar batu pada titik yang sama secara bersama-sama pada waktu yang sama dan dengan cara yang sama merupakan pengajaran bahwa umat Islam dalam menghadapi musuh, mereka harus bekerja sama. Apabila mereka menghadapi musuh sendiri-sendiri bahkan saling berselisih, jangan diharap mereka dapat menang.

 

Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahilhamd.

 

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

 

Kurban dan Kesatuan Umat

Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam hadir di pentas kehidupan pada suatu masa persimpangan menyangkut mengenai pandangan manusia tentang boleh tidaknya manusia dikurbankan sebagai persembahan kepada Tuhan. Satu pihak membolehkannya dan pihak lain tidak membolehkan, karena manusia terlalu mulia untuk tujuan tersebut. Melalui Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam secara amaliah dan tegas larangan itu dikukuhkan. Bukan karena manusia terlalu tinggi nilainya sehingga tidak wajar dikurbankan, tetapi karena Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Putranya, Ismail yang semata wayang dan sangat dikasihi diperintahkan Allah untuk dikurbankan, sebagai pertanda bahwa apapun, apabila panggilan Allah datang, dilaksanakan dengan sepenuh hati oleh ayah dan anak, Allah dengan kekuasaan-Nya menghalangi penyembelihan tersebut dan menggantinya dengan domba sebagai pertanda bahwa hanya karena kasih sayang Allah kepada manusia, praktek pengurbanan manusia itu tidak diperkenankan.

Peristiwa dramatis yang menjebol naluri kemanusiaan akan teladan agung tentang kurban ini, dikisahkan dengan indah dalam rangkaian ayat-ayat berikut ini:

رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ(١۰۰)فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ(١۰١)فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَاأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ(١۰٢)فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ(١۰۳)وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَاإِبْرَاهِيمُ(١۰٤)قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ(١۰٥)إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ(١۰۶)وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ(١۰۷)وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآخِرِينَ(١۰۸)  سَلَامٌ عَلَى إِبْرَاهِيمَ(١۰۹)كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ(١١۰)/ الصَّافَّات [٣٧]: ١٠٠-١١٠.

Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu”, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Shaffaat [37]: 100-110)

Para ahli tafsir menyatakan bahwa ketika Ibrahim ‘Alaihis Salam akan melaksanakan perintah penyembelihan ini dan mata pisau siap menebas leher Ismail, Allah memanggilnya, ‘Hai Ibrahim, engkau telah melaksanakan mimpi itu.” Kemudian Ismail ditebus dengan domba yang besar.

Inilah asal mula ibadah kurban yang dilestarikan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan umatnya sampai saat ini.

Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahilhamd.

 

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Ismail memang utuh. Yang terbunuh oleh Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam adalah kecintaan kepada satu-satunya anak yang dimiliki. Kecintaan kepada duniawi terpenggal oleh tajamnya kepasrahan diri kepada Allah. Inilah teladan luhur yang mengajarkan pada manusia untuk rela melepas apa yang sejatinya milik Allah. Keikhlasan untuk berkurban membantu sesamanya dan menolong yang lemah serta mengangkat yang menderita.

Pengurbanan sesungguhnya adalah fitrah manusia. Kehadiran manusia di dunia adalah pengurbanan yang luar biasa besar. Bayi yang begitu lemah dan tidak mandiri meninggalkan rahim ibu dengan segala fasilitasnya. Termasuk pula putus hubungan dengan plasenta (ari-ari), satu-satunya pipa logistik yang memasok kebutuhan pangan untuknya. Padahal taruhan lahir ke dunia sangat berat. Ibunya, ladang kehidupan selama dalam kandungan dan di dunia nanti mungkin harus mati demi kelahirannya. Di sini tampak bahwa pengorbanan adalah sifat dasar manusia. Kelahirannya ke dunia adalah pengurbanan antara dirinya dan ibunya. Oleh karena itu, Mahabenar Allah yang mensyariatkan kurban kepada umat manusia.

Dalam ibadah kurban, hewan adalah simbol duniawi. Makna di balik ibadah kurban adalah perintah Allah untuk membuang jauh-jauh sifat egoisme, sikap mementingkan diri sendiri dan sikap rakus kepada harta atau kedudukan. Sikap inilah yang menjadi penghambat terwujudnya kesatuan. Oleh karena itu, sikap-sikap ini harus kita buang jauh-jauh apabila kita menginginkan terwujudnya kesatuan umat Islam.

Kurban adalah fenomena ibadah yang menolak segala bentuk kerakusan kepada dunia yang akan melanggar hak orang lain terutama orang-orang yang lemah yang akan mengakibatkan permusuhan di antara manusia. Oleh karena itu, kurban sebenarnya adalah wahana pendidikan rohani yang meniscayakan pentingnya persaudaraan (ukhuwwah) di antara manusia. Perintah kurban kepada orang kaya dan membagikan dagingnya untuk orang miskin merupakan pelajaran penting bahwa Islam menganjurkan kepada umatnya agar memperhatikan kepentingan orang lain, terutama orang-orang yang kekurangan. Melalui syariat kurban, Allah berpesan bahwa manusia akan dapat bertaqarrub (mendekatkan) diri kepada Allah dengan mendekati saudara-saudara kita yang serba kekurangan.

Wartawan: Ali Farkhan Tsani

Editor:

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0