Suriah, Negeri Yang Dikoyak Perang Saudara

Oleh: Illa Kartila – Redaktur Senior Miraj Islamic News Agency/MINA

di – sebuah konflik bersenjata yang melibatkan berbagai pihak dengan intervensi asing – tampaknya masih jauh dari berakhir, terus mengoyak negeri ini dengan keji sehingga menelan korban ratusan ribu jiwa.

Data terbaru korban perang Suriah – negara yang awalnya berpenduduk 21 juta jiwa –  yang dilansir Syrian Center for Policy Research (SCPR) menunjukkan, perang sipil yang telah berlangsung selama lima tahun itu telah merenggut 470 ribu nyawa.

Angka ini meningkat hampir dua kali lipat dari perkiraan sebelumnya. The Guardian juga melaporkan rincian hasil penelitian (SCPR) bahwa angka harapan hidup di Suriah turun jadi 55,4 tahun dari rata-rata 70 tahun sebelum perang.

Perang sipil diperparah oleh kehadiran kelompok militan ISIS yang menambah kekacauan. Sejak perang meletus, 11,5 persen warga Suriah tewas dan terluka. Sejumlah 13,8 juta warga Suriah kehilangan mata pencaharian dan penghidupan.

Sekitar 45 persen penduduk terpaksa pindah (mengungsi) untuk menyelamatkan diri. Termasuk empat juta orang yang melarikan diri jadi migran. Sementara 6,36 juta orang masih mengungsi di dalam negeri.

SCPR juga memperoleh data dari fakta yang didapat di lapangan bahwa 70 ribu orang Suriah  sekarat karena efek perang, seperti minimnya obat dan perawatan, penyebaran penyakit melalui kondisi yang tidak layak hingga kekurangan akses pada makanan dan air bersih.

Berawal dari kerusuhan di Suriah yang tumbuh sejak protes  kebangkitan dunia Arab tahun 2011, dan meningkat ke konflik bersenjata setelah aksi kekerasan atas protes kepada Pemerintah Presiden Bashar al-Assad untuk mendesak pengunduran dirinya.

Perang melibatkan Pemerintah Suriah, kelompok aliansi longgar pemberontak Arab Suriah, Pasukan Demokratik Suriah, kelompok jihaidst Salafi dan Negara Islam Irak dan Syam (ISIL). Semua pihak menerima dukungan besar dari aktor asing, dan banyak yang menengarai menjadi perang proksi yang dilancarkan oleh negara-negara besar regional dan dunia.

Di bawah rezim Assad, Suriah melalui reformasi ekonomi neoliberal yang signifikan. Reformasi ini diperburuk kesenjangan kekayaan, yang dikombinasikan dengan resesi dan beberapa tahun kekeringan yang menyebabkan penyebaran kebangkitan dunia Arab untuk Suriah. Protes cepat menyebar ke daerah-daerah yang didominasi Kurdi di utara Suriah.

Kelompok oposisi Suriah membentuk Tentara Pembebasan Suriah (FSA) dan menguasai daerah sekitar Aleppo dan bagian selatan Suriah. Seiring waktu, faksi dari Oposisi Suriah pecah dari politik moderat asli untuk mengejar visi Islam untuk Suriah, seperti Front al-Nusra dan ISIL.

Di utara, sebagian besar pasukan pemerintah Suriah menarik relawan untuk melawan FSA  yang memungkinkan YPG  – milisi Kurdi yang ingin mendapatkan keuntungan dari perang Suriah untuk menciptakan negara Kurdi di sana – bergerak dan melakukan klaim de facto atas otonomi.

Pada tahun 2015, YPG bergabung dengan Arab, Assyria, kelompok Armenia dan Turkmen membentuk Pasukan Demokratik Suriah.

Free Syrian Army/FSA adalah struktur oposisi utama bersenjata yang beroperasi di Suriah yang telah ada  selama perang saudara Suriah, terdiri dari para personel Angkatan Bersenjata Suriah yang membelot dan relawan, pembentukannya diumumkan pada tanggal 29 Juli 2011.

Sejak Februari 2016 pemerintah menguasai 40 persen wilayah Suriah, ISIL menguasai sekitar 20 persen, kelompok pemberontak Arab (termasuk Front al-Nusra) 20 persen dan 15-20 persen dikuasai Pasukan Demokratik Suriah. Baik Pasukan Demokratik Suriah maupun Tentara Suriah telah membawa keuntungan bagi ISIS.

Bantuan kemanusiaan

Organisasi internasional menuduh pemerintah Suriah,  ISIL,  dan pasukan oposisi lainnya melakukan pelanggaran HAM berat terhadap rakyat, karena beberapa pembantaian terjadi. Konflik menyebabkan perpindahan penduduk. Pada 1 Februari 2016, sebuah pembicaraan damai Suriah diadakan di Jenewa dimediasi oleh PBB dimulai, namun pertempuran terus berlanjut.

Dalam pembicaraan dengan Menlu Rusia Sergey Lavrov di Swiss, pertengahan Januari lalu,  Menlu AS John Kerry mendesak Rusia untuk menggunakan pengaruhnya terhadap rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad guna memastikan akses kemanusiaan yang langsung, tanpa hambatan dan berkelanjutan bagi semua warga Suriah yang memerlukan.

Juru bicara Deplu Amerika Serikat, John Kirby memberikan komentar setelah pembicaraan antara Kerry dan Lavrov di Zurich, bahwa Rusia setuju isu yang paling penting sekarang adalah mengusahakan bantuan untuk warga sipil yang terperangkap di zona-zona perang Suriah.

Pertemuan dua Menlu itu berlangsung di saat kekhawatiran meningkat bahwa pembicaraan yang ditengahi PBB mengenai transisi politik di Suriah terancam batal. AS dan Rusia adalah anggota utama Kelompok Pendukung International Suriah, yang berusaha menggalakkan rencana PBB bagi transisi politik di Suriah dan mengakhiri perang saudara tersebut.

Langkah berikutnya adalah pembicaraan yang dimediasi PBB antara pemerintah Presiden Suriah Bashar al-Assad dan kelompok oposisi yang berusaha untuk menggulingkannya. Ada ketidak-sepakatan mengenai kelompok-kelompok oposisi yang mana yang diikutkan dalam pembicaraan PBB, yang dapat diterima oleh semua pihak.

Walaupun kemudian Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden AS Barack Obama, pertengahan Februari dilaporkan satu suara menempuh langkah diplomasi dan bentuk kerja sama lainnya demi mewujudkan perdamaian di Suriah, namun, sekutunya Kanselir Jerman Angela Merkel ragu Moskow tunduk pada rencana gencatan senjata di Suriah.

Dalam pertemuan membahas krisis Suriah di Munich, Jerman, 12 Februari lalu, negara-negara adidaya menyepakati “jeda pertempuran” sepekan. Kremlin mengklaim, baik Putin maupun Obama memberi “pertimbangan positif” dalam dialog tersebut.

“Dukungan penuh untuk upaya gencatan senjata dan aspek-aspek kemanusiaan lainnya,” demikian Kremlin, menekankan pentingnya kontak antardepartemen pertahanan demi memberangus IS (Negara Islam)  dan organisasi teroris lainnya. Moskow menegaskan, Putin juga berbicara langsung dengan Obama mengenai rencana pembentukan front antiterorisme.

Ketua Komisi Hubungan Luar Negeri Parlemen Jerman Norbert Roettgen menilai, Rusia selangkah lebih maju di Suriah. Namun, ia mengaku enggan menebak langkah Rusia ke depannya.

Meski menyetujui usulan gencatan senjata, Roettgen menilai, Moskow tampaknya ingin menciptakan kisah berbeda di Negeri Syam, melalui serangkaian serangan udara di Aleppo dan sekitarnya. “Bila sudah selesai (melakukan misinya), baru mereka akan mengundang Barat untuk memerangi musuh bersama, IS.”

Ini artinya perang saudara belum akan usai, tetapi menarik pendapat Senator AS, Dick Black bahwa konflik yang mematikan di Suriah mungkin saja akan berakhir jika Amerika Serikat mulai menghentikan dukungan, bagi persenjataan ataupun pelatihan kepada pemberontak militan di  Yordania, Arab Saudi dan negara-negara lain di kawasan tersebut. (R01/P2)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: illa

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.