Muqtada Al-Sadr Unggul di Pemilu Irak

Setelah lebih dari setengah surat suara dihitung, hasil perhitungan sementara memunculkan ulama Syiah yang kuat Moqtada Al-Sadr memimpin sementara.

Keunggulannya dalam pemilihan parlemen Irak menjadi sebuah comeback luar biasa setelah absen selama bertahun-tahun.

Hasil akhir sementara pada Senin (14/5) menunjukkan blok komandan paramiliter yang didukung Iran, blok Hadi Al-Amiri berada di tempat kedua, dan Perdana Menteri Haider Al-Abadi di posisi ketiga.

Hasil dari delapan provinsi belum diumumkan, termasuk dari Nineveh yang memiliki jumlah kursi terbesar kedua setelah ibu kota Baghdad.

Pemilihan parlemen pada Sabtu (12/5) berfungsi sebagai referendum nasional pertama sejak kekalahan kelompok ISIS pada tahun 2017.

PM Abadi yang mengepalai Koalisi Nasr (Kemenangan Irak) telah memanfaatkan kemenangan pemerintahnya atas ISIS untuk memenangkan pemilu tersebut.

Banyak analis telah melihat Abadi yang berpendidikan Inggris, seorang Syiah yang juga sebagai perdana menteri yang membina hubungan dengan Washington dan Teheran, berpotensi untuk memenangkan masa jabatan keduanya.

“Negara ini baru saja mengatasi ISIS yang telah mempengaruhi cara para pemilih melihat pemilihan. Setiap orang mengharapkan perubahan dan mereka melihat Abadi sebagai kekuatan yang mungkin untuk perubahan itu, karena kemenangannya atas ISIS,” kata Ahmed Tariq, seorang profesor hubungan internasional Irak di Mosul University, kepada Al Jazeera menjelang pemungutan suara.

Daftar koalisi dalam pemilu Irak 2018. (Al Jazeera)

Sadr adalah salah satu dari beberapa pemimpin Syiah yang menjaga jarak dari Iran. Sebaliknya, ia berbagi kepentingan dengan Arab Saudi dalam melawan pengaruh Iran di Irak. Sadr berusaha memperluas dukungan regionalnya dengan bertemu Pangeran Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman di Jeddah tahun lalu.

Ulama itu membuat namanya memimpin dua pemberontakan melawan pasukan Amerika Serikat (AS) di Irak, mendapat dukungan dari lingkungan miskin Baghdad dan kota-kota lainnya.

Washington menyebut Tentara Mehdi, milisi Syiah yang setia pada Sadr, ancaman terbesar bagi keamanan Irak. Sadr menamai milisinya sebagai Brigade Perdamaian pada Juni 2014.

Sadr memimpin Koalisi Al-Sairoon (The Marchers) yang menyatukan Gerakan Sadrn-ya dengan Partai Komunis Irak. Koalisi telah mendorong kampanye anti-korupsi dan anti-sektarian.

Menurut jajak pendapat nasional yang dilakukan pada bulan Maret, 66 persen rakyat Irak memandang Sadr dengan baik di sebagian besar provinsi Irak.

Tetapi skenario yang mungkin setelah pemungutan suara tergantung tidak hanya pada jumlah suara yang diterima oleh kandidat, tetapi juga pada peran Iran dan kemampuannya untuk menekan koalisi Syiah dalam membentuk aliansi.

Koalisi Fatah Al-Amiri, saat ini di tempat kedua, memiliki hubungan erat dengan Iran. Faksi ini bertindak sebagai payung bagi tradisionalis dari Koalisi Tertinggi Islam Irak (ISCI) dan kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan kelompok milisi Syiah – Unit Mobilisasi Populer (PMU).

Tidak ada satu kelompok pun yang diperkirakan memenangkan 165 kursi yang dibutuhkan untuk mayoritas langsung. Sebaliknya, blok yang memenangkan kursi terbanyak harus menyatukan mayoritas dengan mendapatkan dukungan dari aliansi yang lebih kecil.

Proses pemilihan perdana menteri berikutnya diperkirakan akan memakan waktu berbulan-bulan dan kemungkinan akan menghasilkan kekuatan yang tersebar di berbagai partai politik dengan kepentingan yang bentrok. (AT/RI-1/P1)

Sumber: Tulisan Arwa Ibrahim di Al Jazeera

Mi’raj News Agency (MINA)

Comments: 0