Tentara Israel Eksekusi Mati Anak Palestina di Luar Hukum

Oleh Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Marah Bakir adalah seorang gadis remaja Palestina berusia 16 tahun. Pada 12 Oktober 2015, ia meninggalkan sekolahnya yang ada di lingkungan Sheikh Jarrah, Yerusalem Timur (Al-Quds) yang diduduki Israel. Hingga akhirnya ia ditembak dan terluka oleh polisi Israel yang mengatakan bahwa Marah berniat menusuk petugas.

Namun, Pusat Hak Asasi Manusia Palestina melaporkan, ketika Marah berjalan dengan seorang temannya, mereka dilecehkan oleh warga Israel yang menyebutnya sebagai “teroris”. Saksi mengatakan, polisi cepat mengepung dan menembak empat atau lima kali.

Marah kemudian menjadi salah satu dari tiga gadis remaja Palestina yang ditahan di penjara Ramle, saat itu, bersama wanita Israel yang dihukum karena tindak pidana.

Perlakuan buruk Layanan Penjara Israel

Kelompok hak asasi Palestina Addameer mengatakan, menahan gadis-gadis di penjara adalah penyiksaan psikologis karena mereka terisolasi dari tahanan perempuan Palestina lainnya yang ditahan di penjara Hasharon.

Kelompok itu mengatakan, gadis-gadis hidup dalam ketakutan dan dihindari dari tidur. Ketiga gadis tahanan itu ditahan di sel kotor dengan dua tempat tidur, selimut dan kasur.

Menurut pengacara dari Addameer, penjaga Layanan Penjara Israel menyita pakaian hangat dan jilbab mereka, tetap dibelenggu selama masa santai.

Addameer melaporkan, baik Marah atau teman satu selnya Istabraq Nour (14) tidak menerima pengobatan tindak lanjut yang diperlukan untuk luka peluru mereka.

Istabraq ditembak dan ditahan selama bulan lalu. Israel menuduhnya bahwa ia menyelinap dengan pisau ke blok pemukiman Israel di Tepi Barat yang diduduki.

Gelombang penangkapan

Tahanan di bawah umur mewakili sekitar seperlima dari 2.000 warga Palestina yang ditahan Israel sejak kekerasan meningkat pada awal Oktober 2015. Mayoritas adalah anak-anak Palestina dari Yerusalem Timur (Al-Quds). Jumlah anak-anak Palestina yang ditangkap meningkat dua kali lipat.

Anak-anak Palestina yang hidup di bawah kekuasaan militer Israel di sebagian Tepi Barat yang diduduki, telah lama tidak diberikan hak-hak dasarnya. Mereka yang tinggal di Yerusalem Timur seolah-olah tunduk pada hukum sipil dan sistem peradilan yang sama sebagai warga Israel dan memiliki akses ke sistem asuransi nasional Israel.

Tetapi kelompok-kelompok HAM telah mendokumentasikan terjadinya penurunan tindakan pengobatan dan kondisi anak-anak di tahanan Israel.

Dalam rangka mengakomodasi besarnya jumlah anak-anak yang ditangkap, Israel membuka sayap baru untuk anak-anak Palestina di penjara Givon pada Oktober 2015.

Fasilitas penjara Givon memiliki maksimal 12 sel, masing-masing dengan enam tempat tidur.

Media Electronic Intifada Palestina sebelumnya melaporkan kondisi di penjara sangat buruk.

Pengacara dari kelompok HAM, termasuk dari Komite Publik Menentang Penyiksaan di Israel, Addameer dan Perlindungan untuk Anak Palestina-Internasional, memiliki semua kesaksian yang dikumpulkan dari anak-anak, yang melaporkan mereka dipukuli, tidak diberi makanan yang cukup dan ditahan di sel penjara berjamur dan dingin.

Anak-anak yang ditahan mengatakan kepada pengacara Addameer selama kunjungannya pada 3 Desember 2015 bahwa mereka menderita mimpi buruk, gangguan tidur dan mengalami pemukulan, ancaman serta kurang tidur.

Seperti dalam kasus Marah Bakir dan Istabraq Nour serta sebagian anak di penjara Givon tidak menerima perhatian medis yang memadai.

Sub Laban dari Addameer mengatakan kepada media Palestina, Electronic Intifada, biasanya ada orang dewasa Palestina yang ditempatkan di penjara bersama anak-anak Palestina untuk bertindak sebagai penghubung dengan otoritas penjara. Tapi di penjara Givon tidak ada orang dewasa.

 

Orang tua dilarang mengunjungi

Anak Palestina termuda yang diduga oleh Israel terlibat dalam penusukan adalah Ali Alqam yang berusia 12 tahun.

Ali dan sepupu tuanya 14 tahun, Muawiyah, dituduh menikam dan melukai seorang penjaga keamanan di sebuah stasiun trem di pemukiman Pisgat Zeev, dekat Beit Hanina di Yerusalem Timur (Al-Quds) pada 10 November 2015.

Ali terkena tiga peluru di perutnya, panggul dan tangan kanan.

Petugas paramedis dan pasukan Israel mengevakuasi Ali Alqam. Sepupunya ditangkap dalam insiden itu.

Seorang juru bicara dari Perlindungan untuk Anak Palestina-Internasional (DCIP) mengatakan, polisi melarang pengacara mereka mengajukan pertanyaan tentang interogasi Ali. Keluarga Ali juga mengatakan bahwa polisi mencegah mereka untuk mengunjungi anak mereka di rumah sakit di Yerusalem.

Menargetkan anak-anak

Sejak eskalasi yang bermula awal Oktober 2015, kekerasan Israel terhadap anak Palestina di bawah umur dalam tahanan sedang meningkat.

Antara Januari dan Juni 2015, 86 persen dari anak-anak Palestina melaporkan beberapa jenis kekerasan fisik setelah penangkapan mereka,

Menurut data yang dikumpulkan oleh DCIP, antara Januari dan Juni 2015, laporan beberapa jenis kekerasan fisik terhadap anak Palestina meningkat 10 persen dari tahun sebelumnya.

Laporan terbaru DCIP pada pertengahan April 2016, ada 440 anak Palestina saat ini dalam tahanan militer, jumlah tertinggi sejak mulai mengeluarkan angka jumlah tahanan anak pada 2008. Angka ini lebih dua kali lipat dari jumlah tahun lalu.

Sejak tindakan keras Israel meningkat pada warga Palestina mulai pertengahan 2015, pelanggaran hak-hak anak-anak Palestina di sistem pengadilan sipil Israel juga meningkat tajam.

Pada bulan November 2015, parlemen Israel menyetujui serangkaian langkah-langkah yang keras terhadap anak-anak Palestina.

Knesset memberikan persetujuan pada RUU untuk memenjarakan anak-anak berusia 12 tahun dengan dakwaan terorisme.

Knesset juga mengeluarkan peraturan yang mewajibkan hukuman selama 4 – 10 tahun untuk pelaku pelemparan terhadap kendaraan bergerak.

Anggota parlemen Israel juga merubah hukum asuransi nasional sehingga manfaat dapat dicabut dari anak-anak yang dihukum karena pelanggaran “motivasi nasionalisme” atau “tindakan teroris”.

Mereka juga menetapkan denda pengadilan kepada keluarga terdakwa lebih dari $ 2.500 dolar.

Eksekusi di luar hukum

Anak-anak Palestina juga tidak lolos  dari kebijakan Israel mengeksekusi di luar hukum.

Menurut lembaga pemantau PBB, OCHA, lebih dari 100 warga Palestina tewas pada bulan Oktober dan November saja, 23 anak-anak.

Mayoritas warga atau anak Palestina tewas selama dugaan upaya penusukan, tetapi dalam sejumlah kasus saksi mata dan rekaman video menunjukkan bahwa pemuda tewas ketika mereka tidak menimbulkan ancaman langsung.

Organisasi HAM dan pemantau internasional telah mengutuk praktek rutin Israel mengeksekusi di luar hukum.

Otoritas Israel juga suka menahan jenasah puluhan warga Palestina yang tewas dalam eksekusi di luar hukum. (P001/P2)

Sumber: Electronic Intifada

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.