DZULHIJJAH “BERSAMA” IBRAHIM, HAJAR DAN ISMA’IL

urayoleh: Uray Helwan Rusli, penulis buku Khilafah vs Yahudi

Dzulhijjah, salah satu bulan haram umat Islam. Allah  memuliakan dengan syari’at istimewa di dalamnya. Ibadah .  Ibadah agung, di tempat dan waktu yang suci. Balasannya yang pantas adalah jannatun na’im. Sebagaimana sabda Rasulullah :

وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ

“Dan tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga.” (HR. Bukhari no. 1773 dan Muslim no. 1349).

Haji harus berasal dari ketundukan kepada Allah, sebagaimana kalimat talbiah yang senantiasa didengungkan :

“Aku sambut seruan-Mu dengan haji sebagai hak, ubudiyah dan penghambaan” (HR. Daruquthni).

Tunduk dan patuh untuk merealisasikan kesempurnaannya. Niat yang ikhlash karena kecintaan untuk memenuhi seruan Allah semata. Finansial yang halal, hati dan pikiran yang senantiasa terfokus  pada zikrullah dan merasakan kebesaran Allah. Menghindari dari perbuatan rafats dan fusuk, sebutan untuk setiap kemesuman dan kema’shiyatan. Prinsipnya berhaji sebagaimana hajinya Rasulullah.

Sahabat Ibnu Umar  pernah berkata: “Haji yang paling utama adalah yang paling ikhlas niatnya, paling bersih nafkahnya dan paling baik keyakinannya”. Semua itu Syi’ar-syi’ar Allah yang tidak muncul melainkan dari ketaqwaan hati. Firman Allah:

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

 “Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati”. (QS. Al Hajj(22):32)

Karenanya, adanya  kemampuan untuk  melaksanakan ibadah haji adalah karunia yang sangat besar,  sebaliknya penyia-penyiaannya merupakan kerugian yang membuahkan penyesalan selamanya.

Agungnya ibadah haji dengan segala hikmah dan kemuliaan yang Allah kehendaki terpendam dibalik pelaksanaan syari’atnya, memunculkan kembali memori sejarah masa silam ketika ia baru dirintis oleh seorang hamba-Nya. Beliau adalah Ibrahim beserta anak dan istrinya, Isma’il dan  Hajar, ‘alihimussalam. Oleh sebab itu pembicaraan terhadap ibadah haji tidak bisa dipisahkan dari penghayatan perjalanan hidup Nabiyullah Ibrahim dan Isma’il serta Hajar.

Tentu saja tulisan ini tidak sanggup untuk mengupas detail perjalanan Beliau beserta anak dan istri  yang sarat dengan hikmah. Namun apa yang diupayakan, mudah-mudahan paling tidak dapat mengungkap satu sisi dari kehidupan Beliau, terutama sisi idealnya sebuah keluarga yang harmonis, Ibrahim sebagai seorang bapak, Isma’il sebagai anak serta Hajar sebagai seorang istri dan ibu. Mereka tetap konsisten ta’abud ilallah walau dalam situasi beratnya ujian keimanan.  Sebuah teladan yang sangat relevan dengan kondisi saat ini, disaat struktur keluarga sudah semakin tercerabut dari poros penyembahan kepada Allah semata, atau bahkan keutuhan sebuah keluarga sudah dirasakan  tidak diperlukan lagi oleh sebagian orang.

Kemuliaan Nabiyullah Ibrahim, dimulai dari ketangguhan disaat muda. Di dalam Al Quran disebutkan:

قَالُوا سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ

“Mereka berkata: Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim”. (QS. Al Anbiya:60)

Al Quran menggunakan kata   فَتًى pada ayat di atas  yang berarti: Pemuda tanggung, lebih besar dari Ghulam (remaja/anak kecil), dan lebih kecil dari Syab atau orang dewasa (DR. Shalah Abdul Fattah Al Khalidy). Ini adalah fase penuh semangat, perjuangan, dan pengorbanan, yang berarti keberanian dan keteguhan, sebagaimana yang terjadi pada pemuda Ibrahim. Beliau mampu melihat kejahiliyahan dan kemungkaran, hingga menghancurkan berhala-berhala dengan cara yang sangat cerdik, agar kaumnya mau berpikir.

قَالَ بَلْ فَعَلَهُ كَبِيرُهُمْ هَذَا فَاسْأَلُوهُمْ إِنْ كَانُوا يَنْطِقُونَ

“Ibrahim menjawab: Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara”. (QS. Al Anbiya:63)

Masa muda yang tangguh dalam mempertahankan keimanan, isyarat  kemulian di masa berikutnya. Akan tetapi semua perlu ujian.  Firman Allah, QS. Al Baqarah:124, yaitu:

وَ إِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيْمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ . . .

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan),  lalu Ibrahim menunaikannya….”

Menurut Muhammad bin Ishaq yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Katsir, bahwa kalimat yang diujikan Allah kepada Nabiyulah Ibrahim ‘alaihissalam adalah :

  • Pisah dengan kaumnya ketika Beliau diperintah untuk meninggalkan mereka,
  • Perdebatan dengan Namruz (QS. Al Baqarah:258),
  • Kesabarannya ketika ia masuk dalam api (QS. Al Anbiya:68-69),
  • Kesukaannya untuk memuliakan tamu (QS. Adz Dzariat:24-27),
  • Perintah untuk menyembelih puteranya, dan
  • Kesabarannya ketika diperintah meninggalkan anak istrinya di Hijr Isma’il.

Dua yang terakhir dirasakan cukup berat. Betapa tidak, Beliau harus meninggalkan anak istrinya di suatu tempat yang tandus bernama Bakkah. Perbekalan sangat seadanya, tidak ada apa-apa di sekitarnya, tumbuh-tumbuhan atau mata air, atau  sesuatu yang bisa “membuat’ bertahan hidup. Kecuali sebatang pohon tempat berteduh, pohon Dauhan. Selain itu yang ada hanya hamparan pasir putih dan batu yang berserakan. Tegakah Ibrahim  meninggalkan anak satu-satunya (Ishak masih belum lahir) yang masih bayi dan istri yang dicintai di tempat seperti itu? Pantaskah seorang bapak dan suami berbuat seperti itu?  Akan  tetapi semua pertimbangan seperti itu terlalu kecil apabila dibandingkan dengan keagungan perintah Allah. Beliau melakukan itu semua karena perintah Allah. Dalam Shahih Bukhari diceritakan :

Kemudian berangkat . Ummu lalu mengikutinya sambil berkata : “Hai Ibrahim! Tuan hendak kemana? Sampai hatikah tuan meninggalkan kami di lembah yang tidak ada manusia dan tidak pula ada sesuatu apapun di sini?”. Diucapkan perkataan itu berulang-berulang. Nabi Ibrahim tidak menjawab. “Allahkah yang telah menyuruh tuan berbuat begini?” Jawab Ibrahim: ”Ya”. Katanya: “Jika begitu Allah tidak akan menyia-nyiakan  kami”. Kemudian Ummu Ismail kembali dan Ibrahim pun terus berjalan. Ketika ia berada di Saniah, di tempat yang kira-kira tidak kelihatan oleh Ummu Ismail, Ibrahim menghadap kearah Bait, kemudian ia berdo’a dengan beberapa kalimat, sambil mengangkat kedua tangannya : “Wahai Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Wahai Tuhan (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan mudah-mudahan mereka bersyukur” (QS. Ibrahim(14): 37).

Nabi Ibrahim menyerahkan semuanya kepada Allah. Inilah tingkat ketawakkalan para Nabi.  Kemudian Allah memberikan pertolongan-Nya. Siapa yang menyangka bahwa Allah akan menganugerahkan mata air yang tidak pernah kering itu? Atau selanjutnya Ia menggerakkan hati orang-orang yang melewati daerah itu untuk kemudian menetap di situ dan memuliakan Ummu Ismail dan anaknya? Itulah salah satu balasan Allah terhadap ditunaikannya perintah dengan sempurna.

Apakah cukup sampai di sini ujian Ibrahim ‘alaihisallam? Ternyata belum. Allah masih berkehendak  untuk menguji ketundukan dan keta’atan  Ibrahim. Ujian memang sangat diperlukan untuk penentuan kualitas dan derajat keimanan. Turun perintah  dari Allah melalui mimpi, agar Beliau menyembelih Isma’il kecil, putra yang amat dicinta. Lama tidak dikaruniai anak, ketika lahir diperintahkan untuk ditinggal di gurun tandus, setelah beranjak remaja, menjadi anak yang sholeh dan sangat penyabar, diperintahkan untuk disembelih. Ujian yang teramat berat. Lagi-lagi tegakah seorang bapak berbuat seperti itu? Al Quran mengisahkan:

رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ. فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ. فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ.

“Ya Tuhanku, anugerahkan kepadaku seorang anak yang termasuk orang-orang yang sholih”. Maka kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesunggunya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu”. Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (QS. Ash Shaffat(37):100-102).

Perintah dilaksanakan Ibrahim, tanpa harus tahu apa maksud dan tujuan serta hikmah yang terkandung di sebaliknya. Kalau sudah demikian keimanan yang berbicara, ia akan mengalahkan perhitungan dan pertimbangan duniawi sebesar apapun.  Selanjutnya cukup diikuti lanjutan firman Allah di atas:

فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ .وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ. قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ. إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاء الْمُبِينُ. وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ.

Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan  mimpi itu”, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan suatu sembelihan yang besar. (QS. Ash Shaffat:103-107).

Salah satu hikmahnya, peristiwa “penyembelihan” Ismail yang kemudian diganti dengan seekor hewan sembelihan, adalah disyari’atkannya ibadah di setiap ‘Idul Adha, 10 Dzulhijjah dan hari raya Tasyrik, 11,12 dan 13 Dzulhijjah. Suatu ibadah mulia yang penuh dengan timbangan kebaikan, sabda Rasulullah riwayat Ibnu Majah, yang dishahihkan oleh Al Hakim:

“Bagi kalian dari setiap bulu kulitnya mendapatkan suatu kebaikan, dan setiap tetesan darahnya satu kebaikan, dan sesungguhnya qurban itu diletakkan di dalam timbangan maka bergembiralah”. 

Sebagaimana Ibrahim ‘alaihissalam, Beliau melakukannya dengan ketundukan full kepada Allah semata, sehingga mengorbankan yang paling beliau cintai, yakni anaknya, Ismail. Maka hendaknya kaum muslimin yang berkurban dengan hewan sembelihan juga demikian. Dilakukan semata-mata ketundukan dan keikhlasan melaksanakan perintah Allah. Karena pada hakikatnya yang sampai kepada Allah adalah hati yang melaksanakan perintah dengan penuh ketundukan. Firman Allah:

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhoan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik”. (QS.Al Hajj:37)

Demikianlah penggalan kecil dari perjalanan Bapak kita Nabi Ibrahim, ‘alaihissalam yang sangat sarat dengan teladan.   Pantas kalau kemudian Allah muliakan dengan menjadikannya Imam bagi seluruh manusia termasuk  diantara anak keturunannya yang tidak berlaku zalm, sebagaimana Firman Allah :

وَ إِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيْمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّيْ جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَ مِنْ ذُرِّيَّتِيْ قَالَ لاَ يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِيْن

Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu Imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: (Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim” QS.Al Baqarah:124.

Ibrahim seorang bapak yang tangguh berjalan di atas perintah Allah, Hajar ibu sekaligus istri yang ta’at dan tawakkal, Ismail anak yang penyabar, memang teladan kita, sebagai apapun kita: Bapak, ibu, istri atau anak. Wallahu a’lam bish showab.(L/P004/R03)

 

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

 

 

Comments: 0