BUSANA MUSLIM PELUANG EKSPOR KE TIMTENG

Deputi Menko Perekonomian Bidang Industri dan Perdagangan Edy Putra Irawadi menyampaikan keynote speech Kebijakan Harmonisasi Tarif Bea Masuk pada Sosialisasi Kebijakan Penerapan Bea Masuk Sektor Industri di Kementerian Perindustrian Jakarta, 10 Februari 2011.
Deputi Menko Perekonomian Bidang Industri dan Perdagangan Edy Putra Irawadi menyampaikan keynote speech Kebijakan Harmonisasi Tarif Bea Masuk pada Sosialisasi Kebijakan Penerapan Bea Masuk Sektor Industri di Kementerian Perindustrian Jakarta, 10 Februari 2011. Foto: Kemenperin

Jakarta,22 Syawwal 1435/19 Agustus 2014 (MINA)Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian meyakini Usaha Kecil Menengah (UKM) Indonesia punya peluang besar masuk pasar Timur Tengah melalui hub di , .

Produk-produk bikinan Tanah Air yang sangat potensial di antaranya adalah busana muslim serta produk manufaktur untuk konsumsi sehari-hari, utamanya makanan olahan.

Deputi Menko Bidang Industri dan Perdagangan Edy Putra Irawady mengatakan baru-baru ini di Jakarta, produk Indonesia yang beredar di negara teluk itu masih kalah banyak dibanding Malaysia ataupun Singapura. Tapi varian produk dua negeri jiran itu sangat sedikit.

Menurutnya, itu peluang yang wajib diambil pengusaha Indonesia. “Kalau dari Malaysia dan Singapura di sana kebanyakan manufaktur biasa. Masih sangat kurang untuk busana muslim, kita bisa pasarkan, kemudian makanan olahan, lantas produk perikanan, di sana kan ikan dari Laut Mediterania, jenisnya tidak variatif, kayak ikan gabus semua, ini peluang buat kita,” kata Edy..

UKM akan sangat diuntungkan dengan pemasaran ke Dubai, karena di sana pengapalan hingga penyimpanan gudang cukup membayar biaya jasa, tanpa dikenai pajak atau bea masuk. Kecuali, bila perusahaan tersebut ingin memasarkan barang jadi ke pasar UEA, baru dikenai pajak final 6 persen. Itupun beban yang lebih murah dibanding pasar benua lain.

“Cuma 6 persen kalau di jual di dalam negeri mereka, karena di Dubai itu tidak dihitung bea masuk per komponen. Jadi justru cocok UKM kita ke sana jika kita berpikir ingin mengembangkan investasi yakni membangun usaha hilir di Dubai buat kepentingan ekspor,” ujarnya.

Selain busana muslim, yang disebut Edy sudah cukup dikenal di pasar internasional, UKM Indonesia yang tertarik ke Negeri Para Emir itu perlu juga memikirkan penjualan produk halalan Thayiban. Maksudnya, adalah produk-produk olahan yang dihasilkan dari produk yang tersertifikasi dan jelas muasalnya.

“Selama ini kan baru produk halal, sekarang harus masuk juga thayiban, misalnya kita jual furnitur ya kayunya harus tersertifikasi, bukan barang curian. Kebutuhan seperti itu besar di negara Timur Tengah, terutama furnitur,” katanya.

Kerja sama ekonomi Indonesia dan Uni Emirat Arab selama ini masih sangat minim. Nilai ekspor langsung ke negara teluk itu cuma USD 1,09 miliar tahun lalu. Selain itu, baru tiga perusahaan yang membuka kantor operasi di Otoritas Zona Bebas Jebel Ali (JAFZA) Dubai.

Edy meyakini, kerja sama itu bisa lebih besar lagi, bukan dari perdagangan langsung, tapi melalui pembukaan kantor cabang ekspor perusahaan asal Indonesia. Kalau ekspor kurang signifikan, karena JAFZA atau UEA itu bukan negara tujuan ekspor langsung. Mereka itu hub, jadi tujuannya memang untuk singgah sebentar sebelum ekspor.” (IK/Adryan Mohamad/Merdeka.com)

Wartawan: illa

Editor:

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0