Menuju Puasa Tingkat Pascasarjana

Hasvi Harizi, Mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-Raniry, NAD (foto: pribadi)

Oleh: Hasvi Harizi, Mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-Raniry, NAD

Tidak terasa kita sudah beberapa hari menikmati indahnya bulan suci Ramadhan. Semoga sahabat semua selalu diberikan kekuatan dan keistiqamahan dalam beramal salih di bulan yang penuh berkah ini.

Pada tulisan sebelumnya –Puasanya Para Sarjana. Kita sudah memaparkan dari sisi pentingnya, tingkatannya dan gambaran Ramadhan jika diibaratkan sebagai sebuah universitas.

Tulisan tersebut mudah-mudahan menjadi studi banding bagi penulis dan pembaca sekalian dalam memahami tingkatan puasa yang dipaparkan oleh Imam Al-Ghazali dan ulama sebelumnya. Tulisan tersebut juga sekaligus menjadi motivasi bagi kita untuk mencoba memberanikan diri naik dari jenjang strata satu (S1) menuju ke jenjang Strata dua (S2), atau kita sebut puasa tingkat  pascasarjna, atau kita sebut puasa tingkat magister.

Sebelum masuk jenjang kedua ini, sebagai prasyarat pendaftaran sekaligus tes masuk, mahasiswa harus dapat memahami terlebih dahulu perkara yang dimakruhkan saat berpuasa. Setelah itu, mahasiswa dianjurkan untuk menghindari hal-hal makruh yang dilakukan saat puasa, baik secara sengaja maupun tidak sengaja.

Meskipun perkara tersebut tidak membatalkan puasa, namun menurut para muhaqqiqin perkara tersebut dapat mengurangi bahkan menghilangkan pahala puasa. Jika perkara tersebut belum dipahami mahasiswa, bahkan perkara tersebut masih tetap dilakukan, maka dapat dipastikan  mahasiswa tersebut gagal untuk lulus kejenjang pascasarjana ini.

Perkara tersebut atau yang kita sebut dengan makruh puasa, tidak akan dapat dipahami secara sempurna sebelum memahami terlebih dahulu pengertian dan perincian dari istilah makruh itu sendiri. Sebab memahami istilah yang menjadi perantara untuk mengantarkan pada tujuan secara pasti, secara sepakat hukum perantara sama dengan hukum tujuan.

Makruh secara harfiahnya bermakna sesuatu yang dibenci. Dalam kajian usul fiqih, istilah makruh dipahami sebagai mukhalafah (kebalikan) dari mandub (sunnah), yaitu sesuatu yang berpahala jika ditinggalkan karena motif kepatuhan atas larangan syara’ dan tidak ada akibat siksa jika dilakukan, seperti menoleh-noleh dalam shalat.

Baca Juga:  Mahasiswa Generasi Baru di AS Beri Harapan kepada Palestina

Definisi makruh diatas, bila dikaji melalui disiplin ilmu mantiq adalah ta’rif bil khawash atau ta’rif bil hukmi, yakni pendefinisian dengan menyebutkan karakter khas atau hukumnya. Sedangkan pengertian makruh secara hadd dari makruh adalah sesuatu yang dituntut untuk ditinggalkan dengan tuntutan tidak tegas.

Jadi, dapat dipahami bahwa makruh puasa adalah hal atau perkara yang dituntut untuk ditinggalkan dalam berpuasa dengan tuntutan tidak tegas. Bila terus dilakukan dalam waktu berpuasa maka bisa mengurangi pahala bahkan bisa membatalkan puasa Ramadhan. Seperti menggosok gigi setelah tergelincir matahari, hukumnya makruh menurut jumhur fuqoha.

Untuk lebih jelasnya, berikut sepuluh perkara yang dimakruhkan saat puasa, berdasarkan pendapat salah satu komentator ulung mazhab syafi’i, yaitu Syaikhul Islam Abu Zakaria al-Anshari, dalam kitabnya Tuhfah al-Thullab bi Syarh Tahrir Tanqih al-Lubab, Haramain, hal 334.

Sebelum menjabarkan keseluruhannya, perlu kami ingatkan bahwa sepuluh perkara tersebut menurut Imam as-Syarqawi selaku penghasyiah, hanya sebagai hashar idhaafi (batasan yang bersifat relatif). Karena itu, bisa saja dijumpai dalam kitab lain lebih banyak atau lebih sedikit dari sepuluh perkara yang dikemukakan oleh pengarang.

Lansung saja, berikut sepuluh perkara yang dimakruhkan dalam berpuasa.

Pertama, musyatamah ( mencaci maki orang lain )

Umpatan atau cacian yang dilakukan saat berpuasa, baik di alam medsos atau di alam nyata hukumnya adalah makruh, tidak membatalkan puasa. Kendati demikian, hal itu merupakan perbuatan yang diharamkan baginya, terlebih menjalani ibadah puasa.

Kedua, menunda-menunda/mengakhirkan berbuka

Pada prinsipnya, menyegerakan buka puasa di awal waktu dengan merasa yakin bahwa matahari telah terbenam adalah baik dan hukumnya adalah sunnah. Sebaliknya, menunda-nunda berbuka dengan sengaja dan berpendapat bahwa dengan mengakhirkan berbuka memperoleh fadhilah, hukumnya adalah makruh.

Baca Juga:  Ammo Baba, Pelatih Bola Legendaris Irak

Adapun orang yang uzur, seperti tidak ada makanan dan minuman untuk berbuka, atau seperti orang yang menunggu jamaah, atau ozor lainnya, maka hukumnya tidak dimakruhkan.

Ketiga, مضع علك (mengunyah sesuatu tanpa ada yang dirasakan dan tidak masuk sampai tenggorokan, seperti kemenyan putih)

Dalam kasus ini, Syekh as-Syarqawi mengumpakan dengan mengunyah lubaan abyadh (kemenyan putih), maka hukumnya adalah makruh jika tidak ditelan. Letak kemakruhannya hanya berlaku pada barang keras yang tidak hancur jika dikunyah dan barang tersebut tidak masuk sampai tenggorokan. Adapun mengunyah permen karet itu tetap tidak diperbolehkan selama menjalani puasa. Alasannya, karna permen karet mengandung gula dan bahan-bahan lain dan menelan sari-sarinya.

Selanjutnya, pembahasan bergeser sedikit tentang hukum mengunyah sisa makanan disela gigi yang ikut tertelan. Jika seseorang mengunyah sisa makanan tersebut saat puasa, kemudian menelannya secara sengaja maka puasanya batal. Akan tetapi jika orang tersebut menelannya secara tidak sengaja atau meludah sisa makanan yang dikunyahnya, maka hukum puasanya tidak batal karena dua pertimbangan.

Pertama, puasanya tetap sah sebatas ia tidak mampu membedakan mana sisa makanan itu untuk lalu membuangnya.

Kedua, puasanya tetap sah sejauh ia tidak membersihkan sisa makanan di sela giginya sementara ia sadar ada sisa makanan dan akan terbawa aliran liurnya di waktu siang berpuasa.

Adapun seseorang yang mengunyah makanan untuk anak atau untuk orang tuanya yang sudah lansia, maka puasanya juga tidak batal, karena ada ke’ozoran yang mendesak dalam perkara tersebut.

Keempat, mencicipi/mengecap  makanan

Dalam perkara ini, Syekh Asy-Syarqawi menerangkan bahwa mencicipi makanan akan makruh jika tidak ada hajat atau kepentingan untuk mencicipi makanan tersebut. Kemakruhannya disebabkan orang yang mencicipi makanan tersebut dikhawatirkan tergoda oleh syahwat untuk mendorong masakan ke dalam tenggorokan.

Baca Juga:  Sejarah Hardiknas, Mengenang Bapak Pendidikan Indonesia 

Beda halnya dengan orang yang menyiapkan hidangan/masakan, baik pria maupu wanita, maka mengecap makanan bagi mereka hukumnya tidak makruh karena adanya kepentingan yang menyertainya.

Kelima dan keenam adalah Ihtijam (berbekam) dan hijamah (dibekam)

Pendapat Imam an-nawawi, sebagaimana dinukil oleh Syekh Zakariya dari kitab Raudhah, juga mengatakan hukum asal orang yang membekam dan yang dibekam saat berpuasa adalah makruh.

Ibnu Abdul Salam turut menjelaskan permasalahan ini. Menurutnya bagi orang yang lemah dan kondisi tubuhnya tidak bagus dimakruhkan untuk berbekam di siang hari bulan ramadhan, sebab hal itu mendorong mereka untuk membatalkan puasa dan mengganggu kenyamanan dalam beribadah

Ketujuh, adalah berciuman

Mencium istri merupakan tanda kasih sayang dan bagian dari kemesraan rumah tangga. Namun hal ini perlu dihindari ketika sedang berpuasa khususnya bagi orang yang tidak kuat menahan syahwat.

Oleh karena itu, Syaikh Zakariya berpandangan bahwa letak kemakruhan berciuman saat puasa adalah ketika tidak ada dorongan syahwat. Adapun orang yang tidak kuat menahan syahwat dilarang sebab dikhawatirkan puasanya akan batal.

Maka lebih baik tidak mencium istri pada saat puasa. Tapi apabila orang tersebut mampu menahannya seperti orang yang sudah tua, dibolehkan bagi mereka mencium istri disiang hari ramadhan.

Kedelapan, masuk kamar mandi tanpa hajat

Kemakruhan tersebut disebabkan karena baunya kamar mandi dapat melemahkan seseorang dalam berpuasa. Atau dia masuk kedalam kamar mandi hanya untuk sekedar bernikmat-nikmat. Adapun jika karna ingin mandi janabah atau karna hajat lainnya maka tidak dimakruhkan untuk masuk kedalam kamar mandi.

Kesembilan, bersiwak setelah tergelincir matahari

Menurut Syaikh asy-Syarqawi kemakruhan tersebut disebabkan karena dengan bersiwak disiang hari dapat menghilangkan khuluf, yaitu bau mulut dari puasa sedangkan syariat menuntut untuk mengekalkannya selama berpuasa.

Kesepuluh, memandang istri atau wanita berlama-lama dengan syahwat

Memandang istri atau wanita berlama-lama maka itu termasuk hal yang makruh saat puasa lantaran dikhawatirkan dapat membangkitkan nafsu syahwat.Untuk mencegahnya, hal tersebut sebaiknya dihindari karena bisa menyebabkan puasanya rusak. (A/P2/R1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Widi Kusnadi

Editor: Widi Kusnadi

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.