Ketika Sebuah Kebaikan Dibalas Berlipat Ganda

 

tiba di pantai pulau Yunani. (Foto: Antonio Masiello/NurPhoto/Zuma Press)

 

Oleh Nurfitri Muslim Taher*

“Aksi teroris”, sebagaimana dinyatakan oleh Perdana Menteri Justin Trudeau, merujuk pada sebuah penyerangan yang membunuh enam korban dan melukai delapan lainnya di sebuah masjid, baru saja terjadi di . Terlepas dari kejadian itu, Kanada masih menerima pengungsi, tanpa melihat  asal dan agama mereka.

Tidak dapat dipungkiri bahwa Islamofobia dan anti /pengungsi sedang meningkat di Kanada. Meskipun kejadian penembakan terhadap Muslim ini adalah suatu hal yang tidak diduga akan terjadi, namun bagi Muslim Kanada, hal ini bukanlah suatu kejadian yang terlalu mengejutkan. Lalu, mengapa pemerintah Kanada masih yakin untuk terus menerima pengungsi dari negara mayoritas Muslim, tidak seperti negara tetangganya Amerika Serikat (AS), yang sangat ingin melarang warga negara dari negara-negara mayoritas Muslim. Demi terjaganya keamanan negara, bukankah akan lebih baik juga Kanada mengambil kebijakan yang sama? Setidaknya untuk 90 hari? Sebagaimana yang ingin dijalankan oleh AS?

Dengan total angka ketergantungan penduduk 47,3%, Kanada sangat membutuhkan sumber daya manusia usia produktif. Dan Kanada melakukan kebijakan pengungsi ini dengan benar. Program penerimaan pengungsi mereka melalui skrining keterampilan, kesehatan, dan juga catatan kriminal, sebagaimana yang saat ini mereka lakukan bagi calon pengungsi dari Suriah. Jadi dapat juga dikatakan bahwa program ini merupakan simbiosis mutualisme.

Akan tetapi, walaupun dengan simbiosis mutualisme ini, islamofobia tetap saja ada, dan mungkin saja penyerangan masjid kemarin merupakan awal dari masa-masa yang tidak menyenangkan bagi Kanada, terutama komunitas Muslim di sana. Apabila kejahatan karena alasan kebencian terhadap Muslim di Kanada dan juga negara lain terus meningkat, apa yang dapat kita lakukan untuk membantu? Dan kenyataannya adalah bahwa kebanyakan dari ke-57 negara anggota OKI, masih terlihat ragu untuk membantu, atau bahkan untuk “menggunakan” pengungsi-pengungsi yang terampil untuk membantu agar penghidupan mereka, dan kita, dapat menjadi lebih baik. Website OKI menulis bahwa negara anggota OKI seperti Turki, Lebanon, Jordan, Mesir dan Irak sudah lama menanggung beban berat menampung arus pengungsi dari Suriah. Dari 57 negara anggota OKI, 36 di antaranya merupakan negara yang meratifikasi Konvensi tahun 1951 Mengenai Status Pengungsi dan Protokol tahun 1961.

Indonesia Terkait Pengungsi

Indonesia tidak ada di daftar negara yang meratifikasi Konvensi 1951 Mengenai Status Pengungsi dan Protokol tahun 1961 tersebut. Ini menyebabkan kita seringkali merasa tak berdaya untuk membantu pengungsi dari manapun, termasuk mereka yang datang dari negara mayoritas Muslim. Benarkah kita tidak mampu membantu?

Pada tanggal 11 Januari 2005, Indonesia di bawah kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono meratifikasi artikel ke 22 Konvensi Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang menyatakan bahwa “Perlindungan khusus harus diberikan kepada pengungsi anak-anak atau anak-anak yang sedang mencari status pengungsi, dan negara-negara berkewajiban untuk bekerjasama dengan organisasi-organisasi yang kompeten untuk menyediakan perlindungan dan bantuan yang dibutuhkan.” Dari sini jelas bahwa dari pasal ini saja, Indonesia berkewajiban untuk memberikan pengungsi anak – yang mana di artikel 1 dari Konvensi Hak Anak dinyatakan bahwa seorang anak didefinisikan sebagai orang di bawah usia 18 tahun – perlindungan khusus dan bantuan demi memastikan bahwa hak-hak mereka sebagai anak terlindungi. Hal ini termasuk jaminan bahwa, terkecuali mereka yatim piatu, mereka dapat hidup bersama orang tua mereka. Hal ini juga termasuk memastikan mereka dapat menjalankan ibadah agama mereka dengan bebas. Ini juga termasuk menjamin anak-anak pengungsi mendapatkan rasa aman dan terlindungi dari trauma melihat orang tua mereka mendapatkan perlakuan yang tidak baik.

Disamping ratifikasi artikel 22 dari Konvensi Hak Anak, Kita juga harus mengingat apa yang negara kita sudah lakukan terhadap para pencari suaka dari Vietnam di Pulau Galang, yang tinggal di Indonesia dari tahun 1979-1996, ketika mereka menunggu mendapatkan suaka dari negara lain, atau menunggu untuk dapat kembali ke negara mereka. Di pulai ini, bekerja sama dengan pemerintah Republik Indonesia membangun fasilitas seperti kamp, gereja, rumah sakit, dan sekolah yang dapat menampung sekitar 250.000 orang pengungsi. Mereka juga dapat berhubungan dengan leluasa dengan penduduk lokal. Sampai saat ini, Pulau Galang telah menjadi sebuah tujuan wisata, terutama untuk keluarga dari para pencari suaka yang sempat tinggal di Pulau Galang. Sebagian dari mereka menjadikan Pulau Galang sebagai tempat untuk mengingat masa lalu mereka, perjuangan serta bagian penting dari hidup mereka, atau bahkan sebagai bagian dari sejarah yang dapat mereka ceritakan kepada anak cucu mereka, dan sebagian dari mereka datang ke Pulau Galang untuk menziarahi kubur dari orang-orang yang meninggal dan dikuburkan di pulau itu. Tercatat Pulau Galang didatangi sekitar 1.200 tamu setiap bulannya.

Kita dapat mengambil pelajaran dari negara Kanada, yang terus menerima pengungsi dengan tangan terbuka walaupun ancaman Islamofobia dan kejahatan karena kebencian terhadap Muslim dan imigran terus meningkat dalam tiga tahun terakhir. Kita juga dapat mengaplikasikan Konvensi PBB Mengenai Hak Anak, yang telah diratifikasi negara kita lebih dari satu dekade yang lalu. Atau kita bahkan dapat belajar dari bagaimana kita menaungi pencari suaka asal Vietman, dan bagaimana kita memfasilitasi mereka bersama UNHCR.

Pertanyaannya adalah, apakah kita memang ingin melakukannnya? (NMT/RE1/RI-1)

 

*Nurfitri adalah seorang aktivis, penyiar dan editor redaksi Inggris MINA juga kontributor untuk beberapa situs media.

 

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.