Penjajah Baru Dalam Kemerdekaan

(Dok. kertasmedia.wordpress.com)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

إِذَا جَآءَ نَصۡرُ ٱللَّهِ وَٱلۡفَتۡحُ

وَرَأَيۡتَ ٱلنَّاسَ يَدۡخُلُونَ فِى دِينِ ٱللَّهِ أَفۡوَاجً۬ا

فَسَبِّحۡ بِحَمۡدِ رَبِّكَ وَٱسۡتَغۡفِرۡهُ‌ۚ إِنَّهُ ۥ ڪَانَ تَوَّابَۢا

Artinya, “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. (1) Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, (2) maka bertasbihlah dengan memuji Rabb-mu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” (QS. An-Nashr [110] ayat 1-13).

Setiap tanggal 17 Agustus, rakyat Indonesia akan diingatkan pada peristiwa dideklarasikannya kemerdekaan Republik Indonesia dari penjajahan pada 72 tahun yang lalu. Sejak saat itu, bangsa Indonesia menjadi tuan dan pemerintah di negerinya sendiri.

berarti bebas dari perhambaan atau penjajahan. Banyak pula yang mendefinisikan kata “merdeka” dengan pengertian yang lebih dalam dan luas, terlebih di masa yang tidak memungkinkan lagi adanya suatu bangsa menjajah bangsa lain.

Kemerdekaan suatu bangsa adalah klimaks kemenangan yang benar terhadap yang salah, klimaks kemenangan para pejuang dan rakyat terhadap para . Itulah yang terjadi ketika Ir. Soekarno membacakan teks proklamasi, didampingi Drs. Mohammad Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat pada 17 Agustus 1945.

Untuk mensyukuri kemerdekaan yang merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, bangsa ini setiap 17 Agustus selalu mengadakan syukuran akbar dari Sabang sampai Merauke, bahkan di seluruh negara dunia yang dilakukan oleh kedutaan-kedutaan besar Republik Indonesia dan warga diaspora.

Namun ternyata, pertarungan antara yang benar dan yang salah masih terus berlangsung dan akan terus berlangsung, seiring panjangnya masa kemerdekaan bangsa ini.

Semua individu dari rakyat Indonesia mungkin menyadari bahwa kemerdekaan yang diraih pada 72 tahun lalu, hanyalah kemerdekaan dari pendudukan, dikte dan serangan militer Jepang dan Belanda. Rakyat Indonesia masih menyadari bahwa masih ada penjajah-penjajah yang menggunakan cara-cara baru yang lebih halus dan tidak terasa. Bahkan sebagian meyakini, ada pula sekelompok orang Indonesia sendiri yang melakukan neo-kolonial terhadap bangsanya sendiri.

Namun, di setiap syukuran akbar dilaksanakan, berapa banyak rakyat Indonesia yang menyadari dan peduli akan hakekat adanya penjajahan versi baru yang sulit disebut sebagai “penjajahan”.

Saat ini, kita tahu, bangsa-bangsa mana saja yang mengeruk kekayaan alam Indonesia dengan serakus-rakusnya dan sebanyak-banyaknya. Saat ini juga, kita tahu, siapa-siapa saja orang-orang Indonesia yang memuluskan dan melindungi bangsa asing itu menyedot kekayaan kita.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan dalam firman-Nya,

ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِى ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِى عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ

Artinya, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum [30] ayat 41).

Namun, siapa yang berani menyebut bangsa-bangsa asing yang bermodal surat kontrak dan izin dari pemerintah itu, sebagai “penjajah”. Siapa yang berani menyebut pemerintah saat ini dan yang dulu, sebagai “kaki tangan penjajah”. Tidak ada.

Pokoknya, setiap 17 Agustus, mari kita bergembira dengan berbagai perlombaan yang mengasikkan dan suguhan hadiah dari panitia agustusan.

Memang, harus kita syukuri, meski masih ada penjajah gaya baru yang bercokol di negeri ini, tapi kondisi sekarang tidak seburuk kondisi sebelum kita merdeka. Kita tidak perlu takut lagi tanah kita diambil paksa oleh penjajah. Kita tidak perlu lagi mengorbankan harta dan jiwa untuk mengusir penjajah. Sebab, penjajah sekarang, tidak perlu membunuh dan mengusir penduduk suatu negeri untuk mengambil hasil bumi negeri tersebut. Cukup dengan izin dan kesepakatan pemerintah negeri tersebut.

Setelah Allah memberikan nikmatnya berupa kemerdekaan bagi bangsa Indonesia, tapi mengapa rakyat dari negeri yang kaya ini, sebagian besar masih hidup dalam keterpurukan ekonomi, kesejateraan hanya dinikmati segelintir orang.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

Artinya, “Dan (ingatlah) ketika Rabb-mu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (QS. Ibrahim [14] ayat 7).

Pasti ada yang salah bagi kita saat mengaplikasikan bentuk syukur dari kemerdekaan yang kita peroleh.

Memang faktanya, rasa syukur itu lebih banyak kita wujudkan dalam bentuk foya-foya dan kemubaziran yang bercampur dengan berbagai kegiatan maksiat yang tidak memikirkan halal dan haramnya lagi. Sangat sedikit penghuni negeri ini yang mewujudkan syukur itu dengan mendekatkan diri kepada pemberi kemerdekaan itu, yaitu kepada Rabbul ‘alamin.

Tambang emas, tambang migas, tambang batu bara dan kekayaan lainnya kini dikuasai oleh asing. Ironisnya, di Hari Kemerdekaan kita hanya kebagian tarik tambang. (A/RI-1/P2)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor: Widi Kusnadi

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.