Ibadah Qurban dan Teladan Nabi Ibrahim

Oleh : Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita MINA (Mi’raj News Agency)

Ketika kita berjumpa dengan Hari Raya atau Hari Raya , maka jiwa iman kita akan tertuju kepada ‘Alaihis Salam beserta keluarganya. Gambaran sebuah keluarga yang taat dan berbakti kepada Allah tanpa pernah menolak sedikitpun perintah-Nya. Sebuah keluarga yang saling menguatkan dan saling melengkapi dalam beribadah kepada-Nya.

Keluarga Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam tumbuh dalam suasana yang saling mengingatkan, saling menasihati, saling memberi dan saling menjaga agar senantiasa menjadi hamba-hamba-Nya. Mereka juga adalah gambaran keluarga yang sabar, tabah, dan kuat dalam menghadapi berbagai ujian dari-Nya. Sekaligus keluarga yang mampu menghadapi godaan syaitan dengan penuh tawakkal kepada-Nya.

Lihatlah bagaimana ketika Siti Hajar, isteri Nabi Ibrahim, dan puteranya, Ismail yang masih bayi, saat ditinggalkan tanpa siapa-siapa dan tanpa apa-apa di padang pasir di dekat Baitullah kala itu. Hanya dengan meninggalkan tempat makanan berisi sedikit kurma dan tempat minum berisi air.

Begitu Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam hendak berangkat kembali ke wilayah Masjidil Aqsha, Palestina, Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam meninggalkan keduanya di padang tandus. Siti Hajar bertanya-tanya, “Hendak ke manakah engkau wahai Nabiyullah Ibrahim? Engkau meninggalkan kami di lembah yang tiada siapapun atau apa pun?” Hajar mengulang pertanyaannya beberapa kali.

Saat itu Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam, hanya diam dan tetap terdiam tanpa jawaban. Padahal betapa Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam yang berhati lembut, penyantun lagi penuh kasih kepada keluarganya, isterinya dan anaknya Ismail yang masih bayi. Betapa ia tak kuasa menjawab pertanyaan itu dan tak tega melihat kedua manusia yang dicintainya itu, untuk memenuhi amanah, perintah Allah untuk berangkat dari Baitullah ke Al-Quds.

Lalu, dengan penuh keimanan pula, Siti Hajar pun akhirnya menyampaikan, “Apakah Allah yang menyuruh engkau berbuat demikian?” tanyanya. “Benar,” jawab Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam. Maka seketika, Siti Hajar pun menimpali dengan teguh, “Jika demikian, maka Allah tentu tidak akan menelantarkan kami.”

Belum selesai sampai di situ, beberapa hari Siti Hajar menyusui Ismail kecil dan minum dari tempat perbekalannya. Dan, setelah air itu habis, ia pun kehausan. Demikian pula anaknya. Siti Hajar memperhatikan anaknya yang berguling-guling kehausan. Ia tak tega. Dengan penuh cinta, ia beranjak pergi mendaki ke Bukit Shafa. Ia berharap ada orang yang akan menolongnya atau menemukan lokasi air. Ketika tak menemukan apa yang dicarinya, ia menaiki satu bukit lainnya, Bukit Marwah. Terus-menerus seperti itu sebanyak tujuh kali, sampai datanglah pertolongan Allah. Tiba-tiba air keluar dari bawah kaki Ismail kecil yang menangis karena kehausan, yang kemudian disebut dengan “air zam-zam”.

Karena itulah, sangat wajar seperti disebutkan oleh Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyebut Siti Hajar dalam sabdanya, “Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada ibunda Ismail, Siti Hajar. Jika ia membiarkan Zamzam atau jika ia tidak membuat kolam, niscaya Zamzam menjadi mata air yang mengalir.”

Dan setelah itu, jamaah umrah maupun haji, hingga kini 1,5 juta jamaah haji, dan entah sudah berapa miliar kaum Muslimin yang pergi ke Baitullah. Menapaktilasi sa’i antara Shafa dan Marwah dalam tujuh kali jalan kaki, sepanjang sekitar 450 meter kali 7 yaitu 3,15 km bolak-balik.

Sebuah penghormatan luar biasa dari Allah kepada Siti Hajar, sekaligus pembelajaran dan ibrah bagi kaum Muslimin, begitulah sosok Siti Hajar yahng patut diteladani, bukan hanya karena mencari air zam-zamnya. Namun karena kesabaran jiwanya, ketabahan hatinya, keteguhan imannya, kethaatan amalnya, ketawakkalan upayanya, dan segala kebaikannya untuk kita teladani.

Ujian demi Ujian

Ujian demi ujian perintah Allah bukan hanya sampai di situ. Beberapa tahun setelah Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam meninggalkan kawasan Baitullah menuju kawasan Al-Aqsha. Kemudian Allah perintahkan kembali beliau untuk melakukan long march perjalanan kaki menempuh ribuan kilometer dari Palestina menuju Arab Saudi untuk menengok keluarganya, isterinya Hajar dan lebih-lebih putranya yang sudah mulai tumbuh besar sebagai anak shalih yang membahagiakan.

Sebelum meninggalkan Palestina, terlebih dahulu Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam yang sangat dikenal sebagai hamba yang dermawan, penyantun, taqwa, dan cinta kepada Allah. Beliau berqurban dengan 1.000 ekor kambing, 300 ekor lembu, dan 100 ekor unta. Hal ini membuat orang-orang dan para Malaikat sekalipun terheran-heran.

Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam berkata, “Setiap apapun yang membuat aku dekat dengan Allah, maka tidak ada sesuatu yang berharga bagiku. Demi Allah, jika aku mempunyai seorang anak, niscaya aku pun akan menyembelihnya ke jalan Allah. Jika itu bisa membuatku dekat kepada Allah”.

Lalu beliaupun berdoa:

رَبِّ هَبۡ لِى مِنَ ٱلصَّـٰلِحِينَ

Artinya: “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku seorang anak yang termasuk orang-orang yang shalih.” (QS Ashshaffat [37]: 100).

Rupanya ucapan itupun dikabulkan dengan lahirnya Nabi Isma’il. Maka ucapan tadi itu pun menjadi ujian baginya. yakni ketika beliau berjumpa dengan Isma’il, puteranya yang gagah dan mulai menginjak usia bisa diajak ayahnya, sekitar umur 9-12 tahun, setelah bertahun-tahun ditinggalkan. Belum lama berjumpa, lalu datanglah perintah Allah yang Allah abadikan di dalam ayat:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعۡىَ قَالَ يَـٰبُنَىَّ إِنِّىٓ أَرَىٰ فِى ٱلۡمَنَامِ أَنِّىٓ أَذۡبَحُكَ

Artinya: “Maka tatkala anak itu (Isma’il) sampai pada umur sanggup berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Wahai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi (wahyu) bahwa aku menyembelihmu…..”. (QS Ashshaffat [37]: 102).

Hati seorang ayah manakah yang akan tega dan kuat melaksanakan perintah Allah yang sedemikian itu? Lalu, anak semacam mana pulakah yang sanggup menerima permintaan ayahnya sendiri, yang itu adalah perintah Allah.

Ayat melanjutkan bagaimana dialog sang ayah dan sang anak dalam sama-sama melaksanakan perintah Allah:

قَالَ يَـٰٓأَبَتِ ٱفۡعَلۡ مَا تُؤۡمَرُ‌ۖ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّـٰبِرِينَ…..

Artinya: “…..Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS Ashshaffat [37]: 102).

Ketika Nabi Ibrahim akan mengajak puteranya untuk disembelih, Beliau berkata kepada isterinya Hajar “Pakaikanlah anakmu dengan pakaian yang bagus, karena sesungguhnya aku akan pergi bersamanya untuk bertamu!”. Hajar pun memberi Nabi Ismail dengan pakaian yang bagus, memberinya wangi-wangian, dan menyisir rambutnya. Kemudian Nabi Ibrahim pergi bersama Nabi Ismail dengan membawa sebuah pisau besar dan tali ke arah tanah Mina.

Pada hari itu Iblis lebih sibuk dan lebih gugup, datang dan kembali. Ia menemui, menggoda mereka, dan berusaha agar penyembelihan tersebut gagal. Iblis menggoda Nabi Ibrahim waktu Nabi Ismail sedang berlari-lari, “Apakah kamu tidak melihat tegaknya anakmu ketika ia berdiri, ia begitu tampan, dan lembut tingkah lakunya !!!”. Nabi Ibrahim berkata “Iya, tetapi aku diperintah untuk menyembelihnya !!!”.

Iblis pun tak kuasa menggoda Nabi Ibrahim meski dengan seribu godaan. Kemudian iblis pergi menemui Hajar, dan berkata “Wahai Hajar, bagaimana bisa kamu hanya duduk di sini sedangkan Ibrahim pergi bersama anaknya untuk menyembelihnya !!!”. Hajar berkata “Kamu jangan dusta kepadaku, mana ada seorang ayah yang tega menyembelih putranya ?”. Iblis menjawab “Lalu untuk apa Ibrahim membawa pisau besar dan tali !!!”. Hajar bertanya “Untuk alasan apa ia menyembelihnya ?”. Iblis menjawab “Ia menyangka bahwa tuhannya telah memerintahkannya untuk menyembelih anaknya !!!”.

Hajar berkata “Seorang Nabi tidak diperintahkan untuk kebatilan dan aku akan selalu percaya padanya. Nyawaku sebagai tebusan atas perkara itu, maka bagaimana dengan anakku tentu ia pun demikian !!!”. Dengan beribu-ribu rayuan dan godaan, tetapi Iblis tak kuasa menggoda Hajar.

Kemudian ia pergi menemui Nabi Ismail dan menggodanya “Kamu sangat senang bermain-main, tetapi ayahmu membawa pisau besar dan tali, ia akan menyembelihmu !!!”. Nabi Ismail berkata “Kamu jangan berbohong kepadaku, ayahku tidak akan menyembelihku !”. Iblis berkata “Ia menyangka bahwa tuhannya telah memerintahkannya untuk menyembelihmu !!!” Nabi Ismail berkata “Aku akan selalu tunduk dan taat terhadap perintah tuhanku !!!”. Saat Iblis akan melontarkan perkataan lain untuk menggodanya, Nabi Ismail mengambil batu-batu dan melemparkannya kepada Iblis. Kemudian Iblis pun pergi dengan kecewa dan putus asa.

Nah, pada tempat Allah mewajibkan melempar jumrah bagi orang yang melaksanakan haji dengan niat melempar batu atau kerikil ke arah syetan dan mengikuti apa yang telah dilakukan Nabi Ismail.

Dan ketika saatnya Ibrahim hendak menyembelih puteranya, Ismail pun berkata, “Nanti sampaikan salam dariku untuk ibu, dan katakan padanya bersabarlah atas perintah Allah. Jangan Ayah menceritakan kepada Ibu bagaimana Ayah menyembelih dan mengikat tanganku. Jangan Ayah sesekali membawa seorang anak kepada Ibu agar Ibu tidak semakin bersedih. Jika Ayah melihat seorang anak sepertiku, maka jangan engkau terus memandanginya hingga engkau bersedih.”

Nabi Ibrahim pun menjawab, “Baiklah, semoga pertolongan selalu menyertaimu atas perintah Allah, wahai anakku !”.

Nabi Ibrahim membaringkan Nabi Ismail untuk disembelih seperti layaknya kambing sembelihan. Dan kejadian itu terjadi di atas batu besar di Tanah Mina. Nabi Ibrahim pun meletakkan pisau besarnya di leher putra beliau. Kemudian beliau menyembelih leher putra beliau dengan kuat, akan tetapi atas kehendak Allah pisau tersebut tak mampu memotong leher Nabi Ismail bahkan menggoresnya pun tidak.

Allah membuka tutup mata dari semua malaikat langit dan bumi, sehingga mereka mengetahui kejadian tersebut. Kemudian mereka berlutut dan bersujud kepada Allah. Kemudian Allah berkata “Lihatlah kalian semua kepada hambaku bagaimana ia menebaskan pisau besar pada leher anaknya karena mengharap ridha-Ku, sedangkan kalian berkata ketika aku berkata :

وَإِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَـٰٓٮِٕكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ۬ فِى ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةً۬‌ۖ قَالُوٓاْ أَتَجۡعَلُ فِيہَا مَن يُفۡسِدُ فِيہَا وَيَسۡفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحۡنُ نُسَبِّحُ بِحَمۡدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ‌ۖ قَالَ إِنِّىٓ أَعۡلَمُ مَا لَا تَعۡلَمُونَ (٣٠)

Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan [khalifah] di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS Al-Baqarah [2]: 30).

Nabi Ismail saat itupun berkata “Wahai Ayahku tercinta, Ayah telah melemahkan kekuatan Ayah karena cinta kepadaku. Sehingga Ayah tidak kuasa untuk menyembelihku”.

Kemudian Nabi Ibrahim menebaskan pisau besarnya pada batu dan batu tersebut terbelah menjadi dua. Nabi Ibrahim berkata terheran-heran “Pisau ini bisa memotong batu tetapi tidak bisa memotong daging”.

Namun atas kuasa Allah, pisau tersebut berkata “Wahai Ibrahim, kamu mengatakan potonglah, tetapi Tuhan semesta alam berkata jangan potong. Maka bagaimana aku melaksanakan perintahmu yang berlawanan dengan perintah Tuhanmu”.

Maka, Allah pun melanjutkan di dalam ayat-ayat-Nya:

وَنَـٰدَيۡنَـٰهُ أَن يَـٰٓإِبۡرَٲهِيمُ (١٠٤) قَدۡ صَدَّقۡتَ ٱلرُّءۡيَآ‌ۚ إِنَّا كَذَٲلِكَ نَجۡزِى ٱلۡمُحۡسِنِينَ (١٠٥) إِنَّ هَـٰذَا لَهُوَ ٱلۡبَلَـٰٓؤُاْ ٱلۡمُبِينُ (١٠٦) وَفَدَيۡنَـٰهُ بِذِبۡحٍ عَظِيمٍ۬ (١٠٧) وَتَرَكۡنَا عَلَيۡهِ فِى ٱلۡأَخِرِينَ (١٠٨) سَلَـٰمٌ عَلَىٰٓ إِبۡرَٲهِيمَ (١٠٩) كَذَٲلِكَ نَجۡزِى ٱلۡمُحۡسِنِينَ (١١٠) إِنَّهُ ۥ مِنۡ عِبَادِنَا ٱلۡمُؤۡمِنِينَ (١١١)

Artinya: “Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, (104) sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu [1] , sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. (105) Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. (106) Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar [2]. (107) Kami abadikan untuk Ibrahim itu [pujian yang baik] di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (108) [yaitu] “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”. (109) Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. (110) Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman (111).” (QS Ashshaffat [37]: 105-111)

Saat itu, Malaikat Jibril pun datang dengan membawa seekor domba yang besar dari dalam surga. Kemudian domba tersebut dijadikan tebusan atau ganti Nabi Ismail. Malaikat Jibril yang datang dan melihat Nabi Ibrahim berusaha memotong leher putera beliau. Dengan rasa ta’dzim (hormat) dan terheran atas Nabi Ibrahim, Malaikat Jibril bertakbir :

الله اكبر الله اكبر

Kemudian Nabi Ibrahim menjawab :

لااله الا الله والله اكبر

Nabi Ismail pun mengikuti :

الله اكبر ولله الحمد

Demikian kisah dari Kitab Durrotun Nashihin karangan Syaikh Asy-Syakiri Al-Khoubawi.

Semoga kita dapat meneladani Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam beserta keluarganya. Aamiin. (A/RS2/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)