Oleh: Illa Kartila – Redaktur Senior Miraj Islamic News Agency/MINA
Uang lelah/honor yang diterima oleh ustadz/ustadzah/da’i yang memberikan ceramah agama/dakwah kerap menjadi sorotan publik. Belakangan ini kembali diperbincangkan, bukan karena hal itu dilarang, tetapi ada kecenderungan beberapa penceramah mematok tarif tertentu yang relatif tinggi dan mengarah ke komersialisasi.
Mereka menolak berceramah jika tarifnya tidak sesuai. “Untuk shalat Jumat saja, ustadz S misalnya minta satu juta rupiah,” kata sekretaris sebuah organisasi masyarakat, Ustadz H. Novel Bamu’min. “Padahal tarif penceramah Jumat biasanya berkisar antara Rp250 hingga Rp300 ribu. S sudah tahu honor ceramah shalat Jumat sejak pertama kali berkarier sebagai da’i.”
“Sekarang dia mana mau ambil tawaran untuk ceramah shalat Jumat, karena dia tahu honornya kecil. Padahal dulu waktu merintis karier sebagai ustadz, dia banyak isi acara keagamaan tanpa minta ini itu,” katanya.
Baca Juga: Tak Ada Tempat Aman, Pengungsi Sudan di Lebanon Mohon Dievakuasi
Ustadzah OSD kabarnya mematok tarif Rp35 juta jika diundang ceramah, belum termasuk transport dan penginapan, jika ceramahnya di luar kota. Banyak orang menilai, dibandingkan kualitas ceramahnya, bayaran tersebut dianggap tak masuk akal.
Tetapi OSD sempat membela diri terkait tudingan itu, bahwa dia tak akan mengambil honor bila undangan ceramah tersebut murni dakwah, seperti penggalangan dana Palestina, pembangunan masjid dan terkait anak yatim.
Namun dia mengakui, bila undangan ceramah itu dalam konteks usaha, pastinya diberlakukan cara profesional. “Kalau kami bicara melakukan bisnis, umpamanya untuk menghimpun massa, maka kami ada di ranah profesional.”
Sementara Ustadz ZM yang kerap wara-wiri di televisi mematok soal transport atau bayaran bagi ustadz yang berdakwah itu tergantung dari acara. “Kalau yang mengundang pihak EO, sponsor, pemerintahan, perusahaan tertentu yang punya anggaran itu kan sudah masuk ranah komersil. Dalam kasus ini, ketika ada nilai tertentu yang diajukan oleh pihak ustadz, itu wajar.”
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Dia menilai wajar adanya fee untuk para dai, tapi memang tidak bisa dipatok. Menurut ZM semuanya harus jelas sejak awal kesepakatan antara sang ustadz dan pihak pengundang. “Masalahnya akan berbeda dalam konteks swadaya masyarakat, misalnya mereka bangun mushala dan ingin hadirkan ustad, itupun harus melalui kroscek terlebih dahulu.”
Jaman sekarang ini, ustadz juga memiliki manajemen, katanya, meski manajemen dakwah berbeda dengan manajemen artis. “Harus ada nilai yang disepakati dalam hal mengundang. Jumlahnya nggak ditentuin, tapi ada tanda kita terikat dalam bentuk kontrak. Manajemen dakwah itu kekeluargaan, nggak kaku, nggak kayak manajemen artis. Kami fleksibel.”
Tentang bayaran seikhlasnya untuk para dai, ZM menyebutkan, “jangan ikhlas itu diartikan dimudah-mudahin. Ikhlas itu saling menjaga. Ustadz berceramah nggak jalan kaki, kalau naik motor ada bensinnya juga.”
Menanggapi sorotan atas honor ustadz/ustadzah/dai, Mamah Dedeh angkat bicara. Dia mencoba memahami masalah transport ceramah seperti kasus ustadz S. “Profesi dai kadang dimanfaatkan berbagai pihak untuk kepentingan lain. Dalam kasus ini, S tidak sepenuhnya salah. Tidak soal sebenarnya (ada transport), karena kami sudah buang energi, buang tenaga dan waktu.”
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Dia mengisahkan pengalamannya kala dimanfaatkan pihak panitia dengan seenaknya. “Banyak yang memperjual-belikan kami. Tanda tangan Rp80 juta, tapi yang kami terima hanya Rp30 juta. Saya juga pernah tanda tangan Rp25 juta, tapi Cuma dikasih Rp1 juta.”
“Padahal saya tahu pendapatan dari tiket saja sangat besar. Mereka bisnisin. Duit itu dibaginya di depan mata saya,” katanya sambil menambahkan bahwa dia tak pernah mematok tarif dan panitia saja yang memberi honor.
Boleh terima bayaran
Adalah imam besar Masjid Istiqlal KH Ali Mustafa Yakub semasa hidupnya berpendapat, seorang dai tak boleh memasang atau mematok tarif, karena keterlaluan dan bisa mencoreng nama baik ustadz lainnya.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Namun Ali menegaskan, bukan berarti seorang ustadz tak boleh menerima bayaran. “Sah-sah saja menerima honor, tetapi bila sampai mematok tarif dalam berceramah, sudah lain urusannya. Menurut para ulama, itu haram hukumnya. Kalau memang niat dakwah ya tidak boleh minta imbalan. Kecuali jika memang diberi, ya tidak apa-apa.”
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Maruf Amin mengaku tidak setuju bila untuk ceramah diberlakukan tarif. Dakwah itu tugas dan kewajiban, jadi jangan dikaitkan dengan tarif. Sudah melenceng, jadi kalau pake tarif tak beda dengan pekerjaan seperti artis, penyanyi, pelawak, pemain sinetron dan lainnya.
Kalaupun ada orang memberi transport, itu adalah keinginan masyarakat sendiri untuk membantu para dai yang memang tidak sempat mencari uang karena kesibukannya berdakwah. “Tapi jangan kemudian dia memungut atau memasang tarif. Itu tidak layak,” kata Maruf.
Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof Hasanuddin AF mengatakan, dari segi hukum Islam, pada prinsipnya diperbolehkan menerima imbalan jasa atas ceramah atau mengajarkan ilmu agama lainnya, seperti pengajaran Alquran.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Akan tetapi, ia menggarisbawahi imbalan bukan tujuan utama dan tarif tersebut tetap tidak melampaui batas kewajaran. Motif paling mendasar kala berdakwah adalah niat untuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata.
Selain itu, memberlakukan tarif berdakwah, justru akan menghilangkan pahala dakwah itu sendiri. “Jika niatnya bisnis dan dibisniskan, itu tidak boleh,” ujarnya sambil mengutip hadis riwayat Umar bin Khatab tentang pentingnya meluruskan niat segala urusan akan dikembalikan pada sejauh manakah niat dan motif yang bersangkutan.
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah Prof Syamsul Anwar mengingatkan para pendakwah agar tetap ikhlas dan tidak memasang tarif, meskipun tidak ada larangan untuk itu, tetapi hendaknya menghindari kecenderungan komersialisasi.
Menurut dia, pemasangan tarif kaitannya dengan kebiasaan yang berlaku. “Semestinya, iltizam dini atau ketaatan terhadap syariat, dengan tidak mengedepankan tarif, lebih ditekankan oleh yang bersangkutan. Kalaupun hendak memasang tarif, sewajarnya saja. “Masyarakat punya penilaian tersendiri.”
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Komersialisasi
Ketua Lajnah Bahtshul Masail Nahdlatul Ulama (LBM-NU) KH Zulfa Mustofa menyatakan, menurut perspektif agama, secara etika seorang ulama tidak boleh meminta bahkan memasang tarif. Memang, mayoritas ulama memperbolehkan penerimaan upah dari pengajaran ilmu agama, tetapi tidak dengan cara mematok tarif.
“Tidak pantas meminta apa pun alasannya,” ujar alumnus Pesantren Maslakul Huda, Pati, Jawa Tengah itu sambil menambahkan bahwa komersialisasi itu tak terlepas dari pengaruh media, terutama televisi. Tingkat rating akan dijadikan alasan untuk meningkatkan tarif dakwah seseorang. Padahal, sikap semacam ini bisa mengancam kekekalan pahala.
Ia pun teringat nasihat Sang Guru, KH Sahal Mahfuz yang berpesan, ‘Allim majjanan kama ‘ullimta majjanan (Ajarkanlah ilmu secara ikhlas, sebagaimana engkau dididik secara gratis). Tak lupa, ia sampaikan ajakan agar para ulama mengingatkan oknum pendakwah manapun yang mematok tarif.
Menurut Ahmad Sarwat,Lc seorang ustadz asal Jakarta dan juga dosen di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, mematok honor adalah perbuatan yang tidak etis yang dilakukan oleh seorang juru dakwah, sebab dakwah tidak boleh dikaitkan dengan upah dan honor.
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
Keberkahan seorang penceramah yang memasang tarif tertentu kepada pengundangnya, akan berkurang dan bisa menimbulkan kebingungan di mata orang, apakah penceramah ini berniat untuk dakwah atau mau cari uang? Apalagi sampai menolak undangan ceramah hanya semata-mata karena honor yang dijanjikan tidak disepakati.
Dalam hukum Islam, katanya, seorang yang mengajarkan al-Quran dan ilmu-ilmu yang bermanfaat di jalan Allah, berhak mendapatkan upah atas jasanya itu. Bahkan mengajarkan Al-Quran secara syar`i bisa dijadikan sebagai mas kawin (mahar) dalam pernikahan.
Jika dia tidak boleh menerima upah atas jerih payahnya, dari mana dia akan menghidupi keluarganya yang merupakan kewajibannya. Sedangkan kalau mereka semua berhenti mengajar ilmu-ilmu Islam dan beralih profesi berdagang di pasar, maka siapa lagi yang akan mengajarkan dan mempertahankan agama ini.
Masalahnya tinggal bagaimana teknisnya. Di negara-negara Islam, profesi ustadz, pengajar, bahkan imam dan muazzin di masjid itu ditanggung gajinya oleh negara yang mendapatkan dana itu dari Baitul Mal termasuk dari uang zakat. Para khatib dan ustaz tidak langsung menerima upah dari murid atau orang yang mereka layani, sehingga tidak terkesan menjual ilmu dan doa.
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel
Tapi di negeri non Islam, ujarnya, negara sama sekali tidak memikirkan hal itu, sehingga menjadi urusan umat. Sayangnya lagi, umat Islam di banyak tempat belum memiliki Baitul Mal untuk menjamin kelangsungan hidup para ustadz. Yang terjadi justru mereka menyisihkan uang dikumpulkan di kas masjid/majlis taklim dan sebagian diberikan kepada ustadz yang mengajar.
Kalau masjid/majlis taklim itu dikelola oleh sebuah instansi yang memiliki budget, bisa jadi ‘dana amplop’ untuk para ustaz menjadi lumayan besar. Namun fenomena ini kadang salah disikapi oleh mereka sendiri, karena ada sebagian mereka yang mulai membuat ‘peta’ dan klasifikasi.
Kalau ceramah di kantor anu, maka amplopnya lebih tebal ketimbang ceramah di masjid kampung anu. Lalu muncul istilah wilayah ‘basah’ dan wilayah ‘kering’. Kadang ada semacam pentarifan nilai amplop di kalangan mereka. Jika ustadz yang diundang itu lumayan ngetop, karena sering muncul di TV, maka amplopnya harus lebih besar, tapi kalau ustadznya ‘anonim’, tidak terkenal, maka amplopnya bisa jadi ala kadarnya.
Memang para ustadz umumnya tidak pasang tarif, tetapi ada juga satu dua yang melakukan hal itu, terutama yang sudah go public, bahkan menggunakan semacam ‘manager’. Akhirnya jadilah profesi ustadz ini layaknya para artis, bermobil mewah, rumah megah, harta bertumpuk.
Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara
Fenomena ini menurut Ahmad Sarwat tentu saja tidak bisa digeneralisir. Masih banyak ustadz lain yang bersahaja, sederhana, rizqinya hanya ngepas buat makan saja, ke mana-mana naik bus kota, hujan kehujanan dan panas kepanasan. Padahal bisa jadi ilmu yang mereka miliki jauh lebih tinggi dan lebih dalam dari pada ustaz yang ber-BMW. (R01/P4)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Pengabdian Tanpa Batas: Guru Honorer di Ende Bertahan dengan Gaji Rp250 Ribu