MUDIK DENGAN CARA-CARA UNIK

Sepada motor naik bus di terminal Mamboro, Palu (foto: Basri)
Sepada motor naik bus di terminal Mamboro, Palu (foto: Basri)

Oleh: Illa Kartila – Redaktur Mi’raj Islamic News Agency

Pemandangan eksodus menjelang yang tampak di terminal bus, stasiun kereta api, bandara dan pelabuhan, jalur Pantura dan jalur Selatan di Pulau Jawa yang padat sejak H-3 Idul Fitri 1436 H, sehingga puluhan ribu kendaraan mengantri belasan kilometer panjangnya di jalan tol, mungkin menginspirasi empat pemudik ini untuk pulang kampung naik sepeda.

Adalah Poetoet; Fifi; Ganjar; dan seorang gadis, Mayang yang tergabung dalam “Gowes Mudik” berniat pulang kampung untuk berlebaran dengan menyusuri jalur konvensional Pantai Utara. Mereka berangkat Jumat (10/7) malam dari Jakarta.

Meski kota tujuan mudik mereka berbeda: Putut ke Madiun, Ganjar ke Cirebon, dan Fifi ke Yogyakarta dan Mayang ke Surabaya, tetapi mereka sepakat bareng berangkat dari Jakarta Jumat (10/7) malam menggunakan sepeda melewati jalur utara dan menempuh jarak ratusan hingga ribuan kilometer dalam kondisi berpuasa.

Bagi Poetoet, ini adalah tahun keempat mudik menggunakan sepeda. Dia sudah memulainya sejak tahun 2012 bersama satu orang rekannya. “Saya mulanya terinspirasi dari teman tersebut.  Waktu itu cuma berdua, dan saya berharap semakin tahun makin banyak yang mudik dengan sepeda.”

Rombongan Poetoet rencananya akan menempuh lima etape antara lain Jakarta-Cikampek, Cikampek-Cirebon, Cirebon-Batang/Pekalongan, Batang/Pekalongan-Temanggung/Klaten/Yogyakarta, dan Klaten-Sidoarjo. “Tapi nanti bisa berubah, biasanya kami suka coba-coba rute. Pastinya, kami suka cari tanjakan.”

“Saya paling favorit di rute Batang-Temanggung karena tanjakannya keren,” katanya sambil menambahkan, peralatan yang mereka bawa pun tidak banyak seperti peralatan salat, jersey, obat-obatan, dan ban cadangan.

Sementara itu, Mayang yang merupakan perempuan satu-satunya akan menempuh sekitar 1.000 km, jarak terjauh dari teman-temannya. Sebelumnya, gadis berusia 20 tahun itu telah menjajal perjalanan bersepeda dari rumahnya di Sidoarjo ke Jakarta hanya seorang diri. “Saya ingin menginspirasi teman-teman. Saya mau buktikan sesuatu tidak hanya ke lingkungan sekitar tetapi juga ke orang-orang Indonesia.”

Baca Juga:  Protes Mahasiswa Pro-Palestina Menyebar di Eropa

Menurut Poetoet untuk sampai di jalur utama Pantura Ciasem, Subang mereka harus beristirahat dua kali. “Pertama di Kosambi, Karawang, dan yang kedua di Ciasem.”

Poetoet dengan sepedanya dalam perjalanan mudik (foto: simomot.com)
Poetoet dengan sepedanya dalam perjalanan mudik (foto: simomot.com)

Perjalanan mudiknya ke Madiun yang berjarak 800 kilometer dari Jakarta itu, diperkirakan akan memakan waktu 96 jam atau empat hari. Ia optimistis akan sampai di kampung halamannya hari Selasa, 14 Juli 2015, dua hari menjelang Lebaran jika jatuh pada Jumat, 17 Juli 2015.

Optimisme juga dilontarkan penggowes lainnya, termasuk Mayang. “Harus optimistis, dan saya pikir saya kuat (untuk sampai di tujuan),” ujarnya.

Selama perjalanan Jakarta-Ciasem, nyaris tak ada hambatan bagi rombongan itu, karena setelah beroperasinya ruas Jalan Tol Cikopo-Palimanan (Cipali), arus kendaraan—terutama kendaraan pribadi dan angkutan umum—yang melewati jalur Pantura sepi. Jadi kondisi jalanan pun aman untuk dilalui para penggowes itu.

Selama dalam perjalanan menyusuri jalur Pantura tersebut, mereka memanfaatkan waktu istirahat–termasuk bermalam–di masjid. “Kami sepakat jika malam beristirahat (tidur) di masjid-masjid besar yang kami lalui,” kata Poetoet.

Lansia dengan sepeda ontel      

Bertemu keluarga di kampung halaman setelah lama merantau adalah  hal yang paling ditunggu terutama saat lebaran. Kasan Miarja (70), memilih mudik menggunakan sepeda ontel – untuk keempat kalinya – dari Depok menuju Purbalingga.

Baca Juga:  [POPULAR MINA] Serangan ke Rafah dan Aksi Muhammadiyah

“Saya berangkat sendirian melalui jalur Pantura. Istirahat pertama di Cirebon semalam, Prupuk semalam, tidurnya di Polsek dan mushola,” kata Kasan Miarja yang ditemui Rabu (15/7). Saat dia beristirahat di Purwokerto sebelum melanjutkan perjalanan menuju Purbalingga yang hanya tersisa 15 Km.

Kasan berangkat dari Situ Babakan Depok, Jawa Barat selama tiga hari dua malam menuju Desa Kalimanah Wetan, Purbalingga, Jawa Tengah. Tidak ada yang istimewa dari sepeda ontelnya. Sebuah poster berbahan kardus dia pasang di bagian belakang sepeda bertuliskan ‘Mudik Jakarta Purbalingga’. Pada bagian atasnya terikat bendera merah putih berukuran sedang.

Menurut Kasan, selama perjalanan dari Jakarta menuju kampung halamannya, dirinya tidak menemui sedikit hambatan di perjalanan. “Selama perjalanan tidak ada kendala, aman, ban sepeda juga tidak bocor. Ini sendirian tidak ada teman.”
Buruh bangunan yang bekerja di Jakarta itu mengaku mudik dengan sepeda karena hobi dan kecintaannya pada sepeda. “Di Jakarta juga saya sehari-hari naik sepeda. Saya akan  kembali ke Jakarta seminggu setelah lebaran.
Kepulangannya kali ini untuk bertemu dengan saudara serta anak-anaknya yang selama ini bekerja di Surabaya. “Saya ingin melihat anak-anak saya kumpul di rumah, saudara-saudara saya juga kumpul,” kata pria baya itu.

Sepeda motor naik bus

Di Palu, Sulawesi Tengah, ada cara mudik yang unik dilakukan oleh para pengemudi sepeda motor. Sepeda motornya tidak dikendarai melainkan diangkut oleh bus bersama pemiliknya menuju kampung halaman.
Caranya, empat motor diletakkan bersusun di sebuah rak dari besi dan kayu di bsagian belakang bus , lalu diikat dengan sebuah tali agar kuat. Jenis motor itu beragam mulai dari bebek, motor lama hingga  motor keluaran baru.
Selain pemudik yang sekaligus membawa motornya ikut mudik, ada juga yang hanya menitipkan motornya.

Baca Juga:  [POPULAR MINA] Serangan ke Rafah dan Aksi Muhammadiyah

Basri tidak mengetahui tarif jasa penitipan motor tersebut. “Kalau tiket enumpang bus dari Palu ke Banjai Rp170 ribu per orang.”

Ke Pontianak lewat Batam

Lain lagi dengan pengalaman sorang penumpang pesawat yang mudik ke Pontianak selain karena lebaran juga untuk melepaskan diri dari debu vulkanik di Bali yang disemburkan gunung Raung, malah disambut kabut asap di kampung halamannya.

Kisah Dwi Suprapti, warga Kalimantan Barat berawal sejak ditutupnya Bandara Ngurah Rai, Jumat (10/7) karena letusan Gunung Raung. Meskipun beberapa rekan kantornya yang hendak berangkat ke Jakarta, penerbangannya ditunda, “saya memilih bertahan di Bandara Ngurah Rai dan membeli tiket untuk pulang Minggu sore dengan harapan bandara sudah aktif kembali.”

Ternyata hari Minggu bandara masih ditutup hingga pukul 16.00 Wita baru dibuka kembali.  Pendek cerita, perjalanan Dwi dari Denpasar ke Pontianak menjadi dua hari, karena penundaan penerbangan ke Supadio akibat kabut asap.

Staf Ahli Bandara Supadio Pontianak, Syarif Usmulyani membenarkan adanya penundaan kedatangan maupun keberangkatan pesawat karena kendala kabut asap. Jarak pandang yang tidak ideal serta beresiko dan tentu saja tidak memungkinkan pesawat untuk mendarat.

“Jarak pandang di pagi hari hanya berkisar 400-500 meter saja. Kondisi demikian tentu saja tidak memungkinkan pesawat untuk melakukan pendaratan. Karena standar daripada pendaratan jarak pandang itu harus berada minimal 1,2 hingga 1,5 kilometer,” ujarnya.

Masalah tak sampai di situ, sebelum sampai di kampung halamannya, gadis itu terpaksa terbang dulu ke Batam, karena ada masalah teknis di bandara Supadio. Jadilah mudiknya kali ini menjalani “rute baru” Denpasar-Jakarta-Batam-Pontianak dan lepas dari abu vulkanik kemudian terperangkap dalam kabut asap. (R01/P001/ P2)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0