Keutamaan Sepuluh Hari Pertama Bulan Dzulhijjah, Oleh Imaam Yakhsyallah Mansur

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

    (وَالۡفَجۡرِۙ‏ – وَلَيَالٍ عَشۡرٍۙ‏ – وَّالشَّفۡعِ وَالۡوَتۡرِۙ‏ (آلفجر١- ٣

Artinya: “Demi fajar, dan malam-malam sepuluh, dan yang genap dan yang ganjil.” (Q.S. Al-Fajr [89]: 1-3).

Surah ini dinamai surat Al-Fajr. Penamaan ini disepakati oleh para ulama dan tidak ada nama lain bagi surah ini kecuali hanya nama tersebut. Surah ini merupakan wahyu yang ke-10, turun sebelum surah Ad-Dhuha dan sesudah surah Al-Fiil.

Surah ini dimulai dengan sumpah Allah Subhanahu wa ta’ala dengan waktu fajar. Kata fajar berasal dari Bahasa Arab yang artinya menurut Al-Asyfihani dalam gharibul Quran adalah:

شَقُّ الشَّيْءِ شَقًاوَاسِعاً

Artinya: “Membelah sesuatu dengan belahan yang luas.”

Adapun arti fajar secara umum difahami dengan waktu di mana cahaya matahari mulai membayang di ufuk timur, kira-kira satu jam sebelum matahari terbit. Di waktu inilah ummat Islam diwajibkan melaksanakan Shalat Subuh dan waktu subuh itu habis ketika matahari sudah terbit.

Pada ayat yang pertama ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan waktu fajar untuk mengingatkan kepada manusia betapa pentingnya waktu tersebut. Fajar merupakan waktu kebangkitan manusia dari kematian kecil, yaitu tidur. Dengan tersebarnya cahaya mulai saat itu, manusia dapat bekerja untuk memenuhi keperluan hidup dengan mencari rizki di bumi Allah yang menciptakan fajar ini.

Allah mengingatkan agar hari baru yang dimulai dari terbitnya fajar tersebut diisi dengan ibadah dan amal shalih. Jangan sampai hari itu berlalu tanpa arti atau diisi dengan perbuatan yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Karena semua perbuatan manusia akan dihisab oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menghasilkan pahala dan siksa sehingga mengantarkan seseorang ke surga atau neraka.

Sebagian ulama lain berpendapat bahwa yang dimaksud fajar pada ayat ini adalah waktu fajar hari raya Qurban atau fajar awal karena sesudahnya disebut malam-malam yang sepuluh, yaitu sepuluh malam atau sepuluh hari bulan Dzulhijjah, sebagaimana pendapat jumhur mufassirin ketika mereka menafsirkan ayat kedua, ”Dan malam-malam sepuluh.” Menurut Ibnu Katsir, inilah pendapat yang benar.

Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ini menukilkan hadits marfu’ dari Ibnu Abbas:

(مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ. يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ : وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ.  (رواه البخارى

Artinya: “Tidak ada hari-hari beramal shalih yang lebih dicintai Allah dari pada hari-hari ini yaitu sepuluh hari di bulan Dzulhijjah. Para sahabat berkata,” tidak juga jihad di jalan Allah?” Rasulullah menjawab: ”Tidak juga jihad di jalan Allah, kecuali seseorang yang keluar dari rumahnya dengan jiwa dan hartanya (untuk berjihad) kemudian ia tidak kembali lagi darinya (syahid)”. (H.R. Al-Bukhari).

Dalam hadits yang diriwayatkan Ahmad dari Ibnu Umar, Rasulullah Shallallahu alaihi wa salam bersabda:

مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالى وَلَا أَحَبُّ إِلَيْهِ اْلعَمَلُ فِيْهِنَّ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ اْلعَشْرِ، فَأَكْثِرُوْا فِيْهِنَّ مِنَ التَّهْلِيْلِ وَالتَّكْبِيْرِ وَالتَّحْمِيْدِ

Artinya: “Tidak ada hari yang paling agung dan amal yang paling dicintai Allah untuk berbuat kebajikan di dalamnya dari pada sepuluh hari (pertama) di bulan Dzulhijjah ini. Maka perbanyaklah pada saat itu tahlil, tahmid dan takbir”.

Adapun kata “yang genap dan yang ganjil,” sebagian ulama memahami masih memiliki hubungan (korelasi) dengan ayat sebelumnya, sehingga mereka memahami bahwa “yang ganjil” adalah tanggal 9 Dzulhijjah (Hari Arafah) dan “yang genap” adalah Hari Raya Idul Adha karena 10 Dzulhijjah. Ada juga yang memahaminya secara umum sehingga “yang genap” adalah semua makhluk yang diciptakan Allah Subhanahu wa Ta’ala berpasang-pasangan sebagaimana firman-Nya:

 (ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلْأَزْوَٰجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنۢبِتُ ٱلْأَرْضُ وَمِنْ أَنفُسِهِمْ وَمِمَّا لَا يَعْلَمُونَ  (يَس : ٣٦

Artinya: “Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan makhluk-makhluk semuanya berpasangan; sama ada dari yang ditumbuhkan oleh bumi, atau dari diri mereka, ataupun dari apa yang mereka tidak mengetahuinya.”  (Q.S. Yaasiin [36]: 36)

Dari uraian di atas dapat difahami bahwa amal yang dilakukan selama sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah itu memiliki beberapa keutamaan. Sebagian ulama mengatakan bahwa amalan pada setiap hari di awal bulan Dzulhijjah sama nilainya dengan amalan satu tahun. Bahkan ada yang mengatakan sama dengan 1.000 hari, sedangkan amalan di hari Arafah sama (nilainya) dengan 10.000 hari.

Keutamaan ini semua berdasarkan kepada riwayat  hadits fadha’il yang dhaif (lemah). Namun menurut para ahli hadits membolehkan mengamalkan amal fadha’il (utama) dengan berdasarkan hadis dhaif asalkan tidak terlalu dalam kedhaifannya. Apalagi jika riwayat yang dhaif itu didukung dengan riwayat yang shahih, seperti hadits riwayat Al-Bukhari dari Ibnu Abbas di atas. Mujahid, seorang tokoh ulama tabi’in berkata: “Amalan di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah akan dilipatgandakan pahalanya.”

Amalan Utama di Awal Dzulhijjah

1. Melaksanakan ibadah haji dan umrah

Rasulullah Shallallahu alaihi wa salam bersabda:

(العُمْرَةُ إِلَى العُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالحَجُّ المَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الجَنَّةُ  (متفق علئه

Artinya: “Umrah satu ke Umrah lainnya adalah penebus dosa antara keduanya, dan haji yang mabrur tidak ada pahala baginya selain Surga.” (Muttafaq alaih).

Menurut Hasan Al-Bashri, haji mabrur adalah apabila orang yang berhaji kembali dari ibadah haji, dia bertambah zuhud (tidak rakus) terhadap dunia dan semakin cinta kepada akhirat.

Haji mabrur akan diperoleh manakala orang yang berhaji melakukannya dengan ikhlas dan mengikuti cara (sunnah) Rasulullah Shallallahu alaihi wa salam.

2. Berpuasa

Beberapa istri Nabi Shallallahu alaihi wa salam berkata:

(كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ  (رواه ابو داود

Artinya: “Rasulullah biasa berpuasa pada sembilan hari awal bulan Dzulhijjah, pada hari As-Syura (10 Muharram) dan tiga hari setiap bulannya.” (HR. Abu Daud). Menurut Nashiruddin Al-Bani, hadits ini shahih.

Di antara sahabat yang mempraktikkan puasa selama sembilan hari awal bulan Dzulhijjah adalah Abdullah bin Umar. Ulama lain seperti Hasan Al-Bashri, Ibnu Sirin dan Qatadah juga menyebutkan keutamaan berpuasa pada hari-hari tersebut.

3. Berpuasa pada Hari Arafah

Rasulullah Shallallahu alaihi wa salam bersabda:

(صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ  يُكَفِّرَ سَّنَّتَيْنِ مَاضِيَةً وَمُسْتَقْبِلَةً  (رواه مسلم

Artinya: “Puasa hari Arafah menghapus dosa dua tahun, tahun yang telah lalu dan tahun yang akan datang.” (H.R. Muslim).

Hari Arafah adalah hari yang kesembilan di bulan Dzulhijah. Dinamakan hari Arafah karena pada hari itu orang-orang yang melaksanakan ibadah haji melakukan wukuf di Arafah.

Puasa Arafah ini hanya disyariatkan kepada orang-orang yang tidak melaksanakan ibadah haji (bukan bagi orang-orang yang berhaji).

Disebutkan hadits riwayat Ahmad dari Abu Hurairah berkata:

نَهَى النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصَّوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ بِعَرَفَاتٍ

 Artinya: “Rasulullah melarang puasa Arafah bagi orang yang berada di padang Arafah (berwukuf).

4. Berqurban

Firman Allah Subhanahu wa taala:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (الكوثر:٢)

Artinya: “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berqurbanlah.” (QS. Al-Kautsar [108]: 2).

Sebagian ulama memahami bahwa perintah berqurban di sini adalah qurban pada hari raya Idul Adha. Oleh karena itu, hari Idul Adha disebut juga Yauma Nahar (Hari Raya Qurban).

5. Tidak mencabut atau memotong kuku bagi orang yang hendak berqurban

Rasulullah Shallallahu alaihi wa salam bersabda:

إِذَا رَأَيْتُمْ هِلَالَ ذَي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَّحِيَ فَلْيَمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ (رواه مسلم)

Artinya: “Jika kalian melihat hilal bulan Dzulhijjah dan salah seorang di antara kalian hendak berkurban, maka hendaklah ia menahan diri dari (memotong) rambut dan kukunya.“ (HR. Muslim).

Ulama Syafi’iyyah mengatakan bahwa dengan tidak dipotongnya rambut dan kuku, maka semakin sempurnalah anggota badan seseorang untuk bebas dari api neraka.

6. Memperbanyak Amal Shalih

Berdasarkan hadits dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas di atas, bahwa kita dianjurkan memperbanyak amal shalih pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah ini, seperti memperbanyak istighfar, sedekah, membaca Al-Quran, bertakbir dan sebagainya.

Bertakbir pada hari-hari ini terbagi menjadi dua:

Takbir Mutlaq, yang dilakukan kapan saja, di mana saja, saat berjalan, duduk dan berbaring.

Takbir muqoyyal, yang dilakukan setelah shalat wajib berjamaah dengan suara keras, mulai dari shalat hari Arafah (9 Dzulhijjah) hingga bakda Ashar hari Tasyriq (13 Dzulhijjah).

7. Shalat Idul Adha

Ibnu Khudzaimah meriwayatkan dari Zaid bin Arqam sebagaimana yang disebutkan oleh Ash-Shan’ani dalam Subulus Salam:

صلئ النبي صلى الله عليه وسلم العيد ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ ثم قال من شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ

Artinya: “Nabi Shallallahu alaihi wa salam shalat Id, kemudian memberi keringanan untuk shalat Jumat. Beliau bersabda:” Barang siapa hendak shalat, maka shalatlah.”

Menurut para ulama, keringanan tidak shalat Jumat ini hanya diberikan kepada orang yang telah melaksanakan shalat Id.

Wallahu a’lam. (A/R8/P2)

Mi’raj News Agency (MINA)