Lima Serangan Pedas Iran Balas AS

Oleh: Rudi Hendrik, wartawan Mi’raj News Agency (MINA)

 

Kepemimpinan Donald Trump sebagai Presiden (AS) membuat permusuhan dengan kian meruncing, setelah di era Barack Obama mereda dengan disepakatinya perjanjian nuklir Teheran di Wina pada tahun 2015.

Perundingan antara Iran dan enam kekuatan dunia – Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Cina, Rusia dan Jerman – dimulai pada tahun 2006.

Kelompok P5+1 menginginkan Iran mengurangi kegiatan nuklir yang merupakan isu peka untuk memastikan negara tersebut tidak bisa membuat senjata nuklir.

Iran yang menginginkan sanksi internasional yang melumpuhkannya dicabut, selalu mengatakan kegiatan nuklirnya untuk tujuan damai.

Dengan kesepakatan itu, dicabut, sebagai imbalannya, Teheran membatasi pengayaan uraniumnya dan memberi izin kepada badan pengawas untuk meninjau program nuklirnya.

Namun, semua berubah menjelang masa perbaharuan kesepakatan pada 12 Mei lalu. Trump berulang kali dan dengan keras mengecam kesepakatan nuklir yang dinilainya lemah, dinegosiasikan dengan buruk, dan ‘gila’.

Sekutu Eropa AS pun gagal membujuk Trump untuk tetap bertahan di dalam kesepakatan itu.

Pada hari Selasa, 8 Mei 2018, Trump secara sepihak mengumumkan dengan resmi keluarnya AS dari kesepakatan nuklir Iran.

Dengan keluarnya AS, maka administrasi Trump pun segera menyiapkan penerapan sanksi terbaru bagi Iran.

Melalui Menteri Luar Negeri Mike Pompeo, AS mengumumkan akan menerapkan “tekanan keuangan yang belum pernah terjadi sebelumnya” terhadap Iran dengan “sanksi terkuat dalam sejarah”, jika Teheran tidak mengubah arah.

Dalam pidato kebijakan luar negeri pertamanya sejak ia menjabat, Senin, 21 Mei, Pompeo melontarkan kecaman terhadap Iran.

Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo. (Foto: dok. Breaking News)

Berbicara di Heritage Foundation, Pompeo mengatakan, AS akan memastikan Iran tidak memperoleh senjata nuklir.

Dia juga bersumpah bahwa AS akan “menghancurkan” proxy Iran di seluruh dunia, termasuk Hizbullah Lebanon.

AS pun mengancam sanksi terhadap perusahaan-perusahaan Eropa yang bekerja sama dengan Iran.

Barack Obama segera mengkritisi keputusan Trump. Ia menyatakan kekhawatirannya bahwa keputusan Trump tidak hanya merenggangkan hubungan AS dengan sekutunya di Eropa, tapi juga berpotensi menyebabkan perang lain di Timur Tengah.

“Karena itu, saya menyebut keputusan yang dibuat hari ini (8 Mei) adalah sesat,” kata Obama.

Menentang langkah Washington, Uni Eropa meluncurkan “UU pemblokiran” yang membuat sanksi dan ketetapan AS terhadap Iran tidak bisa mempengaruhi negara-negara anggota Uni Eropa. Mereka memilih untuk tetap setia mempertahankan kesepakatan nuklir tersebut.

Pompeo kemudian menguraikan 12 tuntutan kepada Pemerintah Iran agar AS mengakhiri sanksi serta memulihkan hubungan diplomatik dan komersial.

Sanksi itu di antaranya mengakhiri dukungan Iran kepada pemberontak Houthi Yaman dan Hizbullah Lebanon, menarik pasukan yang didukung Iran di Suriah, perlucutan senjata milisi yang didukung Iran di Irak, membebaskan warga AS yang ditahan di Iran, mengakhiri pengayaan uranium dan menghentikan program rudal balistiknya.

Termasuk Iran harus menyediakan akses bagi Badan Energi Atom Internasional (IAEA) di seluruh negeri untuk inspeksi.

Lima serangan balik Iran untuk AS

Dalam menanggapi ancaman sanksi baru dari AS yang katanya akan menjadi terkuat dalam sejarah, Iran telah tampil dengan tanggapan kreatifnya sendiri melawan Donald Trump.

Pertama, “Iran akan berunding dengan dua kekuatan super dunia, Rusia dan Cina.”

Presiden Rouhani menyampaikan pukulan menyengat itu dalam sebuah pernyataan segera setelah Trump mengumumkan keputusannya untuk menarik diri dari kesepakatan nuklir.

Kedua, Komandan Militer Iran Muhammad Bagheri menyebut para pemimpin AS “tidak setia, kejam, kriminal, terisolasi, pemarah, korup.” Komentar pedas itu menanggapi ancaman yang dikeluarkan oleh Pompeo terkait sanksi untuk Teheran.

Bagheri menyebut Washington tidak cukup berani untuk menghadapi militer Iran.

Ketiga, seorang penasihat militer yang menolak ancaman Pompeo mengatakan, “Orang-orang Iran akan memberikan pukulan kuat kepada mulut Menteri Negara Amerika dan siapa saja yang mendukungnya.”

Keempat, Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei membaca buku tentang Presiden Trump.

Setelah Trump bersumpah untuk menerapkan kembali sanksi yang lebih keras terhadap Iran daripada sebelumnya, Khamanei mengunggah snap Instagram kepada dua juta pengikutnya yang menunjukkan dia dengan santai membaca terjemahan Persia dari buku “Fire and Fury: Inside the Trump White House“.

Buku karya Michael Wolff yang kontroversial itu menggambarkan Gedung Putih di bawah Trump dalam keadaan kekacauan yang konstan.

Kelima, “Trump akan dimakan oleh cacing”. Ayatollah Khamenei mengakhiri pidato panjangnya dengan sebuah serangan menyengat melawan Trump.

“Tubuh Trump akan dimakan oleh cacing dan hewan pengerat,” kata Khamenei. “Tetapi Republik Islam masih akan berdiri, lebih kuat dari sebelumnya.” (A/RI-1/B05)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor: Zaenal Muttaqin

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0