SUCIKAN HATI LURUSKAN NIAT

(Foto: ardindatyas)
(Foto: ardindatyas)

Oleh: Rendy Setiawan, Jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

عن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب رضي الله عنه, قال: سمعت رسو الله صللى الله عليه وسلم يقول: إنما الاعمال بالنيات, وإنما لكل امرئ ما نوى, فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله. ومن كنت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه (رواه البخاري و مسلم)

Artinya: “Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh, Umar bin Al-Khathab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya itu karena ingin menggapai dunia atau karena seorang wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya.” (H.R Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)

Penjelasan Hadits

Hadits ini adalah hadits shahih yang telah disepakati keshahihannya, ketinggian derajatnya dan di dalamnya banyak mengandung manfaat. telah meriwayatkannya pada beberapa bab pada kitab shahihnya, juga Imam Muslim telah meriwayatkan hadits ini pada akhir bab Jihad.

Hadits ini salah satu pokok penting ajaran Islam. Imam Ahmad dan Imam Syafi’I berkata: “Hadits tentang niat ini mencakup sepertiga ilmu.” Begitu pula kata Imam Al-Baihaqi dan selainnya. Hal itu karena perbuatan manusia terdiri dari niat di dalam hati, ucapan dan tindakan. Sedangkan niat merupakan salah satu dari tiga bagian itu. Diriwayatkan dari Imam Syafi’i, “Hadits ini mencakup tujuh puluh bab fiqih”. Sejumlah ulama’ mengatakan hadits ini mencakup sepertiga ajaran Islam.

Para ulama gemar memulai karangan-karangannya dengan mengutip hadits ini. Di antara mereka yang memulai dengan hadits ini pada kitabnya adalah Imam Bukhari. Abdurrahman bin Mahdi berkata: “Bagi setiap penulis buku hendaknya memulai tulisannya dengan hadits ini, untuk mengingatkan para pembacanya agar meluruskan niatnya”.

Ada tiga esensi penting yang terkandung dari hadits ini;

Pertama: kata “Innamaa” bermakna “hanya/pengecualian”,

Maksudnya yaitu menetapkan sesuatu yang disebut dan mengingkari selain yang disebut itu. Kata “hanya” tersebut terkadang dimaksudkan sebagai pengecualian secara mutlak dan terkadang dimaksudkan sebagai pengecualian yang terbatas. Untuk membedakan antara dua pengertian ini dapat diketahui dari susunan kalimatnya. Misalnya, kalimat pada firman Allah: “Innamaa anta mundzirun” (Engkau (Muhammad) hanyalah seorang penyampai ancaman). (QS. Ar-Ra’d : 7)

Kalimat ini secara sepintas menyatakan bahwa tugas Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam hanyalah menyampaikan ancaman dari Allah, tidak mempunyai tugas-tugas lain. Padahal sebenarnya beliau mempunyai banyak sekali tugas, seperti menyampaikan kabar gembira dan lain sebagainya. Begitu juga kalimat pada firman Allah : “Innamal hayatud dunyaa la’ibun walahwun” artinya, “Kehidupan dunia itu hanyalah kesenangan dan permainan”. (QS. Muhammad: 36)

Sebagian ulama berprasangka bahwa kalimat ini menunjukkan pembatasan berkenaan dengan akibat atau dampaknya, apabila dikaitkan dengan hakikat kehidupan dunia, maka kehidupan dapat menjadi wahana berbuat kebaikan. Dengan demikian apabila disebutkan kata “hanya” dalam suatu kalimat, hendaklah diperhatikan betul pengertian yang dimaksudkan.

Pada Hadits ini, kalimat “Segala amal hanya menurut niatnya” yang dimaksud dengan amal di sini adalah semua amal yang dibenarkan syari’at, sehingga setiap amal yang dibenarkan syari’at tanpa niat maka tidak berarti apa-apa menurut agama Islam. Tentang sabda Rasulullah, “semua amal itu tergantung niatnya” ada perbedaan pendapat para ulama tentang maksud kalimat tersebut. Sebagian memahami niat sebagai syarat sehingga amal tidak sah tanpa niat, sebagian yang lain memahami niat sebagai penyempurna sehingga amal itu akan sempurna apabila ada niat.

Kedua: kalimat “Dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya.”

Al-Khathabi menjelaskan bahwa kalimat ini menunjukkan pengertian yang berbeda dari sebelumnya. Yaitu menegaskan sah tidaknya amal bergantung pada niatnya. Juga Imam Muhyidin Yahya bin Ash-Sharf An-Nawawi menerangkan bahwa niat menjadi syarat sahnya amal. Sehingga seseorang yang meng-qadha sholat tanpa niat maka tidak sah shalatnya, Wallahu A’lam

Ketiga: kalimat “Dan Barang siapa berhijrah kepada Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya.”

Menurut penetapan ahli bahasa Arab, kalimat syarat dan jawabnya, begitu pula mubtada’ (subyek) dan khabar (predikatnya) haruslah berbeda, sedangkan di kalimat ini sama. Karena itu kalimat syarat bermakna niat atau maksud baik secara bahasa atau syari’at, maksudnya barangsiapa berhijrah dengan niat karena Allah dan Rosul-Nya maka akan mendapat pahala dari hijrahnya kepada Allah dan Rosul-Nya.

Hadits ini memang muncul karena adanya seorang lelaki yang ikut hijrah dari Makkah ke Madinah untuk mengawini perempuan bernama Ummu Qais. Dia berhijrah tidak untuk mendapatkan pahala hijrah karena itu ia dijuluki Muhajir Ummu Qais. Wallahu A’lam. (P011/R01)

Disarikan dari Kitab Al-Wafi’; Syarah Arba’in An-Nawawiyah karya Dr. Musthofa Dieb Al-Bugha dan lainnya.

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: Rendi Setiawan

Editor:

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0