“SRIKANDI” RISMA AKHIRI RIWAYAT LOKALISASI DOLLY

TRI RISMAHARINI
Walikota Surabaya Tri Rismaharini (Gambar: kitadankota.wordpress.com)
Walikota Surabaya Tri Rismaharini (Gambar: kitadankota.wordpress.com)

Oleh: Rudi Hendrik, reporter Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Pada Rabu malam, 18 Juni 2014, “Deklarasi Penutupan Lokalisasi Dolly” dibacakan di  Gedung Islamic Center Surabaya oleh 107 warga dari kelurahan yang menjadi tempat lokalisasi di Kelurahan Putat Jaya, Kec. Sawahan. Islamic Center  berjarak sekitar 1 km dari Dolly.

Acara itu dihadiri oleh Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri, Gubernur Jawa Timur Soekarwo, Walikota Surabaya Tri Rismaharini, dan lebih dari 1000 umat Islam yang mendukung langkah penutupan.

Warga lokalisasi yang hadir menandatangani deklarasi yang berisi pernyataan dukungan terhadap penutupan kawasan bisnis prostitusi Dolly.

Di waktu yang sama, di Gang Dolly sendiri, tampak sunyi oleh hingar-bingar berbagai macam musik wisma remang-remang yang biasa tercipta setiap malam, hanya sekelompok lelaki yang terus berjaga dan tetap memblokade tujuh jalan masuk ke lokalisasi.

Etalase kaca, yang biasa memajang para pekerja seks komersial berpakaian minim, kosong dan gelap. Para mucikari tak lagi sibuk bertransaksi dengan para tamu sambil memencet kalkulatornya. Sementara, warga menutup rumah dan toko serta memantau berita dengan memendam rasa khawatir kericuhan bakal terjadi. Suasana mencekam.

Media daerah, nasional bahkan dunia, menjadikan langkah berani Walikota Surabaya Tri Rismaharini ini sebagai sorotan utama. Bukan hanya warga Dolly khususnya, warga Surabaya hingga rakyat Indonesia, tertarik untuk mengikuti berita perkembangan penutupan lokalisasi yang konon terbesar se-Asia Tenggara, lebih besar daripada lokalisasi Geylang di Singapura dan Phat Pong di Thailand.
Hebohnya disorot media dunia

Penutupan Gang Dolly yang beroperasi sejak 1967, tak mudah. Diwarnai kontroversi sengit dan penolakan baik dari PSK, mucikari dan warga yang mengais penghasilan dari bisnis haram tersebut.

Upaya yang dilakukan Pemerintah Kota Surabaya juga menjadi sorotan dunia. Sejumlah media asing ikut memberitakan.

Saputra, anggota Front Pekerja Lokalisasi (FPL), mengaku, beberapa kali melayani wawancara dari sejumlah media asing. Setidaknya, ada tujuh negara yang telah diberikan izin untuk meliput segala bentuk berita di lokalisasi itu.

“Ada tujuh media dari tujuh negara yang datang meliput, yakni Belanda, Inggris, Jerman, Aljazirah, Australia, Perancis, dan Amerika. Saya lupa nama medianya satu persatu,” kata pria yang juga Koordinator Komunitas Pemuda Independen (KOPI) di lokalisasi Dolly, Selasa, 17 Juni.

Situs Radio Australia pada 19 Juni 2014 mengangkat artikel berjudul ‘Sex workers protest shutdown of Surabaya’s “Dolly” red-light district’, yang menceritakan penentangan mereka yang mencari nafkah dari prostitusi atas penutupan kawasan lampu merah di Kota Pahlawan.

Media Amerika Serikat (AS) The Washington Post juga menulis bahwa penutupan Dolly di Surabaya disertai oleh protes dari para pekerja seks komersial yang menganggap pemerintah menghancurkan mata pencaharian mereka.

Washington Post juga menyinggung bahwa meski mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim yang melarang perzinaan, bisnis prostitusi tetap beroperasi secara terbuka di kota-kota besar di Indonesia. Hal ini kontradiktif dengan kaum Islam konservatif di Indonesia yang ingin menggantikan sistem yang cenderung sekuler di Indonesia dengan hukum yang lebih Islami.

Sementara media Malaysia, Free Malaysia Today, menulis betapa lokalisasi prostitusi Dolly selama ini tidak pernah disentuh oleh aturan pemerintah. Baru kali ini di bawah tangan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini –yang dijuluki media itu sebagai ‘crusading mayor’, kompleks bordil Dolly ditutup walau ada perlawanan sengit dari PSK dan sejumlah aktivis.

Free Malaysia Today juga menggambarkan penampilan Risma yang mengenakan jilbab, busana khas wanita Muslim. Risma, tulis media itu, juga diprediksi memiliki peran penting di kancah politik nasional di masa depan.
Sejarah patah hatinya Noni Belanda

Ada beragam kisah terkait awal berdirinya Dolly. Antara lain yang menyebutkan bahwa nama Dolly diambil dari nama salah satu perintis usaha prostitusi—seorang perempuan keturunan Belanda bernama Dolly van de Mart. Ia membuka sebuah wisma dengan perempuan-perempuan cantik yang utamanya digunakan untuk melayani tentara Belanda ketika itu.

Hal itu ia lakukan karena rasa sakit hatinya akibat sering ditinggal pergi berlayar oleh sang suami yang merupakan pelaut Belanda.

Karena pelayanan yang memuaskan, para tentara pun kembali ke wisma itu. Bahkan, sejumlah masyarakat pribumi juga penasaran dengan pelayanan dan keberadaan perempuan di rumah bordil tersebut. Rumah bordil itu pun menjadi ramai.

Kisah lain yang hampir serupa menyebutkan, kompleks ini awalnya merupakan pemakaman Tionghoa meliputi wilayah Girilaya, berbatasan dengan makam Islam di Putat Gede. Kisah itu disebutkan pada buku berjudul Dolly: Membedah Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly oleh Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar, yang diterbitkan oleh Grafiti (1982). Awalnya, penelitian itu merupakan skripsi Tjahjo dari FIP Unair Surabaya yang kemudian dibukukan.

Pada tahun 1960-an, makam-makam tersebut dibongkar dan sebagian besar dijadikan permukiman. Sekitar tahun 1966, muncullah para pendatang yang kemudian menetap di kawasan itu. Dan tercatat pada 1967, datang seorang mantan pelacur berdarah Jawa-Filipina bernama Dolly Khavit atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tante Dolly. Ia menikah dengan pelaut Belanda dan mendirikan rumah bordil pertama di jalan yang sekarang bernama Kupang Gunung Timur I.

Keberadaan rumah pelacuran itu banyak membuat orang penasaran. Bahkan, sosok Tante Dolly juga membuat banyak lelaki hidung belang datang ke tempat tersebut. Seiring berjalannya waktu, banyak orang yang mendirikan usaha di sekitar wisma milik tante Dolly.

Kawasan itu kemudian dikenal dengan sebutan Gang Dolly yang juga bersebelahan dengan kawasan prostitusi Jarak. Namun, nama Dolly-lah yang lebih santer. Puluhan wisma bermunculan mulai dari sisi jalan sebelah barat, lalu meluas ke timur, hingga mencapai sebagian Jalan Jarak.

Menurut cerita, keturunan tante Dolly juga masih ada yang tinggal di Surabaya, namun tidak lagi melanjutkan bisnis tersebut.

Selain lokasi yang strategis, cara menjajakan pelacur di tempat ini juga cukup dramatis sehingga menjadikan Dolly sangat terkenal. Para pemuas nafsu itu akan dipajang di ruangan berkaca layaknya etalase. Dengan begitu, lelaki yang datang akan bebas memilih dengan siapa ia mau ditemani.

Perempuan itu yang pertama kali mendirikan rumah bordil di sana. Uniknya, ia enggan dipanggil “mami”, tapi lebih suka dipanggil “papi”– sebagaimana layaknya germo pria.

Karena dianggap sebagai perintis, Dolly dipakai sebagai nama kompleks secara keseluruhan. Tentu saja, nama tidak resmi, tumbuh dari mulut ke mulut.

Karena bekas makam, banyak cerita klenik yang berkembang pada awalnya. Menurut para penghuni, rumah-rumah di Dolly banyak yang angker. “Sering muncul roh-roh halus di tengah malam. Pelacuran bertetangga dengan roh, tentulah para roh penasaran,” tulis Tjahjo dan Ashadi.

Kisah melegenda Dolly kini  akan tinggal cerita. Sebab Wali Kota Surabaya yang disebut “Srikandi” oleh Mensos Salim Segaf, telah menutup lokalisasi ini pada 18 Juni 2014.

Kawasan itu akan diubah menjadi gedung enam lantai sebagai pusat ekonomi di Surabaya. Meski begitu, penolakan terus saja terjadi hingga detik-detik dilakukan pengumuman penutupan Dolly.

Solusi untuk PSK dan warga Dolly

Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri berikan bantuan secara simbolis kepada mantan PSK Dolly (Gambar: Surya Images/Ahmad Zaimul Haq)
Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri berikan bantuan secara simbolis kepada mantan PSK Dolly (Gambar: Surya Images/Ahmad Zaimul Haq)

Kompensasi atau bantuan keuangan untuk PSK dan warga Dolly dibagikan secara simbolis pada malam deklarasi.

Walikota Surabaya mengatakan, pemberian kompensasi dilakukan kepada para PSK di lokalisasi selama lima hari, mulai Kamis, 19 Juni, sehari setelah deklarasi penutupan pusat “pasar syahwat” itu.

Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri secara simbolis memberikan bantuan kepada Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini berupa uang sejumlah Rp 7.313.000.000 untuk diteruskan kepada 1.449 orang pekerja seks komersial (PSK). Nominal uang itu diberikan berwujud buku tabungan. Setiap PSK memperoleh sebesar Rp5 juta.

Sementara keluarga rentan atau mucikari diberi bantuan sebesar Rp1,55 miliar untuk 311 orang.

Namun sejumlah warga dan PSK di lima RW yang ada di Kelurahan Putat Jaya menyatakan tidak mau menerima kompensasi dari pemerintah, mereka menentang penutupan lokalisasi Dolly dan Jarak yang sudah menjadi sumber hidup dan penghasilan mereka selama berpuluh tahun.

Risma, panggilan akrab Walikota Surabaya, mengatakan bahwa uang bantuan akan dikembalikan ke kementerian dan ke gubernur jika ditolak. Menurutnya, mereka yang tidak mau menerima kompensasi karena diintimidasi.

Para PSK dan mucikari diberi bantuan untuk alih profesi. “Yang harus dipertahankan adalah sesuatu hal positif, kalau tidak positif tidak perlu dipertahankan,” kata Mensos Salim Segaf Al Jufri dalam sambutannya di Islamic Center Surabaya.

Selain itu, Pemerintah Kota Surabaya akan mempekerjakan 97 warga Dolly yang terdiri dari PSK, mucikari, serta warga terdampak penutupan lokalisasi Dolly dan Jarak.

Mereka akan bekerja sebagai tenaga kontrak, dan akan ditempatkan di sejumlah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemkot Surabaya.

“Mereka diberdayakan karena masih dalam usia produktif di bawah 45 tahun,” ujar Kepala Dinas Sosial Kota Surabaya Supomo, Kamis 19 Juni. Dia menambahkan, jumlah tenaga kontrak dari warga Dolly ini nantinya akan terus bertambah.

Supomo mengatakan, sejumlah SKPD telah siap memberdayakan warga terdampak lokalisasi Dolly dan Jarak, antara lain di Satuan Polisi Pamong Praja, Linmas, Dinas Kesehatan dan beberapa SKPD lainnya.

Kontrak kerja itu merupakan bentuk kepedulian dan keseriusan Pemkot Surabaya untuk mengatasi dampak dari penutupan lokalisasi Dolly dan Jarak. kontrak kerja akan diperbaharui setahun sekali.

Pemerintah sebelumnya mengatakan para PSK di Dolly dan Jarak memiliki risiko tertular HIV karena berdasarkan pemeriksaan dinas kesehatan dalam waktu tiga bulan terjadi peningkatan jumlah kasus dari 164 menjadi 218 orang.

Risma berjanji untuk menutup semua lokasi prostitusi di kota Surabaya.

Gubernur Jatim Soekarwo menyatakan Pemerintah Provinsi Jawa Timur mendukung penuh penutupan lokalisasi Dolly.

Ini Isi Deklarasi Penutupan Lokalisasi Prostitusi Dolly

Pembacaan Deklarasi Penutupan Lokalisasi Dolly di islamic Center Surabaya, 18 Juni 2014 (Gambar: Tribun News)
Pembacaan Deklarasi Penutupan Lokalisasi Dolly di islamic Center Surabaya, 18 Juni 2014 (Gambar: Tribun News)

Pemerintah Kota Surabaya resmi menutup kawasan prostitusi Dolly, 18 Juni 2014. Para pekerja seks komersial di Dolly akan diberi uang pesangon dan dibekali keterampilan untuk dapat hidup mandiri melalui kegiatan ekonomi produktif.

Penutupan Dolly digelar di Islamic Center Surabaya yang tak jauh dari Dolly. Berikut isi deklarasi yang diberi nama Deklarasi Warga Kelurahan Putat Jaya Kecamatan Sawahan untuk Alih Fungsi Wisma dan Alih Profesi Para Wanita Harapan:

Pertama, kami warga wilayah Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, Kota Surabaya, berkeinginan wilayah Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, menjadi wilayah yang bersih, sehat, aman, tertib, dan bebas dari lokalisasi prostitusi.

Kedua, wilayah Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan menjadi wilayah yang bermartabat dengan membangun usaha-usaha perekonomian yang sesuai dengan tuntutan agama dan peraturan yang berlaku.

Ketiga, kami mohon kepada aparat yang berwenang untuk menindak secara tegas para pelaku tindak kejahatan perdagangan orang, pelaku perbuatan asusila dan penggunaan bangunan untuk perbuatan maksiat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Keempat, wilayah Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, menjadi wilayah yang maju, aman dan tertib dengan mengharapkan bimbingan dan perhatian dari aparat keamanan, Pemerintah Kota Surabaya, Pemerintah Provinsi Jawa Timur, dan pemerintah pusat.

Deklarasi tersebut dibacakan di depan Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri, Gubernur Jawa Timur Soekarwo, Wakil Gubernur Saifullah Yusuf, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Kapolda Jawa Timur Irjen Polisi Unggung Cahyono dan Forum Pimpinan Daerah (Forpimda) Kota Surabaya.

Setelah membacakan deklarasi, sebanyak 107 orang warga menandatangani berita acara deklarasi, dilanjutkan dengan penandatangan nota kesepahaman rehabilitasi sosial pendidikan kesehatan dan pemeliharaan keamanan di wilayah bekas lokalisasi oleh dilakukan oleh Forpimda Kota Surabaya, yakni Wali Kota Surabaya, Korem 084 Bhaskara Jaya, Kapolrestabes Surabaya dan Garnisun Kota Surabaya. (P09/EO2)

 

Mi’raj Islamic News Aganecy (MINA)

Sumber: BBC Indonesia, Viva News, Liputan 6, OkeZone, National Geographic Indonesia.

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor:

Comments: 0