Lembaga HAM Tuntut Penyelidikan Penembakan Pengungsi Rohingya

Bangkok, 17 Sya’ban 1437/24 Mei 2016 (MINA) – Pihak berwenang harus melakukan penyelidikan menyeluruh dan independen terhadap kasus penembakan fatal seorang pengungsi oleh polisi negara itu pada 23 Mei. Bangkok juga harus mengakhiri penahanan tanpa batas waktu dan sewenang-wenang pengungsi dan korban perdagangan manusia. 

Seruan itu disampaikan oleh lembaga hak asasi yang berbasis di Bangkok dan terdaftar di Swiss dan Amerika Serikat, , seperti dalam sebuah pernyataan yang diterima Mi’raj Islamic News Agency (MINA), Selasa (24/5).

Pada 23 Mei, sebanyak 21 pengungsi Rohingya dilaporkan melarikan diri Pusat Penahanan Imigrasi (IDC) Phang Nga sekitar pukul 01:00 dini hari. Polisi Thailand mengatakan kepada media bahwa mereka melakukan perburuan, dan, ketika mencoba untuk kembali menangkap enam tahanan yang melarikan diri, menembak, dan membunuh satu orang Rohingya.

Tiga warga Rohingya yang berada di lokasi kejadian ketika penembakan terjadi sekarang dilaporkan mendekam di dalam tahanan polisi.

“Pihak berwenang harus memulai penyelidikan independen atas insiden tragis ini tanpa penundaan,” kata Amy Smith, Direktur Eksekutif Fortify Rights. “Polisi harus menunjukkan bukti pembenaran yang sah untuk menggunakan kekuatan mematikan terhadap sekelompok pengungsi,” tegasnya.

Kepala Kepolisian Phang Nga, Mayor Jenderal Worawit Parnprung, mengatakan kepada media bahwa polisi membunuh warga Rohingya tersebut, yang tidak diidentifikasi identitasnya, untuk membela diri karena korban melawan upaya penangkapan dan menyerang polisi.

Polisi mengklaim para pengungsi yang melarikan diri itu melempari polisi dengan batu pada saat kejadian.

Penggunaan kekuatan mematikan oleh polisi hanya sah bila diperlukan untuk mencegah hilangnya nyawa dan cedera serius dan ketika terdapat situasi ancaman yang proporsional. Ketentuan UN Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials memerintahkan pejabat berwenang agar menahan diri untuk penggunaan kekuatan mematikan.

Selain itu instrumen UN. Code of Conduct for Law Enforcement Officials mewajibkan penegak hukum untuk menggunakan kekerasan hanya jika benar-benar diperlukan dan sejauh dibutuhkan untuk kinerja tugas mereka.

Sebagai bagian dari penyelidikan yang berimbang atas insiden tersebut, Fortify Rights meminta pemerintah Thailand untuk melakukan otopsi terhadap korban dengan melibatkan jaksa penuntut umum, dokter, dan unsur terkait lainnya.

“Tragedi ini mungkin bisa dihindari jika Thailand menghormati hak-hak pengungsi dan korban perdagangan manusia sesuai dengan hukum internasional,” ujar Smith. “Kebijakan dan praktik-praktik Thailand terhadap pengungsi Rohingya menempatkan hidup mereka pada risiko dan harus segera dibenahi,” imbuhnya.

Polisi Thailand, Letnan Kolonel Noppadon Rakchart, mengatakan kepada wartawan bahwa orang-orang Rohingya yang melarikan diri dari pusat penahanan Phang Nga telah mendekam di dalam sel selama hampir satu tahun.

Pada Maret lalu, Fortify Rights dan Burmese Rohingya Organization UK mendokumentasikan penahanan tak terbatas sejumlah pengungsi Rohingya di Thailand, termasuk anak-anak tanpa pendamping di bawah usia 18 tahun, selama lebih dari 12 bulan di fasilitas kumuh di IDC Songkhla.

Orang-orang Rohingya, yang tidak diakui sebagi warga negara oleh Myanmar, menempati sel yang penuh sesak dan mereka harus tidur berimpitan di lantai. Mereka juga tidak memiliki akses memadai untuk layanan kesehatan dan kesempatan untuk berolah raga atau berada di udara terbuka.

“Tidak ada pembenaran untuk menahan para pengungsi dan korban perdagangan tanpa batas. Sayangnya, situasi inilah yang menimpa orang Rohingya di Thailand,” kata Smith.

“Sekarang saatnya bagi Thailand untuk mengakhiri praktik yang kejam ini dan memenuhi komitmennya untuk melindungi korban perdagangan manusia,” tegasnya.

Banyak dari warga Rohingya yang ditahan di ‘Negeri Gajah Putih’ adalah korban perdagangan manusia yang melibatkan sindikat kejahatan transnasional. Dalam beberapa kasus, aparat pemerintah Thailand, Myanmar, dan Thailand ikut bermain.

Sejak Desember 2015, lebih dari 40 pengungsi Rohingya dan korban perdagangan manusia yang selamat menghilang dari tempat penampungan yang dikelola pemerintah dan sejumlah IDC di beberapa provinsi di Thailand Selatan. (T/P022/R050)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: Syauqi S

Editor: Rana Setiawan

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.