Melestarikan Amal Kebaikan

Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA

adalah harta dan investasi terbaik bagi seorang Muslim. Amal kebaikan yang dilakukan seorang muslim, bisa menjadi jalan baginya meraih surga, dengan syarat ikhlas. Mengerjakan amal kebaikan bagi orang beriman adalah hal yang selalu diusahakan. Artinya, bisa jadi amal kebaikan itu mudah saja dilakukan. Namun, jauh lebih baik lagi adalah bagaimana amal kebaikan itu sendiri.

Dalam aturan syariat agama mulia ini (al Islam), seseorang yang sudah istikomah melakukan amal kebaikan, maka ketika suatu waktu dia berhenti mengamalkan amal kebaikan itu karena sakit atau sedang dalam perjalanan (safar), maka ia tetap akan mendapatkan pahala sebagaimana saat ia melakukan amal kebaikan itu. Misalnya, orang yang senantiasa shalat tahajud, lalu suatu hari dia berhenti dari shalat tahajud itu karena sakit misalnya, maka di saat ia tidak shalat tahajud itu, Allah tetap mencatat baginya pahala tahajud.

Tentang ibadah yang berkesinambungan ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernab bersabda,

عَنْ أَبِي مُوسَى الأشعَرِي رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ أيضا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا مَرِضَ العَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا. (رواه البخاري)

Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu Anhu pula, katanya, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bila seseorang hamba itu sakit atau bermusafir, maka dicatatlah untuknya pahala ketaatan sebagaimana kalau ia mengerjakannya di waktu ia sedang berada di rumah sendiri dan dalam keadaan sehat.” (Riwayat Bukhari).

Dari hadits di atas, ada beberapa pelajaran penting yang bisa dipetik hikmahnya antara lain sebagai berikut.

Pertama, hadists ini menunjukkan betapa besar karunia Allah Subhanahu wa ta’ala kepada hamba-Nya. Allah maha pengasih dan penyayang kepada hamba-Nya.

Kedua, siapa mempunyai amalan yang istiqomah maka bila ia meninggalkan disebabkan oleh adanya udzur syar’i (berhalangan yang benar dalam ajaran Islam), maka ia terus akan ditulis baginya seperti amalnya.

Ketiga, maka mengenal Allah tatkala lapang, Allah akan mengenal kita tatkala dalam keadaan sempit.

Keempat, amal shaleh, baik yang bersifat mahdah (ritual) maupun ghair mahdah (sosial), perlu dijaga dengan terus-menerus melakukannya atau konsisten tanpa pernah bosan apalagi sampai berhenti. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jangan membiasakan ibadah, lalu meninggalkannya.” (HR. Ad Dailami)

Allah sangat menyukai orang yang melakukan hal seperti itu, meskipun sedikit. Nabi Shallallahu ‘alalihi wasallam bersabda, “Amal (kebaikan) yang disukai Allah ialah yang langgeng meskipun sedikit.” (HR. Al-Bukhari).

Kelima, Imam an-Nawawi dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim mengatakan, “Ingatlah bahwa amal sedikit yang konsisten dilakukan akan melanggengkan amal ketaatan, dzikir, takarrub kepada Allah, niat dan keikhlasan dalam beramal, juga akan membuat amal tersebut diterima oleh Allah. Amal sedikit yang rutin dilakukan juga akan memberikan ganjaran yang besar dan berlipat dibandingkan dengan amal yang sedikit tetapi sesekali saja dilakukan.”

Keenam, Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya Fath al-Bari menjelaskan, dengan melakukan amal secara rutin meskipun sedikit maka akan berkesinambunganlah ketaatan dalam bentuk dzikir, merasa diawasi oleh Allah, menjaga keikhlasan, dan hati senantiasa terhubung kepada Allah. Berbeda halnya dengan amal yang sekaligus banyak dan berat. Hingga sesuatu yang sedikit tetapi rutin lebih cepat penambahannya daripada banyak tetapi terputus.

Ketujuh, melakukan satu amal shaleh terkadang lebih mudah dibanding menjaganya di lain waktu. Rasa malas, bosan, dan enggan kerap kali menghalangi untuk itu. Di sinilah salah satu ujian besar dan berat seorang beriman yang sesungguhnya. Apakah ia berhasil melewati halangan itu, lalu dengan penuh semangat dan tulus menjaga amal untuk terus dilakukan, atau tidak. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengingatkan bahwa Allah tidak akan pernah bosan memberikan pahala sampai seseorang bosan beramal. (HR. al-Bukhari).

Ayat al Qur’an terkait dengan hadits di atas

Pertama, yakni mereka yang ikhlas dalam beramal hanya karena Allah yaitu dengan menaati apa yang telah diperintahkan oleh Allah Ta’ala kepada mereka;

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللّٰهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنزلُ عَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ أَلا تَخَافُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ ۞ نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ ۞ نُزُلًا مِنْ غَفُورٍ رَحِيمٍ ۞

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami ialah Allah, ” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” Kamilah Pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Fushilat/41: 30-32)

Kedua, beramal kebaikan pada hakekatnya untuk diri sendiri. Allah Ta’ala berfirman,

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ تُرْجَعُونَ ۞

Siapa yang mengerjakan amal yang saleh, maka itu adalah untuk dirinya sendiri. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan, maka itu akan menimpa dirinya sendiri, kemudian kepada Tuhan-mulah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Jatsiyah/45: 15).

Semoga Allah Ta’ala selalu membantu kita untuk istikomah melestarikan setiap amal kebaikan, wallahua’lam.(A/RS3/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Bahron Ansori

Editor: Bahron Ansori

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.