Oleh:Rifa Berliana Arifin, Kepala Redaksi Bahasa Arab MINA
Besok tanggal 14 Mei 2023, rakyat Turkiye akan memilih pemimpin baru untuk memimpin negara mereka. Pemilihan kali ini berbeda dari sebelumnya karena menggabungkan pemilihan presiden dan parlemen dengan pemilihan calon presiden yang terpisah.
Sistem ini diperkenalkan oleh Presiden Turkiye saat itu, Recep Tayyip Erdogan, setelah upaya kudeta yang gagal pada tahun 2016 dengan tujuan memberikan kekuasaan yang lebih luas kepada presiden terutama dalam mengendalikan militer melalui sebuah komite yang dipimpin oleh presiden itu sendiri.
Sistem ini telah menghadapi banyak penentangan karena khawatir akan membawa Turkiye ke pemerintahan otoriter dengan memusatkan kekuasaan pada presiden.
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
Pemilihan ini tidak hanya akan menentukan siapa presiden yang akan memimpin Turkiye, tetapi juga arah kebijakan negara dalam berbagai aspek seperti kebijakan luar negeri, ekonomi, dan lainnya. Mungkin ini merupakan tantangan terbesar bagi Erdogan, yang telah menjadi pemimpin terpanjang di Turkiye dalam era modern pasca jatuhnya Kekhalifahan Utsmaniyah pada tahun 2002 hingga sekarang.
Isu ekonomi, tingginya biaya hidup, peluang kerja, pengungsi terutama akibat perang di Suriah, dan kebijakan luar negeri akan menjadi pertimbangan utama bagi rakyat Turkiye dalam pemilihan ini.
Berdasarkan pengamatan penulis terhadap beberapa fakta dan informasi dari kolega di Turkiye, Erdogan masih menjadi pilihan banyak rakyat Turkiye karena kepribadian dan karisma politiknya dibandingkan lawan-lawannya. Namun, partai yang dipimpinnya, Partai AK, akan menghadapi tantangan yang sulit karena isu-isu nepotisme, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan.
Berdasarkan pembacaan, Erdogan masih lebih populer daripada calon lawannya, Kemal Kilicdaroglu, meskipun popularitas Erdogan menurun terutama setelah gempa bumi yang melanda bagian utara Turkiye pada bulan Februari tahun ini.
Baca Juga: Daftar Hitam Pelanggaran HAM Zionis Israel di Palestina
Partai oposisi, khususnya menyerang pemerintah Turkiye karena gagal mengatasi pasca-bencana terutama bagi korban yang kehilangan tempat tinggal, serta menekankan isu biaya hidup dan pengungsi perang terutama dari Suriah sebagai ‘senjata’ utama untuk mendapatkan dukungan rakyat dalam pemilihan ini.
Salah satu aspek penting dari dukungan rakyat Turkiye terhadap calon presiden dan koalisi partai adalah kecenderungan kelompok-kelompok Islam. Partai Saadet, yang merupakan partai Islam terbesar, memutuskan untuk bergabung dengan kelompok oposisi untuk melawan Erdogan.
Hal ini menyebabkan konflik internal dalam partai tersebut, sehingga sebagian anggota protes dengan memberikan dukungan kepada koalisi yang dipimpin Erdogan melalui partai baru yang didirikan oleh putra almarhum Prof. Necmettin Erbakan, yang dinamai sebagai Partai Refah Baru (New Welfare Party), mengambil nama dari Partai Refah yang dilarang saat Erbakan memimpinnya pada masa lalu.
Kebijakan luar negeri Turkiye di era Erdogan
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23] Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran
Salah satu topik yang mendapat perhatian dalam pemilihan ini adalah kebijakan luar negeri Turkiye, terutama jika Erdogan mengalami kekalahan. Apakah kebijakan ini akan berubah atau bagaimana kebijakan baru akan dirumuskan?
Dalam hal falsafahnya, terdapat perbedaan yang signifikan antara Erdogan dan lawannya, Kemal Kilicdaroglu. Erdogan terlihat sangat agresif dalam usahanya untuk membebaskan Turkiye dari ketergantungan pada Barat, baik dalam hal ekonomi maupun pertahanan. Di sisi lain, lawannya cenderung akan melanjutkan kebijakan yang mengikuti petunjuk dari Barat dan mengembalikan Turkiye ke masa lalu seperti era 1970-an dan 80-an.
Dalam konteks hubungan Turkiye dengan Rusia, Erdogan terlihat lebih fleksibel dan dekat dengan Rusia, terutama setelah upaya kudeta yang gagal pada tahun 2016. Pendekatan Erdogan ini bertujuan untuk menyeimbangkan kekuatan Barat dan membuat Turkiye bebas dari pengaruh Barat.
Hal ini menguntungkan Turkiye karena sebagian besar wilayah di Rusia atau yang berada di bawah “payungnya” adalah negara-negara Muslim dan memiliki hubungan yang erat dari segi agama, suku, budaya, dan bahasa dengan Turkiye, seperti Kazakhstan, Uzbekistan, Kyrgyzstan, Turkmenistan, dan Azerbaijan.
Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam
Sejak Erdogan berkuasa pada tahun 2002 hingga saat ini, pemerintahan Turkiye telah melalui beberapa fase dalam hubungan luar negeri dengan pihak lain. Mulai dari tahun 2002 hingga 2011, Turkiye mengadopsi sikap yang baik terhadap semua pihak, terutama dalam hubungan diplomatik dengan Israel yang kemudian dihentikan pada tahun 2010, dan Turkiye membuka pintu lebar bagi pengunjung dari negara-negara tetangga, terutama Iran, Suriah, dan negara-negara Arab lainnya dengan tidak memerlukan visa.
Setelah terjadi Arab Spring pada tahun 2011, Turkiye mengubah kebijakan luar negerinya dengan cara yang agresif, mendukung kebangkitan rakyat yang berhasil menggulingkan pemerintah boneka Barat di negara-negara Arab, dan kemudian memutuskan hubungan diplomatik dengan Mesir dan Suriah setelah kudeta terhadap Presiden Mohammed Morsi oleh Jenderal Abdel Fattah el-Sisi dan perang yang sedang berlangsung di Suriah hingga saat ini.
Pada saat yang sama, Turkiye menjauhkan diri dari Iran, yang dilihat sebagai sekutu dekat Suriah. Pendekatan ini meningkatkan popularitas Erdogan di mata umat Arab dan umat Islam secara umum, tetapi juga mempertahankan pandangan mereka yang menentangnya karena masih mempertahankan hubungan dengan negara yang dianggap haram, yaitu Israel.
Baru-baru ini, Erdogan menunjukkan sikap yang lebih lunak dalam penyelesaian konflik di Suriah dengan setuju untuk memulihkan hubungan diplomatik dengan Suriah yang sedang dalam proses pemulihan melalui upaya dari Rusia dan Iran.
Baca Juga: Pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina
Posisi Strategis Turkiye Bagi Dunia Islam
Pertama, posisi strategisnya menghubungkan benua Asia dan Eropa serta menjadi gerbang bagi negara-negara yang sedang bergejolak saat ini.
Kedua, sejarah politiknya yang besar, termasuk menjadi pusat pemerintahan Khilafah Islam Utsmaniyah selama ratusan tahun.
Ketiga, kekuatan militer yang kuat menjadi alat untuk menjaga kepentingan Barat di Timur Tengah melalui keanggotaannya dalam NATO.
Baca Juga: Peran Pemuda dalam Membebaskan Masjid Al-Aqsa: Kontribusi dan Aksi Nyata
Keempat, rakyat yang rajin, produktif, dan tidak kalah di Turkiye maupun di seluruh dunia, terutama di beberapa negara Eropa seperti Jerman, di mana lebih dari 4 juta orang Turkiye Muslim bekerja dan tinggal.
Karenanya, Barat sama sekali tidak akan membiarkan Turkiye bangkit karena kebangkitannya akan mengembalikan kejayaan peradaban Islam. Beberapa upaya telah dilakukan sebelumnya, tetapi semuanya mengalami kegagalan.
Pada tahun 1960, Perdana Menteri Adnan Menderes digulingkan oleh militer dan akhirnya dihukum mati karena dituduh ingin mengubah kebijakan sekularisme di Turkiye. Pada tahun 1997, Prof. Nejmuddin Erbakan diangkat menjadi Perdana Menteri melalui pemerintahan koalisi yang hanya bertahan selama setahun dan akhirnya juga digulingkan oleh militer.
Bukan hanya rakyat Turkiye, tetapi seluruh dunia, terutama dunia Islam, menantikan dengan penuh antusiasme siapa yang akan memimpin Turkiye setelah pemilihan nanti. Ini karena kepentingan Turkiye dalam geopolitik dunia, khususnya dalam menghadapi tantangan politik internasional saat ini.
Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga
Semoga Allah melindungi Turkiye dan rakyatnya serta memberikan pemimpin terbaik untuk memajukan Turkiye ke arah yang lebih baik. (A/RA1/P1)
Miraj News Agency (MINA)