Komite Solidaritas Bersama Pasca Kemenangan Trump

Oleh: , Presiden Nusantara Foundation

Semalam, Ahad 4 Desember, saya mendapat kesempatan menjadi salah seorang narasumber mewakili komunitas Muslim pada sebuah acara besar. Acara ini saya sebut besar karena memang hadir peserta dalam jumlah besar. Tapi yang terpenting bertujuan besar. Yaitu membentuk grassroot movement atau gerakan bawah untuk mengantisipasi kemungkinan buruk dari terpilihnya Donald menjadi Presiden Serikat ().

Dari komunitas Muslim selain saya juga hadir Linda Sarsour, seorang aktifis komunitas dan wanita eMuslimah, sekaligus Direktur Asosiasi Arab Amerika. Beliau dikenal aktif dan tegas dan membela hak-hak minoritas. Wanita keturunan Palestina ini juga dikenal lihai dalam berorasi.

Kekhawatiran itu Nyata

Sejak terpilihnya Donald Trump pada tanggal 8 Nopember lalu, hampir semua pihak mengalami shock, kaget, bahkan khawatir dan takut. Retorika-retorika politik yang disampaikan Donald trump selama kampanye jelas dan tetap terngiang di telinga mereka. Termasuk di antaranya akan mendeportasi massal mereka yang tidak atau belum memiliki dokumen tinggal yang sah. Juga aman menutup bagi imigran Muslim untuk datang ke AS.

Banyak pihak yang menyangka jika janji-janji politik itu, lazimnya janji yang lain, memang sekedar janji. Sebagian mencurigai jika semua itu adalah strategi Donald Trump untuk menarik simpati pemilih dari segmen masyarakat Amerika tertentu. Maklumlah jika janji-janji politik biasa yang disampaikan Donald Trump, masyarakat Amerika tidak akan membelinya. Sebab dia sendiri sangat tidak “kredibel” untuk menjadi presiden.

Nyatanya memang janji-janji itu belum terjadi. Pasalnya karena memang Donald Trump belum dilantik. Tapi konsekwensi dari retorika-retorika politiknya telah meracuni banyak orang. Maka dalam masa kurang dari sebulan sejak kemenanagannya, telah terjadi 900 kasus kekerasan kepada kaum minoritas. Ini termasuk kepada Muslim, warga berkulit hitam, hispanik, LGBT, dan bahkan Yahudi.

Sehingga wajar jika semua pembicara pada acara semalam menyampaikan bahwa ancaman Donald Trump itu memang nyata, bahkan telah terjadi secara “massif”. Memang belum sistemik, atau belum dalam bentuk kebijakan pemerintah. Karena Donald Trump belum dilantik sebagai presiden. Tapi racun itu mulai menggerogoti akal sehat dan rasionalitas sebagian pengikutnya.

Kasus yang terbaru adalah seorang anak mahasiswi Muslimah keturunan Mesir diserang di sebuah stasiun kereta api di kota New York. Beritanya dapat dilihat di sini.

Bahkan anak dari seorang NYPD (anggota kepolisian NY) Muslimah atau Polwan juga mengalami pelecehan. Polwan ini di jajaran kepolisian dianggap pahlawan karena dedikasi dan pengabdianya kepada kota New York.

Kenyataan ini bagi saya sendiri merupakan indikasi besar akan adanya berbagai tantangan yang akan kita hadapi ke depan. Saya menekankan sekali lagi bahwa yang paling menakutkan bukan Donald Trump sebagai presiden. Tapi racun kebencian yang dia telah dan terus dia sebarkan terhadap komunitas-komunitas minoritas, khususnya Muslim.

Resistensi bersama

Ancaman ril yang dihadapi oleh banyak pihak, bahkan masyarakat putih selain pendukung Trump inilah yang menjadi alasan sekolompok anak-anak muda awalnya berkumpul dan bersepakat untuk membangun gerakan resistansi. Tentu bukan melawan institusi kepresidenan. Tidak juga melawan kemenangan Donald Trump karena itu keputusan demokrasi. Tapi resistensi terhadap akibat retorika politik dan kemungkinan kebijakan yang berbahaya.

Gerakan ini disebut gerakan solidaritas rakyat banyak. Penamaan ini diambil karena di satu sisi memang kekerasan-kekerasan yang dialami sebuah komunitas sekaligus juga ancaman bagi masyarakat yang lain. Sehingga memang perlu dibangun rasa kebersamaan, tenggang rasa atau solidaritas dengan segmen-segmen masyarakat lainnya.

Disebut rakyat banyak karena memang secara jumlah pemilih Hillary telah memenangkan pemilu Amerika dengan jumlah suara lebih dari 2,5 juta pemilih. Jumlah pemilih yang fantastik dan terbesar dalam sejarah. Kemenangan Donald Trump hanya karena sistim elektoral semata. Bahkan dicurigai memang jika ada kecurangan dan hacked dari pihak luar, khususnya Rusia.

Oleh karenanya pertemuan semalam merupakan kristalisasi kekhawatiran, kekecewaan, sekaligus kekuatan suara rakyat banyak. Sementara ini komite solidaritas ini akan memetakan permasalahan-permasalahan yang ada, atau kemungkinan timbul, lalu merancang langkah-langkah praktis menghadapinya.

Sebagai misal, pertemuan itu menawarkan pelatihan-pelatihan bagi semua komunitas minoritas bagaimana menghadapi kemungkinan ancaman deportasi. Atau sekelompok pengacara menawarkan diri untuk membela jika ada registrasi bagi komunitas Muslim.

Saya sendiri dalam presentasi saya menyampaikan bahwa komunitas Muslim Amerika merupakan bagian integral dari bangsa ini. Apa yang terjadi dan akan terjadi kepada mereka juga terjadi dan akan terjadi ke komunitas lainnya. Oleh karenanya pembentukan solidaritas bersama menjadi kebutuhan yang mendesak.

Sebagaimana di presentasi-presentasi saya sebelumnya, saya kembali menekankan pentingnya membangun “jembatan” dan bukan “dinding”. Slogan ini merupakan sindiran ke slogan kampanye Trump yang ingin membangun dinding-dinding pembatas antar kelompok komunitas Amerika.

Saya juga menekankan bahwa banyak masyarakat Muslim yang khawatir, bahkan marasakan ketidakmenentuan hidup di Amerika. Seolah impian Amerika (American Dreams) sirna di mata mereka dengan terpilihnya Donald Trump dan kenyataan bahwa kekerasan-kekerasan semakin menjadi-jadi.

Oleh karena itu mewakili komunitas Muslim saya menyampaikan tekad kita untuk bersama mengawal dan melawan kebijakan-kebijakan yang nantinya merugikan pihak-pihak tertentu. Karena sekali lagi: “a harm afflicted on any is being afflicted on all” (sebuah keburukan yang dialami oleh sebuah kelompok menjadi keburukan bagi semua).

Dan saya berharap kejadian-kejadian buruk yang menimpa masyarakat Muslim dan minoritas lainnya tidak menjadi trade mark Amerika di mata dunia. Bahwa Amerika itu adalah bangsa yang rasis dan anti minoritas. Jika ini terjadi berarti Amerika akan semakin kehilangan wajah yang baik dan kredibilitas di dunia internasional.

Alhamdulillah, pesan-pesan dan masukan saya mendapat apresiasi yang baik. Bahkan tidak sedikit yang ingin berkunjung ke mesjid dan bersilatirrahim dengan komunitas Muslim.

New York, 5 Desember 2016

(P007/R05)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: Rana Setiawan

Editor: Admin

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.