Sabar dan Syukur

Oleh : Bismar Syahrizal Harahap*

Hidup ini ibarat sebuah pelayaran menuju pulau kebahagiaan. Tidak mudah bagi seorang yang hendak sampai ke pulau kebahagiaan itu. Dalam mengarungi bahtera hidup ini, manusia akan di hadapkan dengan ombak dan badai kehidupan. Mereka harus menempuh pahit manis dan asam garamnya kehidupan. Karena itu, hanya orang-orang yang benar-benar tarujilah yang akan bisa sampai ke pulau kebahagiaan.

Dalam menghadapi problematika hidup manusia, ada dua hal yang harus dipegang teguh, yaitu dan . Dengan dua hal itulah, kita bisa senantiasa bertahan agar tetap berada dalam koridor yang di tentukan dan tidak salah arah dalam berlayar.  Dengan kesabaran yang tinggi dan rasa syukur yang mendalam, seseorang akan tetap kokoh berada dalam garis perjalanan yang benar.

Sabar dan syukur adalah dua pilihan yang di kemukakan oleh Nabi Daud alaihih salam ketika beliau ditanya tentang keadaaan yang ia inginkan. “ Saya lebih suka sehari lapar dan sehari berbuka”, Sabdanya. Kenapa? . “ karena dengan lapar ia akan melatih kesabaran dan dengan berbuka ia akan merasakan kenikmatan dan bersyukur”.

Sabar yang Sesungguhnya

Kesabaran akan membuat kita tahan dengan segala cobaan yang di berikan Allah. Bukankah balasan bagi orang yang sabar itu adalah syurga. Dan orang-orang yang sabar akan senantiasa bersama Allah karena ketaatannya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

Hai orang-orang yang beriman minta pertolonganlah kepada allah dengan sabar dan shalat, sesengguhnya Allah SWT senantiasa bersama orang-orang yang sabar.” (Q.S.Al Baqarah:153)

Ibnu Katsir menjelaskan, Sabar memiliki tiga dimensi yang harus diperhatikan oleh orang-orang beriman; Dimensi pertama adalah menghindari larangan. Sabar harus diikutkan ketika ternyata hal-hal yang disukai ternyata dilarang dan ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya untuk ditinggalkan.

Dimensi kedua adalah ibadah dan ketaatan. Sabar harus senantiasa digunakan ketika menjalankan ketaatan dalam bentuk ibadah kepada Allah. Meskipun ia tidak menyukainya, meskipun ia memiliki keterbatasan.

Dan dimensi ketiga adalah dimensi tabah dalam menghadapi ujian. Artinya tetap taat meski dalam ujian yang berat. Dan tetap menghindari larang meski banyak kenikmatan yang diberikan Allah.

Dari kesemua dimensi sabar itu semuanya menunjukkan nilai konsistensi dan kontinuitas. Seseorang yang sabar itu ialah mereka yang senantiasa berada dalam kebaikan, dan senantiasa berusaha untuk terus berada didalamnya.

Sabar merupakan sifat yang senantiasa di cerminkan oleh baginda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam dalam menghadapi ujian kehidupan. Kesabaran beliau dalam menghadapi orang-orang kafir adalah cerminan bagi umatnya.  Rasulullah dapat menang dari peperangan dan ajaran beliau dipraktekkan oleh umat manusia di seluruh penjuru dunia.  Rasululah SAW bersabda dalam sebuah hadits riwayat Imam Al – Bukhori:

 

مَنْ صَبَرَ ظَفِرَ

 “Barang siapa yang bersabar akan menang”

Sabda Rasul diatas mengilhami perjuangan para sahabat-sahabatnya dan ulama sesudahnya sehingga mereka bisa menyebarkan risalah Islam diatas persada muka bumi ini dalam jangka waktu yang cukup singkat. Hanya dalam waktu kurang dari dua abad, Islam sudah tersebar hampir dua per tiga wilayah bumi persada.

Sabar akan membuat para pelakunya tenang dan senantiasa waspada. Orang yang sabar tidak mudah marah, tidak mudah mengeluh dan tutur katanya lembut menawan serta senantiasa memancarkan sinar keteduhan dan kebaikan dalam dirinya kepada orang-orang  disekitarnya.

Syukur yang sesungguhnya

Kata “Syukur” dan yang seakar dengannya disebutkan sebanyak 75 kali dalam al-Quran. Menariknya, al-Quran juga menyebutkan sejumlah yang sama untuk kata “Bala’” (Musibah). Sebagian mufassir mengatakan bahwa sepertinya hal ini mengindikasikan bahwa Allah Subhanahu wa taala ingin mengatakan bahwa adanya musibah itu karena kurangnya bersyukur.

Bersyukur adalah suatu perbuatan yang bertujuan untuk berterima kasih atas segala limpahan nikmat yang telah Allah berikan. Syukur merupakan bentuk pengakuan atas dengan penuh sikap kerendahan serta menyandarkan nikmat tersebut kepada-Nya, memuji Nya dan menyebut-nyebut nikmat itu, kemudian hati senantiasa mencintai Nya, anggota badan taat kepada-Nya serta lisan tak henti-henti menyebut nama-Nya.

Setiap karunia atau anugerah yang kita dapatkan sebenarnya merupakan ujian untuk menentukan apakah kita termasuk orang yang bersyukur atau kufur. Sebagaimana pernyataan Nabi Sulaiman as yang diabadikan dalam al-Quran sebagai berikut:

قَالَ الَّذِي عِنْدَهُ عِلْمٌ مِنَ الْكِتَابِ أَنَا آتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ يَرْتَدَّ إِلَيْكَ طَرْفُكَ ۚفَلَمَّا رَآهُ مُسْتَقِرًّا عِنْدَهُ قَالَ هَٰذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ ۖوَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ ۖوَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ

“Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini termasuk karurnia Tuhanku untuk menguji aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia” (QS. An-Naml: 40)

Selanjutnya syukur akan menjadi mahkota dalam dirinya, mahkota yang akan menghiasi akhlak dan membuat seseorang semakin indah bagaikan mutiara. Bersyukur juga mengambarkan kerendahan hati bahwa semua yang ia nikmati adalah pemberian Allah Subhanahu wa taala. Semua adalah titipan Allah dan akan dimintai pertanggung jawaban pada hari kiamat nanti.

Bersyukur adalah kewajiban yang sering dilupakan banyak orang. Nikmat adalah sesuatu yang acap kali melupakan bagi para pelakunya untuk bersyukur. Tertimpa musibah akan lebih mudah mengingat Allah dibanding saat ia mendapatkan nikmat.

Ada banyak cara yang dapat dilakukan manusia untuk mensyukuri nikmat Allah swt. Secara garis besar, mensyukuri nikmat ini dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:

  1. Syukur Dengan Hati

Syukur dengan hati dilakukan dengan menyadari sepenuhnya bahwa nikmat yang kita peroleh, baik besar, kecil, banyak maupun sedikit semata-mata karena anugerah dan kemurahan Allah SWT. Allah SWT berfirman:

Syukur dengan hati dapat mengantar seseorang untuk menerima anugerah dengan penuh kerelaan tanpa menggerutu dan keberatan, betapa pun kecilnya nikmat tersebut. Syukur ini akan melahirkan betapa besarnya kemurahan dan kasih sayang Allah sehingga terucap kalimat pujian kepada-Nya.

  1. Syukur Dengan Lisan

Ketika hati seseorang sangat yakin bahwa segala nikmat yang ia peroleh bersumber dari Allah, spontan ia akan mengucapkan “Alhamdulillah” (segala puji bagi Allah).

Karenanya, apabila ia memperoleh nikmat dari seseorang, lisannya tetap memuji Allah SWT. Sebab ia yakin dan sadar bahwa orang tersebut hanyalah perantara yang Allah SWT kehendaki untuk “menyampaikan” nikmat itu kepadanya.

Oleh karena itu, kita harus mengembalikan segala pujian kepada Allah SWT. Pada saat kita memuji seseorang karena kebaikannya, hakikat pujian tersebut harus ditujukan kepada Allah SWT. Sebab, Allah adalah pemilik segala kebaikan.

  1. Syukur Dengan Perbuatan

Syukur dengan perbuatan mengandung arti bahwa segala nikmat dan kebaikan yang kita terima harus dipergunakan di jalan yang diridhoi-Nya.

Misalnya untuk beribadah kepada Allah, membantu orang lain dari kesulitan, dan perbuatan baik lainnya. Nikmat Allah harus kita pergunakan secara proporsional dan tidak berlebihan untuk berbuat kebaikan.

Rasulullah saw menjelaskan bahwa Allah sangat senang melihat nikmat yang diberikan kepada hamba-Nya itu dipergunakan dengan sebaik-baiknya.

Misalnya, orang yang kaya hendaknya menampakkan hartanya untuk zakat, sedekah dan sejenisnya. Orang yang berilmu menampakkan ilmunya dengan mengajarkannya kepada sesama manusia, memberi nasihat dan sebagainya.

  1. Menjaga Nikmat Dari Kerusakan

Ketika nikmat dan karunia didapatkan, cobalah untuk dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Setelah itu, usahakan untuk menjaga nikmat itu dari kerusakan.

Misalnya, ketika kita dianugerahi nikmat kesehatan, kewajiban kita adalah menjaga tubuh untuk tetap sehat dan bugar agar terhindar dari sakit.

Demikian pula dengan halnya dengan nikmat iman dan Islam. Kita wajib menjaganya dari “kepunahan” yang disebabkan pengingkaran, pemurtadan dan lemahnya iman. (P02)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

*Penulis adalah mahasiswa STEI SEBI Depok, Jawa Barat.

Wartawan: Widi Kusnadi

Editor: Rana Setiawan

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.