MANTAN PM TONY BLAIR HARUS DIADILI MAHKAMAH KRIMINAL INTERNASIONAL

blair and bush aljazeera
Mantan PM Inggris Tony Blair (kiri) bersama mantan Presiden AS George Walker Bush (Al-Jazeera)

London, 14 Muharram 1437/27 Oktober 2015 (MINA) – Ungkapan terbuka mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair yang meminta maaf atas ke yang diakuinya ‘salah’ memicu kritik tajam. Sejumlah kalangan berpandangan ia harus diseret ke hadapan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Invasi Amerika Serikat (AS) dan Inggris ke Irak pada 2003 lalu, yang berujung pada tumbangnya rezim Presiden Saddam Hussein, telah menyeret ‘Negeri 1001 Malam’ ke dalam jurang konflik sektarian dan kekacauan hingga saat ini.

Keputusan Blair menyeret Inggris ke dalam perang di Irak dikecam banyak pihak, terlebih belakangan diketahui bahwa saran intelijen yang dijadikan dasar pembenaran invasi itu diakui olehnya salah. Blair juga disebut tidak ‘sepenuh hati’ menyesali aksi militer terhadap Irak yang telah membunuh ribuan warga sipil tak berdosa itu.

Seperti dilansir di laman Independent, Selasa (27/10), pemimpin oposisi Inggris Jeremy Corbyn, serta penasehatnya, Andrew Fisher, menyerukan agar Blair diadili sebagai seorang penjahat perang.

Seruan agar Blair diseret ke Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) juga disampaikan Neil Clark, kolumnis terkemuka sejumlah surat kabar di Inggris dan sejumlah negara lainnya, termasuk The Guardian, Morning Star, Daily and Sunday Express, Daily Telegraph, New Statesman, dan The American Conservative.

“Dia (Blair) belum meminta maaf sama sekali. Ia mengatakan ada unsur kebenaran dalam gagasan bahwa invasi Irak mungkin telah menyebabkan munculnya ISIS,” ujarnya. “Dia mengatakan merasa sangat sulit meminta maaf karena melengserkan Saddam Hussein dari kekuasaan. Tentu saja, perubahan rezim adalah ilegal di bawah hukum internasional”.

Clark mengatakan alasan Inggris dan AS menginvasi Irak adalah untuk menumbagkan Saddam dan karena negara itu sesungguhnya tidak memiliki senjata pemusnah massal (WMD) seperti yang digembar-gemborkan.

“Jika Blair dan Bush benar-benar berpikir Irak memiliki senjata pemusnah massal, mereka tidak akan menyerang, mereka akan ditangkis,” tegasnya.

Kini ICC memiliki kesempatan untuk mendakwa Blair atas kejahatan perang karena terbukti memimpin Inggris ke dalam perang ilegal atas dasar kebohongan. Jika langkah itu tidak diambil, kata dia, maka keadilan internasional hanyalah sebuah ‘lelucon’.

“Jika Tony Blair tidak diadili atas kejahatan perang maka siapa lagi yang akan diadili atas kejahatan perang tersebut? Benar-benar akan membuat seluruh sistem keadilan internasional sebuah lelucon. ICC mendakwa pemimpin Afrika untuk kejahatan yang skalanya tidak sama dengan kejahatan Tony Blair. Perang Irak adalah kejahatan terbesar abad ke-21.”

Tidak Tulus

Cedekiawan Muslim terkemuka, Yasir Qadhi, memandang permintaan maaf Blair jauh dari dari kata tulus. Menurutnya itu hanyalah sebuah taktik mantan pemimpin Inggris itu untuk menujukkan diri kepada khalayak sebagai seorang yang bijak.

“Tony Blair akhirnya keluar (dari persembunyiannya) dan dengan setengah hati meminta maaf’ untuk perang di Irak. Selain itu, ia telah agak parsial sepakat bahwa Amerika dan Inggris yang harus disalahkan untuk lahirnya ISIS. Sungguh murah hati!” sindir Yasir Qadhi, seorang sarjana Muslim terkenal, seperti dilansir OnIslam.

“Maaf ini, jauh dari lubuk hati (karena saya tidak percaya dia memiliki hati atau hati nurani), hanyalah taktik untuk mempertahankan kehormatan dan martabat dalam tulisan-tulisan sejarawan kelak, bahkan sebagai sisa warisannya selama hidup dalam penghujatan,” tegasnya.

Saat sesi wawancara khusus dengan CNN, Blair mengakui saran intelien yang ia terima tentang senjata pemusnah massal yang dituduhkan ke Irak adalah salah. Dalam laporan itu disebutkan rezim Presiden Saddam Hussein memiliki senjata pemusnah massal, yang kelak menjadi dasar serangan AS dan Inggris ke Irak.

Sekutu dekat mantan Presiden AS George Walker Bush itu, keduanya adalah arsitek Perang Irak, mengakui invasi ke ‘Negeri 1001 Malam’ menjadi pemicu lahirnya kelompok militan, yang belakangan dikenal dengan Islamic State (ISIS).

Permintan maaf Blair mencuatkan tuduhan langsung bahwa politikus Partai Buruh itu mencoba untuk ‘mendahului’ laporan investigasi yang akan diterbitkan oleh Sir John Chilcot tentang perang Irak.

Muak dengan Blair

Kini, dua belas tahun setelah perang mengerikan itu, yang menyebabkan kematian ratusan ribu warga sipil Irak, orangtua dari seorang tentara Inggris yang tewas di Irak mengatakan dia merasa ‘jijik’ ketika mendengar komentar Blair.

“Saya merasa jijik,” kata Reg Keys, ibunda Kopral Tom Keys, yang tewas di Irak pada 2003.

“Orang ini (Blair) pasti punya salah. Sebanyak 179 tentara Inggris tewas, 3.500 luka-luka. Belum lagi ratusan ribu tak berdosa pria Irak, perempuan, dan anak yang kehilangan nyawa mereka. Orang ini harus mengulurkan tangannya (dan berkata) aku salah dan aku minta maaf.”

Keys menuding pernyataan maaf itu sebagai upaya Blair mengelak dan mendahului laporan penyelidkan Perang Irak yang akan disampaikan Sir John Chilcot dalam waktu dekat. Ia juga menyebut Blair berupaya ‘cuci tangan’ dengan menyalahkaan kesalaan intelijen yang ia terima.

“Untuk apa meminta maaf untuk kematian yang tidak perlu? Alasan kita pergi berperang adalah karena senjata pemusnah massal, tidak untuk menggulingkan Saddam,” sindirnya.

Lebih Baik di Era Saddam

Kandidat presiden Amerika Serikat Donald Trump mengatakan, Ahad (25/10) waktu setempat, dunia akan menjadi tempat yang lebih baik jika diktator seperti Saddam Hussein dan Muammar Qaddafi masih berkuasa.

Saat hadir di talk show CNN bertajuk “State of the Union”, taipan real estate itu juga mengatakan Timur Tengah ‘meledak’ sekitar masa Presiden Barack Obama dan mantan menteri luar negeri Hillary Clinton, pesaingnya dari Partai Demokrat dalam merebut kursi Gedung Putih.

“100 persen,” kata Trump ketika ditanya apakah dunia akan menjadi lebih baik dengan Saddam dan Qaddafi masih memerintah Irak dan Libya.

Saddam digulingkan lewat invasi militer pimpinan AS dan dieksekusi pada 2006. Sementara Qaddafi, yang memerintah Libya selama empat dekade, digulingkan dan dibunuh bulan Oktober 2011 di tengah pemberontakan yang didukung Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).

“Orang-orang dipenggal kepalanya. Mereka ditenggelamkan. Sekarang ini jauh lebih buruk dari sebelumnya di bawah Saddam Hussein atau Gaddafi,” kata Trump.

Ia melanjutkan, “Maksudku, lihat apa yang terjadi. Libya sebuah bencana besar. Libya adalah bencana. Irak adalah bencana. Suriah adalah bencana. Seluruh Timur Tengah. Itu semua meledak sekitar Hillary Clinton dan Obama. Itu meledak.”

Sembari menggambarkan Irak sebagai ‘terorisme Harvard’, Trump mengatakan ‘Negeri 1001 Malam’ telah berubah menjadi ‘sarang pelatihan bagi teroris’. “Jika Anda melihat Irak dari tahun lalu, aku tidak mengatakan dia (Saddam) adalah seorang pria baik. Ia adalah seorang pria yang mengerikan tetapi lebih baik dari pada saat ini,” ujar Trump. (T/P022/P4)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: Syauqi S

Editor: Ali Farkhan Tsani

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0