Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Pendidikan itu Menyiapkan Generasi Mandiri” Wawancara Eksklusif dengan Praktisi, Urai Salam

siti aisyah - Senin, 7 Oktober 2019 - 21:08 WIB

Senin, 7 Oktober 2019 - 21:08 WIB

14 Views ㅤ

“Pendidikan itu menyiapkan seseorang untuk hidup secara mandiri,” ungkapan itulah yang dikemukakan oleh seorang praktisi pendidikan, Urai Salam ketika mencermati kondisi pendidikan Indonesia secara umum.

Urai Salam, M.Call, PhD lahir di Kabupaten Sambas (Kalimantan Barat), 11 Januari 1970. Saat ini, ia aktif sebagai salah satu dosen di Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kalbar. Selama puluhan tahun menjadi tenaga pengajar dan berkesempatan menimba ilmu di negeri Kanguru selama tujuh tahun, kini Urai Salam mendedikasikan ilmu dan hidupnya untuk memajukan dunia pendidikan Indonesia

Setelah menyelesaikan S1 Pendidikan Bahasa Inggris, dia melanjutkan studi posgraduate di The University of Melbourne Australia dan menyelesaikan program Master of Computer-Assisted Language Learning pada tahun 2001 dengan tesis berjudul “Learner autonomy in ProCALL (Project Oriented CALL) classes”. Pada tahun 2004, ia melanjutkan studinya di Monash University Australia program PhD dengan konsentrasi riset Virtual Education. Judul disertasinya adalah “Students’ Pasticipation in Virtual Learning Environment”.

Pada sebuah kesempatan di Ponpes Al-Fatah Cileungsi, Bogor. Wartawan MINA berkesempatan mewawancarai Urai Salam terkait dunia pendidikan, pada Ahad (6/10). Berikut petikan wawancaranya.

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa

MINA: Selama puluhan tahun menjadi praktisi, apa catatan Bapak dalam dunia pendidikan Indonesia?

Semenjak saya selesai S1 saya sudah menjadi dosen, tapi ibaratnya, baru benar-benar mengajar itu setelah lulus dari S3. Menempuh pendidikan S2 –S3 itu kurang lebih 7 tahun, setelah itu saya mengajar di Universitas Tanjungpura. Kalau pendidikan ya, karena saya mengalami pendidikan di negara orang juga bisa merasakan perbedaan antara sekolah di Indonesia dan di luar negeri. Bagi saya, yang paling menarik itu adalah perbedaan konsep pendidikan.

Kalau di kita ini kan pendidikan lebih kepada penguasaan ilmu. Tapi kalau di negara orang, pendidikan itu lebih kepada aplikasi ilmu. Jadi, karena saya juga terlibat dalam training-training guru, saya sering menyampaikan kepada para guru bahwa kita perlu evaluasi, katakanlah indikator keberhasilan pendidikan adalah pada kemampuan siswa untuk mandiri.

Anak-anak yang kita didik itu, pada usia SMA dan setelah lulus SMA itu rata-rata mereka belum bisa ngapa-ngapain. Bahkan mengurus diri sendiri saja belum bisa, itu potret secara umum ya.

Baca Juga: Wawancara Ekskusif Prof Abdul Fattah El-Awaisi (3): Kita Butuh Persatuan untuk Bebaskan Baitul Maqdis

Itukan berarti kembali pada potret pendidikan kita, berarti apa yang salah dengan potret pendidikan kita? Kalau sudah mendidik anak dari SD, SMP, SMA itu berarti 12 tahun kita mendidik anak, tapi ternyata anak belum bisa juga melakukan tugas atau bertanggug jawab terhadap dirinya sendiri.

Bahkan untuk melaksanakan hal sederhana saja dia tidak mampu, misalkan membersihkan ruangan sendiri, membantu orang tua di rumah. Bahkan saya mengamati mahasiswa yang lulus S1 saja, taraf pendidikannya itu disuapi, jadi kreatifitasnya itu belum muncul. Dan keluhan kita adalah, ketika mereka selesai S1 itu masih belum bisa menciptakan sebuah pekerjaan, karena ya itu tadi mengurus diri sendiri pun belum mampu.

Sementara di luar negeri itu, penekanannya bukan penguasaan ilmu yang begitu luas dan mendalam, tapi lebih ke bagaimana kita menerapkan ilmu itu dalam aktivitas sehari-hari. Semboyan mereka adalah “pendidikan itu menyiapkan seseorang untuk hidup mandiri” artinya keberhasilan pendidikan itu bisa dilihat dari apakah anak ini sudah mandiri/ bertanggung jawab kepada kehidupannya sendiri.

Oleh karena itu, mereka setelah SMA tidak semuanya pergi ke perguruan tinggi, tapi bisa langsung ke dunia kerja. Jadi sehingga proses pendidikan tidak terlalu panjang gitu ya, jadi usia produktif itu tidak dihadirkan di dunia sekolah, tapi benar-benar di dunia kehidupan.

Baca Juga: Wawancara Ekskusif Prof Abdul Fattah El Awaisi (2): Urgensi Rencana Strategis Bebaskan Baitul Maqdis

MINA: Menurut Bapak, apa permasalahan mendasar pendidikan di Indonesia?

Kalau dalam konteks Indonesia itu permasalahannya sangat complicated, artinya masalah itu tidak hanya satu hal. Tapi hal-hal lain saling berhubungan. Misal saya ambil contoh, sistem pendidikan kita yang salah itu dari kurikulum kita, kualitas guru kita, yang paling mengganggu sebenarnya adalah sistem politik kita, di Indonesia ya.

Karena ternyata, pendidikan di Indonesia itu sering dikelola oleh politukus yang sangat aktif di dunia politik, tapi dia mengurus pendidikan. Kita lihat saja perguruan tinggi, rektornya saja ditentukan oleh kementerian, itukan artinya kebebasan akademik tidak sepenuhnya kita bisa dilakukan.

Sekarang berbicara pendidikan di tingkat dasar atau menengah SMP-SMA, itu permasalahannya adalah kompetensi guru. Guru kita itu tidak seragam, ada kompetensi pedagogig dan ada kompetensi keilmuan dan dua-duanya bermasalah. Misalkan guru bahasa Inggris, tapi dia sendiri tidak bisa bahasa Inggris, begitu juga dengan bidang pelajaran yang lain.

Baca Juga: Fenomana Gelombang Panas, Ini Pendapat Aktivis Lingkungan Dr. Sharifah Mazlina

Terlebih ada tuntutan kurikulum 2013 sangat ditentukan dari guru, karena tuntutan K 2013 itu sebenarnya kemandirian guru dalam melaksanakan pendidikan di kelas. Saat ini yang aneh menurut saya dibandingkan dengan Australia yaitu, guru itu sibuk mempersiapkan administrasi dia mengajar, ketimbang dia fokus pada mengajarnya itu sendiri atau tampil ketika mengajar.

MINA: Apa hal urgen yang perlu diperbaiki segera?

Pertanyaan ini tidak bisa bisa dijawab hanya dengan satu jawaban, tapi menurut saya yang paling urgen itu adalah guru. Kualitas gurunya itu harus benar-benar diperbaiki. Guru harus punya komitmen dan kompeten karena ditangan guru, kurikulum itu bisa benar-benar bermanfaat maksimal. Kalau yang lain-lain itukan ibaratnya, penunjang. Media pembelajaran kurang lengkap bisa diatasi, bahkan gedungnya tidak memadai pun bukan menjadi hambatan utama, kalau gurunya berkompeten.

Jadi kompetensi guru ini sangat dibutuhkan, kalau di Al-Fatah misalkan, kalau kita mau maju, kita harus mengikuti standarisasi guru, ya kompetensi guru itu harus dibenahi. Karena hanya guru professional dan guru kompeten yang bisa melahirkan generasi mandiri dan profesional pula.

Baca Juga: Wawancara Ekskusif Prof Abdul Fattah El Awaisi (1): Peran Strategis Indonesia dalam Pembebasan Baitul Maqdis

Saya sering mengatakan begini, guru adalah sekelompok manusia yang sangat penting. Kenapa? Karena guru itulah yang bertugas mendidik dan mencetak generasi berikutnya. Bisa dibayangkan sebuah negara tanpa guru yang kompeten, profesional dan berintegritas.

Artinya, gerbang menuju kemajuan sebuah negara maju adalah pada generasi berikutnya, dan itu dihasilkan oleh guru. Maka menjadi sangat penting meningkatkan kompetensi guru. Guru yang berakhlak dan menguasai ilmu pendidikan itu sendiri, guru yang benar-benar bisa menyelenggarakan proses pembelajaran di kelas dengan benar, itu yang sangat penting.

MINA: Mahasiswa dan pelajar aktif menuntut perubahan undang-undang melalui demo, apa pendapat Bapak?

Sering mahasiswa itu demo namun tidak mengerti yang didemo dia itu apa. Jika mahasiswa minta izin sama saya untuk demo, saya juga tidak bisa melarang mereka. Karena di negara kita ini, dimana model demokrasi kaya gini, ya DPR kalau tidak didesak dan didemo bakal semaunya membuat dan menetapkan undang-undang. Maka gerakan itu kadang-kadang diperlukan juga.

Baca Juga: HNW: Amanat Konstitusi! Indonesia Sejak Awal Menolak Kehadiran Penjajah Israel

Tetapi kalau kita berbicara dari segi akademik, demo itu harus diselenggarakan dengan baik. Saya terus terang tidak bisa mengatakan sepenuhnya setuju dengan demo. Karena sebenarnya, demo itu saluran aspirasi yang sering ditunggangi dan sering sekali tidak bisa dipertanggung jawabkan, walaupun ada demo-demo yang dilakukan mahasiswa memang bisa dikendalikan.

MINA: Jadi, apa yang harus diperhatikan oleh para guru?

Penting bagi para guru mengetahui tentang era disruptif dalam dunia pendidikan. Kalau kita berbicara tentang disruptif itu kita berbicara tentang teknologi, yaitu penyalahgunaan teknologi. Kenapa disruptif? karena memang zaman kita sekarang “diganggu” oleh teknologi. Teknologi sebenarnya tidak boleh disalahkan, karena teknologi bersifat natural dan netral. Pengguna teknologi itulah yang perlu disalahkan kalau memang salah. Bagaimana kita mengantisipasi itu/menyikapi era disruptif ini? saya kira para pendidik harus mengerti naturenya teknologi.

Menurut saya begini, saya termasuk orang yang tidak setuju dengan bahwa anak itu dipisahkan dengan teknologi, karena itu kalau anak dipisahkan dari teknologi itu seperti sandiwara, maksud saya gini sandirawa itu:  “anak-anak tidak boleh pakai laptop/gadget” tapi ternyata dia begitu keluar kelas, di rumah atau lingkungan mereka ternyata sangat akrab dengan perangkat itu.

Baca Juga: Basarnas: Gempa, Jangan Panik, Berikut Langkah Antisipasinya

Nah itukan sandiwara. Berarti kita memisahkan anak dengan dunia nyata, lebih bagus sebenarnya atau idealnya adalah kita menyiapkan anak agar mereka pandai dan bijak menggunakan laptop dan gadget sehingga dia tidak menyalahgunakan teknologi itu.

Itu adalah tantangan besar dan tidak gampang mengatasinya. Kenapa? Karena teknologi (laptop dan gadget) itu sangat menarik, kenapa anak itu sangat gandrung dengan hal itu? Karena memang menarik sekali, sehingga guru itu kalah dengan kedua perangkat itu. Apalagi di Indonesia ini teknologi sangat liar, berkembang di luar kelas, jarang kelas kita di Indonesia ini memperkenalkannya.

Saya sering mengatakan begini: “Kita mengenal teknologi itu di pinggir jalan, tidak di kelas.“ Oleh sebab itu, mindset kita adalah, teknologi itu jelek. Kalau sekarang di laptop dan gadget yang lebih banyak ditampilkan adalah tentang pornografi, game online, atau berita-berita hoax, maka teknologi itu menuntun generasi kita kepada kehancuran.

Pengenalan teknologi laptop dan gadget seharusnya berada di universitas, teknologi seharusnya ada di kelas. Sehingga begitu kita menyebut teknologi, yang terbayang di kita adalah penggunaan untuk pendidkan. Nah seperti itu.

Baca Juga: Basarnas Siapkan Sumber Daya yang Siap dan Sigap

MINA: Harapan Bapak untuk pendidikan di Indonesia?

Harapan saya jelas, mudah-mudahan ke depannya pendidikan kita lebih berkualitas, jangan di politisi. Sudahlah, orang politik itu bekerjalah di dunia politik, kalau pendidikan itu jangan dicampuri dengan urusan politik.

Saya sering terlibat di kegiatan-kegiatan pelatihan di tingkat nasional, seperti program Penugasan Dosen ke Sekolah (PDS) yang tadi saya sudah ceritakan. Kita ini sedang menyiapkan generasi mandiri, jadi harus fokus dengan program itu. Jangan berhenti sebelum mencapai target. Terus lakukan evaluasi agar efektif dan efisien dalam menjalankan program. (W/Ais/P2)

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Cerita Perjuangan dr. Arief Rachman Jalankan “Mission Impossible” Pembangunan RS Indonesia di Gaza (Bagian 3)

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Breaking News
Breaking News