Renungan H-6 Ramadhan :  Jangan Terpedaya Dunia

Oleh Ali Farkhan Tsani, Duta Al-Quds, Alumni Mu’assasah Al-Quds Ad-Dauly Sana’a, Yaman, Da’i Pesantren Al-Fatah Cileungsi, Bogor, Jabar

 

Pagi-sore, siang-malam, manusia-manusia sibuk mencari bekal dunia. Hatinya tergoda keinginan dan nafsu duniawi.

Jika manusia urusannya hanya mengejar dunia, menekuni dunia, menyibukkan diri dengan dunia, tanpa menghubungkannya dengan akhirat. Maka, urusan akhirat sudah pasti bukan menjadi perhatiannya.

Tandanya bisa dilihat, misalnya saat berniaga, presentasi dengan calon mitra bisnis, menerima tamu pejabat, sedang transaksi dolar, dan sebagainya. Lalu, datang seruan azan, dia tak bergeming. Itu sudah satu tanda.

Bukti lainnya, harta yang dikumpul-kumpulkannya di rekening bank, di tanah, di emas batangan, di deposito jangka panjang. Lalu, tak dikeluarkan zakat, infaq dan sedekahnya. Itu bukti lainya, bahwa ia telah terpedaya oleh dunia. Disadari atau tidak. Diakui atau tidak.

Ia mengira hartanya itu dapat membelanya di akhirat. Uangnya bisa menolongnya di hadapan siksaan Tuhannya.

Teguran Allah sungguh tegas dan keras:

اَلۡهٰٮكُمُ التَّكَاثُرُۙ‏ حَتّٰى زُرۡتُمُ الۡمَقَابِرَؕ

Artinya: “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (QS At-Takatsur : 1-2).

Begitulah sesuai namanya, dunia, dalam bahasa Arab, artinya rendah atau hina. Kehidupan dunia rendah dibandingkan akhirat. Orang bisa terhina kalau diperbudak dunia.

Imam Al-Ghazali dalam Kitab Minhajul Abidin mengibaratkan, dunia dan akhirat, bagai dua wanita yang dimadu. Jika seseorang dapat menggembirakan yang satu, pasti akan mengecewakan satunya. Jika ia cenderung pada salah satunya, makan tentu akan berpaling dari yang lainnya.

Bukan kita tidak perlu dunia tentunya. Namun bagaimana memprioritaskannya dan bagaimana menghubungkannya dengan benang merah ke akhirat.

Untuk itu, paling tidak ada dua kata kuncinya.

Pertama, bersifat zuhud terhadap dunia. Zuhud, secara bahasa artinya berpaling. Secara istilah Ibnu Qoyyim menyebutnya dengan meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat untuk kehidupan akhirat.

Dengan zuhud, maka kita akan merasa yakin bahwa rezki yang menjadi milik kita, tidak akan diambil orang lain, sehingga hati tenang dalam mencarinya. Dengan zuhud pula, kita merasa cukup dari harta yang halal.

Dengan zuhud, bukan berarti miskin, seseorang tidak mungkin akan mencuri, korupsi, manipulasi, mengambil riba, dan sejenisnya. Karena semua itu hanya khayalan ingin memperkaya diri, nafsu semata. Dan itu justru yang dikatakan sebagai “Orang Miskin”. Sebab nafsunya tidak pernah merasa cukup. Ia tidak pernah merasa kaya. Selalu merasa kurang dan kurang.

Sedangkan zuhud akan mendatangkan qana’ah, merasa cukup dengan pemberian yang halal dari Allah.

Kedua, dengan gemar berderma. Harta yang kita kumpul-kumpulkan, kita cari hingga lembur. Itu semua hakikatnya bukan harta kita. Tapi milik Allah yang dititipkan ke kantong dan rekening kita.

Lalu, kalau Allah menggerakkan seseorang untuk mengujinya, mendatanginya, memohon-mohon sedekahnya, mengajukan proposalnya, dan seterusnya. Jika kita masih berkeberatan, itulah tanda kita masih berat keduniaan. Padahal Allah hendak menambahkannya lagi dengan yang lebih banyak lagi berkah. Eh, kita malah maunya yang sedikit dan kurang berkah. Na’udzubillaah.

Terlebih pada masa pandemi wabah Corona (Covid-19) saat ini. Orang yang mampu mengendalikan nafsu dunianya adalah mereka yang mau berbagi dengan sesama yang membutuhkan.

Jika ia punya produk yang sangat diperlukan, entah itu sembako, makanan, masker, bahan herbal, hand sanitizer, dll. Ia tidak akan menjualnya lebih mahal dari biasanya. Minimalnya sama. Jika cinta akhirannya lebih, justru ia akan memberikan diskon wabah. Atau lebih ekstrem lagi ia mensedekahkannya ke sebanyak mungkin pemberi manfaat.

Apakah ia merugi? Ya, dari sudut materialisme, uangnya berkurang memang. Namun dari sisi pahala di sisi Tuhannya. Ia justru meraih keuntungan berlipat ganda. Kelak Allah akan gantian menolongnya saat dalam kesempitan, atau setelah selesai wabahnya.

Nah, bulan suci Ramadhan sebentar lagi hadir di halaman rumah kita. Dengan puasa pengendalian makan, minum dan hawa nafsu, akan menjadi wahana terbaik bagi kita untuk mengarahkan jiwa ke akhirat dan tak perlu takut kehilangan dunia. Bulan Al-Quran yang akan menghubungkan setiap dunia kita dengan kepentingan utama akhirat.

Maka, semakin kuatlah kita bermunajat, “Ya Allah berilah kesempatan kami menjemput dan menjamu bulan suci Ramadhan dengan amaliyah-amaliyah terbaik kami.” Aamiin Yaa Robbal ‘Aalamiin. (A/RS2/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.