BRWA: 1.119 Peta Wilayah Adat Telah Teregistrasi Dengan Luas 20,7 Juta Hektar

Jakarta, MINA – Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) rutin memperbarui data “Status Pengakuan Wilayah Adat di Indonesia” dua kali dalam setahun, yaitu pada momentum Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara pada Maret dan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia pada Agustus ini.

Divisi Data dan Informasi BRWA Ariya Dwi Cahya menjelaskan, pembaruan data tersebut diperoleh dari pengolahan data yang tercatat dalam Sistem Registrasi Wilayah Adat BRWA. Sistem ini meliputi tahapan pencatatan data, registrasi, verifikasi, dan sertifikasi wilayah adat.

Dia juga mengatakan, dibandingkan dengan data pada Maret lalu, terjadi kenaikan luas registrasi wilayah adat 3,1 juta hektar. Kenaikan terbesar berasal dari Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara seluas 2,1 juta hektar dan Kabupaten Jayapura, Papua sekitar 0,9 juta hektar. Selebihnya berasal dari daerah lain.

“Pada Agustus ini BRWA telah meregistrasi 1.119 peta wilayah adat dengan luas mencapai 20,7 juta hektar. Peta wilayah adat tersebut tersebar di 29 Provinsi dan 142 kabupaten/kota,” jelas Ariya dalam keteranagn tertulisnya di Jakarta, Rabu (10/8).

Baca Juga:  Sedikitnya 30 Rohingya Tewas dalam Konflik Junta vs Militan di Myanmar

Dari data tersebut, lanjut dia, terdapat 189 wilayah adat dengan luas mencapai 3,1 juta hektar telah memperoleh pengakuan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) dan Surat Keputusan kepala daerah provinsi atau kabupaten/kota.

“Sedangkan yang belum memperoleh penetapan pengakuan wilayah adat masih sangat besar, yaitu sekitar 17,7 juta hektar. Dengan demikian baru 15% wilayah adat yang sudah diakui oleh pemerintah daerah,” ujar Ariya.

Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) adalah lembaga tempat pendaftaran (registrasi) wilayah adat. BRWA dibentuk tahun 2010 atas inisiatif Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Forest Watch Indonesia (FWI), Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK), dan Sawit Watch (SW).

Kepala BRWA Kasmita Widodo mengungkapkan, capaian pengakuan hak masyarakat adat atas hutan adat dan tanah ulayat oleh pemerintah pusat juga masih belum menggembirakan.

Baca Juga:  Roket Hezbollah Lebanon Kembali Hantam Situs Militer Zionis

“Dalam catatan kami, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) belum menerbitkan surat keputusan hutan adat lagi sejak terakhir diserahkan oleh Presiden di Danau Toba pada Februari lalu,” kata Kasmita.

Jadi, lanjut dia, capaian hutan adat masih berjumlah 89 hutan adat dengan luas mencapai 75.783 hektar. Informasi dari tim BRWA Kalimantan Barat, baru-baru ini KLHK telah melakukan verifikasi teknis terhadap hutan adat di Kabupaten Melawi dan Kabupaten Sintang di Kalimantan Barat.

“Namun, sampai pers rilis ini disebarkan, kami belum memperoleh informasi terbaru jumlah dan luasan hutan adat yang ditetapkan oleh KLHK,” tambah Kasmita.

Untuk pengakuan tanah ulayat atau pendaftaran tanah ulayat melalui mekanisme penatausahaan tanah ulayat masyarakat hukum adat masih belum dimulai oleh ATR/BPN.

“Kementerian ATR/BPN masih belum beranjak untuk menjalankan tugasnya melakukan pendaftaran tanah ulayat, padahal Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) seharusnya juga meliputi pendaftaran tanah ulayat,” ujar Kepala BRWA.

Baca Juga:  Tim Pencarian Tiba di Lokasi Jatuhnya Helikopter Presiden Iran

Selain itu, Kasmita menambahkan, ego sektoral antara KLHK, Kementerian ATR/BPN, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta jeratan peraturan-perundangan membuat urusan pendaftaran tanah ulayat ini tidak ada kemajuan sama sekali.

“Tidak mungkin masyarakat adat mendaftarkan tanah ulayat atau wilayah adat ke ATR/BPN hanya untuk yang berada di luar kawasan hutan. Jadi, masyarakat adat perlu menghadapi setidaknya tiga kementerian tersebut untuk pengakuan wilayah adatnya,” tambah Kasmita.

Dengan belum disahkannya RUU Masyarakat Adat, maka kerangka hukum dan kebijakan pengakuan masyarakat adat bertumpu pada UU sektoral dan kebijakan daerah dalam bentuk Perda dan keputusan kepala daerah.

Proses pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat ini melibatkan peran aktif para pihak, selain masyarakat adat itu sendiri. Oleh karenanya, peran pemerintah daerah dan pusat sangat krusial. Begitu pula peran para pendamping masyarakat adat dari organisasi masyarakat sipil dan akademisi.(R/R1/P2)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rana Setiawan

Editor: Widi Kusnadi