Keutamaan Ridha kepada Takdir Allah

Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA

Salah satu kunci kesuksesan dunia dan akhirat seorang muslim adalah ridhanya ia kepada setiap ketentuan dan ketetapan yang Allah berikan.

Seorang sahabat besar Abu Darda’ ra suatu kali berkata, “Puncak iman itu ada empat: sabar terhadap hukum (maksudnya hukum syariat Islam), dengan takdir, ikhlas dalam bertawakal dan pasrah tunduk kepada Allah.” [I’tiqad Ahlis Sunnah: 4/676].

Dalam tulisan ini akan dibahas salah satu puncak iman yang disebutkan oleh Abu Darda’ yaitu ridha.  Ridha kepada Allah Ta’ala, berarti ridha kepada takdir Allah Ta’ala. Ridha kepada Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul. Ridha kepada Islam sebagai agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.

Ridha merupakan amal hati yang sangat utama. Salah seorang ulama salaf bernama Bisyr bin Al Harits berkata, “Siapa yang dikaruniai sikap ridha maka dia telah mencapai derajat yang paling utama.”

Orang-orang yang ridha kepada Allah termasuk ke dalam kelompok Hizbullah sebagaimana Allah Ta’ala menyebutnya demikian. Allah Ta’ala berfirman,

لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ ۚ أُولَٰئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ ۖ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ أُولَٰئِكَ حِزْبُ اللَّهِ ۚ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.

Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. 

Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa ridha kepada-Nya. Mereka itulah Hizbullah (golongan Allah). Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” [Qs. Al-Mujadilah: 22]

Secara bahasa Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid mengatakan, ridha adalah tenangnya jiwa dengan sesuatu dan kepuasan jiwa terhadapnya. [Idhaahud dalil : 143].

Sedangkan kata ridhwan berarti ridha yang banyak. Karena ridha yang paling agung adalah ridha Allah SWT maka lafazh ridhwan itu dikhususkan dengan apa yang dari Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا

“Mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya.” [Qs. Al-Fath: 29]

Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman,

يُبَشِّرُهُمْ رَبُّهُمْ بِرَحْمَةٍ مِنْهُ وَرِضْوَانٍ وَجَنَّاتٍ لَهُمْ فِيهَا نَعِيمٌ مُقِيمٌ

Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat dari pada-Nya, keridhaan dan surga, mereka memperoleh didalamnya kesenangan yang kekal.” [Qs. At-Taubah: 21]

Secara syar’i, ridha adalah seorang hamba bersikap pasrah terhadap apa yang Allah perintahkan kepadanya dan larang darinya, ridha terhadap apa yang Allah ridhai dan tidak mengeluh dengan ketetapan Allah yang berlaku pada dirinya baik berupa perintah-perintah maupun musibah dan menyerahkan kepada Allah dalam semua itu serta bersikap zuhud di dunia ini.

Kedudukan ridha dan hukumnya

Ridha memiliki kedudukan yang agung dalam Islam. Diriwayatkan oleh Imam Muslim (34) dari Al-‘Abbas bin Abdul Muthallib ra., Rasulullah SAW bersabda,

ذَاقَ طَعْمَ الْإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا

“Telah merasakan manisnya iman siapa saja yang telah ridha Allah sebagai Rabb (Tuhan), Islam sebagai agama dan Muhammad sebagai rasul.”

Rasulullah SAW juga bersabda,

مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ: رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا، غُفِرَتْ لَهُ ذُنُوبُهُ

“Siapa yang mengucapkan saat mendengar adzan, ‘radhiitu billahi rabban wa bil islaami diinan wa bi Muhammadin rasuulan (Aku telah ridha Allah sebagai Rabb (Tuhan) , Islam sebagai Agama dan Muhammad sebagai Rasul), maka dosa-dosanya diampuni.“

Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah mengatakan, “Dua hadits tersebut merupakan poros dari maqam-maqam dalam agama ini. Pada kedua hadits tersebut maqam atau kedudukan dalam agama ini berujung.

Kedua hadits tersebut mengandung sikap ridha terhadap rububiyah dan uluhiyah Allah Ta’ala, ridha terhadap Rasul-Nya, dan tunduk kepada-Nya, ridha dengan agama-Nya dan pasrah kepada-Nya. Siapa saja yang telah menghimpun keempat hal ini maka termasuk Ash-Shiddiq, orang yang betul-betul benar (imannya).

Ia mudah diakui dan diucapkan namun merupakan perkara tersulit saat benar-benar diuji. Apalagi bila ada sesuatu yang bertentangan dengan hawa nafsunya dan keinginan jiwanya. Dari situ menjadi jelas bahwa lisannya telah menyatakan keridhaan namun keadaannya belum tentu menunjukkan keridhaan.” [Tahdzib Madarijus salikin, Ibnul Qayyim, hal. 326]

Lalu, apa hukum ridha itu? Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid berkata, “Derajat ridha dalam hati itu bertingkat-tingkat sesuai dengan tingkat kekuatan iman seseorang dan sesuai dengan tingkatan perkara yang diridhai oleh seseorang. Derajat ridha ini bila dilihat dari hukumnya ada tiga jenis sebagai berikut.

Pertama, ridha yang wajib. Ridha yang wajib adalah ridha terhadap empat perkara pokok yaitu; ridha kepada Allah sebagai Rabb, ridha kepada Islam sebagai agama, ridha kepada Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul dan ridha terhadap musibah yang menimpa dan bersabar terhadapnya.

Ridha yang wajib termasuk keridhaan yang bersifat mendasar atau pokok terhadap Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, Muhammad SAW sebagai nabi dan ridha terhadap qadha’ dan qadar. Tingkatan ridha selain dari keempat hal ini tidaklah wajib hukumnya.

Kedua, ridha yang sunnah. Ridha yang sunnah adalah tingkatan ridha yang tinggi terhadap empat perkara tersebut. Ridha dan ikhlas dalam apa-apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

Ketiga, ridha yang haram. Sedangkan ridha yang haram adalah ridha terhadap kemaksiatan dan dosa-dosa. Orang yang gemar bermaksiat, berarti dia ridha dengan kemaksiatan itu.

Buah ridha

Ridha itu punya buah, dan buahnya bisa dinikmati oleh siapa saja dari kaum muslimin yang bisa mengamalkannya. Berikut adalah beberapa buah ridha.

Pertama, ridha menjadi sebab masuk ke dalam surga. Sebagaimana dalam hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri ra., Rasulullah SAW bersabda, “Wahai Abu Sa’id, siapa saja yang ridha kepada Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, Muhammad sebagai nabi, surga diwajibkan baginya.”

Maka Abu Sa’id merasa takjub dengan hal tersebut lalu berkata, “Ulangilah untuk saya wahai Rasulullah.” Lantas Rasulullah SAW mengulangi sabdanya.” [HR. Muslim 1884]

Abdullah bin Mas’ud ra. berkata, “Siapa saja yang ridha dengan apa yang Allah turunkan dari langit ke bumi ini, insyaallah masuk surga.” [Hilyatul Auliya’: 9/249]

Kedua, ridha menjadi sebab diampuni dosa-dosa. Hal ini sebagaimana hadits dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra. dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda, “Siapa saja yang berkata ketika mendengar adzan: asyhadu allaa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah wa anna muhammadan ‘abduhu wa rasuuluh, radhiitu billahi rabban wa bimuhammadin rasuulan wa bil Islaami diinan,(artinya: Aku bersaksi tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah semata tidak ada sekutu bagi-Nya dan bahwa Muhammad hamba dan utusan-Nya, Aku tela ridha kepada Allah sebagai Rabb, Muhammad sebagai Rasul dan Islam sebagai agama), dosanya diampuni.” [Hadits riwayat Muslim: 386]

Ketiga, keridhaan Allah kepada orang yang telah ridha pada hari kiamat. Hal ini sebagaimana dalam sabda Rasulullah SAW, “Tidak seorang Muslim pun yang berkata saat di pagi hari dan sore hari tiga kali: radhiitu billahi rabban, wabil Islaami diinan wa bi muhammadin Nabiyyan (saya telah ridha kepada Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama dan Muhamad sebagai Nabi) kecuali Allah Ta’ala akan meridhainya pada hari kiamat.” [Hadits riwayat Ahmad (18988). Al-Arnauth berkata, “Shahih lighairihi.”]

Keempat, mendapat keberkahan dalam rezekinya. Hal ini sebagai dalam sebuah hadits dari Abu Al-‘Ala’ bin Asy-Syukhair, dia berkata, “Salah seorang dari Bani Sulaim yang aku perkirakan dia melihat Rasulullah SAW menyampaikan kepadaku, “Sesunguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala menguji hamba-Nya dengan apa yang dia berikan. Siapa yang ridha dengan pembagian Allah ‘Azza wa Jalla kepadanya maka Allah akan memberkahi pemberian tersebut dan memperluasnya, namun jika dia tidak ridha maka Allah tidak memberkahinya.” [HR. Ahmad (20294) dan Al-ALbani menshahihkannya].

Kelima, memperoleh kebahagiaan, jalan keluar dan kehidupan yang baik. Seorang ulama bernama Aktsam bin Shaifi rahimahulah berkata, “Siapa yang ridha dengan pembagian Allah akan baiklah penghidupannya dan siapa yang merasa qana’ah dengan apa yang ada padanya maka akan sejuklah kedua matanya.” [Al-Qana’ah wa ‘Afaaf : 131]

Keenam, ridha dengan takdir Allah akan menjadikan seseorang sebagai orang yang paling kaya. Ini berdasarkan hadits Nabi SAW,

اتَّقِ الْمَحَارِمَ؛ تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ. وَارْضَ بِمَا قَسَمَ اللَّهُ لَكَ؛ تَكُنْ أَغْنَى النَّاسِ» حسن – رواه الترمذي.

“Jagalah dirimu dari hal-hal yan diharamkan, niscaya kamu akan menjadi manusia yang paling sempurna ibadahnya. Dan ridhalah dengan apa yang Allah bagikan untukmu, kamuakan menjadi manusia yang paling kaya.” [HR. At-Tirmidzi]

Ketujuh, orang yang ridha akan merasakan manisnya iman. Rasulullah SAW bersabda,

ذَاقَ طَعْمَ الإِيمَانِ؛ مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا، وَبِالإِسْلاَمِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولاً» رواه مسلم

“Telah merasakan manisnya iman siapa saja yang ridha kepada Allah sebagai rabb, Islam sebagai agama dan Muhammad sebagai rasul.” [HR. Muslim]

Semoga Allah Ta’ala mengaruniakan kemudahan kepada seluruh umat muslim untuk bisa ridha atas semua ketentuan Allah dan Rasul-Nya, aamiin.(A/RS3/P2)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.