51 Tahun Pembakaran Al-Aqsa, Api Itu Masih Menyala

Oleh: Ali Farkhan Tsani, Duta Al-Quds, Redaktur Senior Mi’raj News Agency (MINA)

Pada hari Kamis, 21 Agustus 1969, seorang Yahudi berkewarganegaraan Australia, Dennis Michael William Rohan (28 tahun), untuk kedua kalinya, membakar situs tersuci ketiga umat Islam, Masjidil Aqsa. Setelah sebelumnya pernah hendak mencoba upaya pertamanya sengaja membakar masjid tersebut.

Pada aksi keduanya, api menghancurkan bangunan Masjid Al-Aqsa, mulai dari langit-langitnya, permadani, dekorasi langka dan segala isinya, termasuk Al-Quran, perabotan, serta bangunannya yang rusak parah.

Kebakaran saat itu mencakup sepertiga dari total luas Al-Aqsa, dengan pembakaran lebih dari 1.500 meter persegi dari luas semula 4.400 meter persegi. Seperti disebutkan sumber Quds Press.

Kerusakan parah berupa atap masjid yang jatuh ke tanah, dua kolom utama roboh bersama lengkungan penyangga kubah, serta bagian dalam kubah berornamen, mihrab dan dinding selatan rusak. Sementara 48 jendela masjid hancur.

Mimbar Shalahuddin Al-Ayyubi, yang merupakan potongan langka dari bahan-bahan kayu, saling bertautan tanpa menggunakan paku, sekrup atau perekat, juga terbakar hangus.

Kerangka mimbar tersebut awalnya dibuat oleh Nuruddin Zanki, dan dibawa saat perjalanan untuk ditempatkan di dalam masjid setelah pembebasan. Ketika Zanki meninggal sebelum pembebasannya, Shalahuddin memindahkannya dan menempatkannya di tempatnya, saat ia membebaskan Al-Aqsha dari Tentara Salib.

Masjid Omar, yang atapnya terbuat dari tanah liat dan jembatan kayu, juga ikut rusak terbakar. Di sebelahnya ikut hangus Mihrab Zakaria dan Arbaeen.

Saat pengurus masjid dan warga hendak melakukan pertolongan pertama, otoritas pendudukan Israel ternyata telah memutus aliran air ke lingkungan Al-Qibli dan sekitarnya. Pengiriman mobil pemadam kebakaran pun terlambat datng karena berbagai kendala, yang memaksa warga untuk berinisiatif memadamkan api dengan apa saja yang bisa dilakukan.

Bersamaan waktu dengan kejadian itu, Perdana Menteri Israel saat itu, Golda Meir (kelahiran Kiev, Ukraina), terkaget sebentar, dan menampar mukanya sendiri.

Sejenak terhenyak Golda Meir (PM IV periode 1969-1974), berjuluk “wanita besi” (iron lady) karena kemauan kuatnya, berseru, “Ketika Al-Aqsha terbakar, saya tidak bisa tidur malam itu, dan saya pikir Israel akan dihancurkan. Namun ketika pagi tiba, saya menyadari bahwa orang-orang Arab sedang tidur nyenyak.”

Baca Juga:  Tentara Israel Serbu Masjid Ibrahimi, Larang Azan Berkumandang

Mantan Menteri Kehakiman dan Urusan Agama Israel Yossi Beilin, mengomentari apa yang pernah dikatakan Meir. Bahwa saat ini apa yang dilakukan Israel mengarah ke pembangunan Temple Mount. Menunjukan bahwa pembakaran itu memang skenario Israel.

Menurut Yossi Beilin, yang juga lama bertugas di berbagai posisi di parlemen Israel Knesset dan di pos-pos pemerintah, adanya peristiwa pembakaran Al-Aqsa tahun 1969 yang selalu diperingati orang-orang Yahudi, adalah untuk mengingatkan organisasi Yahudi pada salah satu tujuannya yakni pembongkaran semua bangunan Islam di Bukit Bait Suci.

Setelah aksi itu, terus mengarh ke langkah untuk mempercepat pembangunan Kuil Solomon III, ujarnya, menurut sumber Israel Today.

Jadi, api yang membakar Masjid Al-Aqsha lebih setengah abad lalu itu adalah insiden yang disengaja, dibuat dan direncanakan oleh seseorang yang percaya pada kesesuaian dengan apa yang direncanakan Zionis.

Upaya pertama dimulai dengan penerbitan Deklarasi Balfour tahun 1917, yang dampaknya adalah ketika orang-orang Yahudi mengambil Tembok Al-Buraq sebagai tempat untuk ritual mereka.

Upaya ini mendapat pertentangan dari umat Islam di Palestina yang kemudian melahirkan Revolusi Al-Buraq pada tanggal 23 Agustus 1929. Puluhan umat Islam gugur sebagai syuhada dan sejumlah besar orang Yahudi pun terbunuh.

Setelah pendudukan Yerusalem Timur pada tahun 1967, ambisi Israel di Al-Aqsa diperbarui dan dikonsolidasikan dengan api yang dinyalakan di dalamnya pada tanggal 21 Agustus 1969.

Upaya berikutnya, pembongkaran lingkungan di sekitar Gerbang al-Maghariba, yang berdekatan dengan tembok barat Masjid Al-Aqsa, termasuk monumen, dan madrasah.

Pasukan Zionis juga meledakkan rumah-rumah yang mengelilingi tembok dan menggusur penghuninya, mengklaim bahwa area tembok itu milik orang Yahudi selama tiga ribu tahun.

Setelah merebut lingkungan al-Maghariba dan menghapus monumen dan bangunannya, penjajah Israel mendirikan alun-alun beraspal besar di depan Tembok Al-Buraq agar mereka berkumpul untuk melakukan ritual di depannya.

Di alun-alun ini terdapat pintu pertama terowongan yang digali otoritas pendudukan sejajar dengan dinding barat Al-Aqsa, sepanjang sekitar 488 meter.

مستوطنون يقتحمون الاقصى – ارشيف

Baca Juga:  Abu Obeida: Netanyahu Pilih Bunuh Pasukannya daripada Ambil Kesepakatan

Penyusupan ke Al-Aqsa

Kini, pada peringatan 51 tahun pembakaran Masjid Al-Aqsa tahun 2020, pendudukan Israel masih saja terus melanggar keputusan internasional dan msih terus mengontrol secara administratif dan politik atas kota Yerusalem, tempat Al-Aqsa berada.

Bahkan, dengan dukungan Presiden AS Donald Trump  melalui Kesepakatan Abad Ini sedang mempertimbangkan seluruh Yerusalem sebagai ibukotanya melalui langkah aneksasi.

Trump mendorong pendudukan Israel dalam proyek-proyek kolonialnya, dan menjadikan kota Yerusalem yang tidak terbagi sebagai ibu kota abadi Israel.

Proyek-proyek berbahaya tersebut terus berjalan, seperti pembagian Masjid Al-Aqsa dalam ruang dan waktu, serta pembatasan jamaah dari kalangan umat Islam. Sementara Yahudi ekstermis dengan leluasa memasukinya dengan pengawalan pihak keamanan.

Tujuan akhir pembatasan adalah untuk mengubahnya menjadi sinagoga Yahudi.

Beberapa tahun terakhir, telah menyaksikan peningkatan yang luar biasa dalam jumlah penyusup kalangan Yahudi ke Al-Aqsa. Jumlah penyusup itu meningkat dari 5.658 pada tahun 2009 menjadi 30.416 penyusup pada tahun 2019.

Sedangkan dalam dua tahun terakhir, jumlah penyusup mencapai 28.674 dalam periode Agustus 2019 hingga Juli 2020. Menurut statistik khusus dari Jerusalem International Foundation.

Yahudisasi Bawah Tanah

Proyek pendudukan kini terus meluas hingga operasi penggalian di sembilan area di bawah Kota Tua, termasuk tiga titik penggalian di bawah Masjid Al-Aqsa. Israel memperdalam dan memperluas terowongan di bawah Masjid Al-Aqsa dan sekitarnya.

Selanjutnya, sebagai bagian dari penyitaan kawasan Masjid Al-Aqsa, kota Yerusalem secra sistematis dikosongkan dari penduduk asli Yerusalem dan digantikan oleh orang-orang Yahudi pendatang, dengan menyita tanah dan harta benda dari penduduknya.

Pendudukan melakukan tidak kurang dari 300 pembongkaran di Yerusalem dari 686 pembongkaran yang terjadi di tanah Tepi Barat sepanjang tahun 2019. Demikian laporan Quds Press.

Sementara 313 fasilitas Palestina dihancurkan selama paruh pertama tahun 2020, 54 persen di antaranya di Yerusalem dan Hebron.

Di antara rencananya untuk mengosongkan kota Yerusalem dari orang-orang Yerusalem adalah mengisolasi lingkungan Yerusalem melalui pembangunan tembok apartheid, di beberapa titik wilayah, seperti Al-Eizariya, Abu Dis, Al-Ram, dan Dahiyat Al-Bareed.

Baca Juga:  Roket Hezbollah Lebanon Kembali Hantam Situs Militer Zionis

Selain itu juga dengan membangun permukiman di sekitar kota Yerusalem yang diduduki secara melingkar, dan mencaploknya ke kota untuk mengintensifkan kehadiran Yahudi dan memberikan karakter Yahudi ke daerah tersebut.

Itu semua adalah untuk menerapkan rencana “Yerusalem Besar”, dalam konteks Kesepakatan Abad Ini.

Keteguhan Palestina

Menghdapi semua proyek itu, rakyat dan para pejuang Palestina selalu berusaha menggagalkannya dengan berbagai cara. Warga Palestina tetap saja berkunjung ke Al-Aqsa untuk mempertahankan masjid, dan turun ke gerbang pintunya untuk memaksa pasukan pendudukan membuka pintunya dan menarik diri darinya dan sekitarnya.

Pergerakan demi pergerakan terus membara. Mulai dari Intifada Al-Aqsa (2000-2004), Global March to Jerusalem (2012), Jerusalem Uprising (2015-2017). Hingga yang terkini Great March of Return (2019) dan Black Lives Matter Palestine (2020).

Pendudukan Israel tampaknya tidak dapat memberantas apa yang mereka cap sebagai “gelombang terorisme”.

Rakyat Palestina mampu mengatasi tantangan dan mengirim pesan kepada pendudukan bahwa Al-Aqsa dan Yerusalem adalah ”garis merah” yang tidak dapat dilintasi.

Terus Menyala

Secara internasional, perjuangan Al-Aqsa dan Palestina terus meluas, sejak terbentuknya Organisasi Konferensi Islam (OKI), di Rabat, Maroko, pada tanggal 25 September 1969, sebulan setelah kejadian. OKI digagas oleh Raja Arab Saudi Faisal bin Abdul Aziz. Indonesia adalah salah satu negara pendiri OKI.

Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang beranggotakan 57 negara dan memiliki seorang perwakilan tetap di PBB, kemudian berubah nama menjadi Organisasi Kerjasama Islam pada 28 Juni 2011.

Rangkaian OKI, terlepas dari belum merdekanya Palestina di tengah Negara-negara petrodollar Timur Tengah, dan normalisasi terkini Uni Emirat Arab-Israel, menyususl Mesir 1979 dan Yordania 1994.

Semangat pergerakan perjuangan Al-Aqsa dan Palestina masih terus menyala, selama api pendudukan masih berlangsung.

Mengutip penegasan Imam Masjidil Aqsa Syaikh Ikrimah Sabri pekan lalu, yang mengatakan bahwa peringatan 51 tahun pembakaran Masjid Al-Aqsa menunjukkan api itu terus menyala hingga hari ini.

Api perjuangan itu tentu saja tidak akan padam selama masih ada kaum Muslimin yang memiliki kepedulian terhadap mereka.

“Al-Aqsa Haqquna”, Al-Aqsa sebagai hak milik kita semua umat Islam, sesuai dengan dasar-dasar hukum dari Al-Quran, As-Sunnah dan Khalifah Rasyidah, akan terus membakar kejahatan Zionis Yahudi sampai mereka bertekuk lutut dan menderita karena kekalahnnya. Allahu Akbar !! Al-Aqsa Haqquna !!! (A/RS2/RI-1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)