Tujuh Tahun Arab Spring dan Kesejahteraan Rakyat

Demonstrasi di Mesir. (Foto: dok. CNN)

 

Oleh Rudi Hendrik, jurnalis MINA

Tujuh tahun yang lalu, di sebuah kota kecil di Tunisia, seorang pedagang bernama Mohammed Bouazizi membakar dirinya sebagai bentuk protes terhadap kezaliman pemerintah.

Setelah itu, merebaklah demonstrasi rakyat besar-besaran di negara tersebut yang kemudian menjadi awal dari gerakan besar di negara-negara Arab yang disebut Arab Spring atau Pemberontakan Musim Semi Arab.

Sejak 18 Desember 2010 hingga 14 Januari 2011, demonstrasi di seluruh negeri akhirnya bisa memaksa tumbang penguasa Presiden Zaenal Abidine Ben Ali.

Semangat kesuksesan revolusi di Tunisa rupanya menjalar cepat ke negara Arab lainnya, seperti di Yordania, Aljazair, Yaman dan Mesir.

Demonstrasi di Yordania, memaksa pemerintah mengundurkan diri, sehingga Raja Abdullah II memerintahkan mantan Perdana Menteri dan Duta Besar Yordania untuk Israel, Marouf al-Bakhit, membentuk pemerintahan baru.

Di Aljazair, meski tidak menggulingkan pemerintah, tapi demonstrasi yang berkelanjutan memaksa pemerintah mencabut status darurat nasional yang berlaku seja tahun 90-an.

Di Yaman, penguasa puluhan tahun di negara itu, Ali Abdullah Saleh, dipaksa mengundurkan diri dengan jaminan kekebalan hukum.

Di Mesir, setelah 18 hari demonstrasi akbar, Presiden Hosni Mubarak pun terjungkal dan setahun kemudian divonis penjara seumur hidup.

Baca Juga:  Ibadah Haji dan Kesatuan Umat Islam

Tidak cukup pada kelima negeri Arab tersebut. Arab Spring terus meluas melanda Sudan, Libya, Irak dan Suriah.

Demonstrasi di Sudan memaksa Presiden Omar Bashir berjanji untuk tidak menjabat kembali usai masa jabatannya, meski kemudian ia melanggar janjinya dan masih berkuasa hingga hari ini.

Sementara di Libya, penguasa Muammar Gaddafi menolak mundur, sehingga memicu perang saudara. Keterlibatan NATO dan Amerika Serikat pada akhirnya membunuh Gaddafi dan menghancurkan dinasti kekuasaannya.

Di Irak pun, demonstrasi memaksa Perdana Menteri Nouri al-Maliki berjanji tidak akan menjabat lagi.

Adapun Suriah, Presiden Bashar Al-Assad yang menolak mundur dan menindak keras para demonstran, membawa Suriah ke dalam perang saudara lebih dari enam tahun hingga sekarang.

Arab Spring seolah memberi pesan kepada dunia di tahun 2011, tumbangnya para penguasa menunjukkan keberhasilan gerakan rakyat. Namun, penguasa yang tidak mau mengalah, negaranya akan hancur seperti Libya dan Suriah.

Setelah tujuh tahun berlalu, benarkah Arab Spring yang merupakan gerakan rakyat, menuai keberhasilan? Ternyata tidak.

Demosntrasi besar-besaran rakyat kala itu memiliki tuntutan yang rata-rata sama, yaitu penguasa harus mundur, perbaikan ekonomi, turunkan harga kebutuhan pokok, atasi pengangguran, berantas korupsi, kebebasan bergerak, dan tuntutan lainnya. Pada intinya rakyat menuntut kesejahteraan di bawah pemerintahan yang baru setelah mereka merasa menderita di bawah pemerintahan yang berpuluh-puluh tahun berkuasa.

Baca Juga:  Tuntunan Doa Berlindung dari Empat Jenis Fitnah

Hanya sedikit dari negara-negara yang dilanda Arab Spring bisa melalui badai itu, sebab sejumlah negara ternyata hari ini bernasib tidak lebih baik dari tujuh tahun yang lalu. Sebutlah Suriah, Libya dan Yaman, yang kini harus bercucur darah berpatah tulang oleh perang. Sementara Mesir, hanya setahun merasakan demokrasi di bawah Presiden Muhammad Mursi, hingga kemudian kembali dipaksa berubah di bawah kekerasan penguasa militer.

Tunisia sebagai negeri pelopor dan meraih kesuksesan Arab Spring, kini kembali bergolak dengan demonstrasi di berbagai kota, seolah ingin mengulang masa lalu. Tuntutan mereka tidak jauh berbeda dengan tuntutan di masa lalu, yaitu masalah ekonomi dan kesejahteraan.

Ketika rakyat suatu negeri merasa sejahtera dan aman oleh pemerintahnya, potensi gejolak akan sangat jauh kemungkinan terjadi. Namun, pada dasarnya, para oknum penguasalah yang merusak amanah konstitusi sebuah bangsa dan negara dengan tidak melaksanakannya.

Sebutlah Indonesia, di dalam Undang-Undang Dasar 1945 terdapat sejumlah pasal yang menjanjikan kesejahteraan dan mimpi indah bagi rakyat. Namun, pasal-pasal yang merupakan amanah bagi aparatur negara itu telah dikhianati hingga kini.

Baca Juga:  Ini 7 Alasan Israel Ingin Serang dan Kuasai Rafah

Di dalam UUD 1945 Bab X Warga Negara dan Penduduk, di Pasal 26 ayat 3 disebutkan, “Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang.”

Pasal 27 ayat 1 disebutkan, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Pasal 27 ayat 2 disebutkan, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”

Pasal 33 ayat 3 berbunyi, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Ayat 34 berbunyi, “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara.”

Dan banyak lagi pasal-pasal yang jika dilaksanakan oleh para pengemban kekuasaan, maka rakyat akan sejahtera dan hidup damai seperti yang selama ini kita impikan.

Namun, semua pasal dan ayat kesejahteraan di dalam UUD 1945, hanya tulisan yang disepakati yang kemudian menjadi mitos bagi rakyat Indonesia. Rakyat seperti pungguk merindukan bulan dan jauh panggang dari api.

Kondisi yang terjadi di Indonesia, tidak jauh berbeda dengan negeri-negeri lain yang dibangun pada awalnya dengan mimpi menjadi suatu bangsa yang damai dan sejahtera. Namun, mimpi kesejahteraan itu harus pupus ditelah oleh pengkhianatan para kaum penguasa yang pada akhirnya hanya mementingkan uang dan tahta. (A/RI-1/RS2)

Mi’raj News Agency (MINA)