Jakarta, MINA – Meski telah menjadi hal yang diwajibkan, Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) menegaskan, sertifikasi halal berbeda halnya dengan sistem perizinan. Terdapat serangkaian proses pemeriksaan kehalalan produk yang harus ditempuh pelaku usaha, tanpa terkecuali.
LPPOM MUI juga menekankan tiga hal yang wajib dipenuhi pelaku usaha dalam proses sertifikasi halal ini, yaitu melalui proses audit, menyiapkan fasilitas bebas najis, serta dukungan tim manajemen halal yang handal.
Marketing and Networking Manager of LPPOM MUI, Cucu Rina Purwaningrum dalam laporan LPPOM MUI kepada MINA, Selasa (5/3), menyebutkan ada tiga hal yang perlu diperhatikan pelaku usaha sebelum sertifikat halal keluar. Pertama, proses audit.
Menurutnyam hal ini dilakukan untuk memastikan semua bahan yang digunakan oleh produsen itu halal, mulai dari dengan melihat bukti pembelian, bukti pemeriksaan kedatangan bahan, bukti stok bahan di gudang, hingga bukti produksi.
Baca Juga: Tumbangnya Rezim Asaad, Afta: Rakyat Ingin Perubahan
“Dicek satu per satu, kemudian ditelusur, apa saja bahan yang digunakan? Kemudian dicocokan, apakah benar yang digunakan sesuai dengan yang sudah dicatat? Setelah itu dicek kembali, apakah bahan tersebut sudah memiliki sertifikat halal? Ada atau tidaknya dokumen pendukung bahan tadi?” jelas Cucu.
Sertifikasi halal bukan menjadi hal yang baru di Indonesia. Meski begitu, sejak dikeluarkannya Undang-Undang Jaminan Produk Halal pada 2014, sifat sertifikasi halal yang tadinya sukarela menjadi wajib atau mandatory.
Lain halnya dengan perizinan, sebuah produk yang telah mendapatkan sertifikat halal telah melalui serangkaian proses pemeriksaan kehalalan pada produknya.
Lalu bagaimana dengan analisis laboratorium? Cucu menjelaskan, tidak semua produk bisa dibuktikan kehalalannya dengan analisis laboratorium. Adapun analisis laboratorium sifatnya untuk melengkapi proses audit atau penelusuran ke lapangan.
Baca Juga: Resmikan Terowongan Silaturahim, Prabowo: Simbol Kerukunan Antarumat Beragama
Misalnya, bagaimana cara memastikan daging yang melalui proses repacking dari supplier daging yang sudah bersertifikat halal?
Hal itu memerlukan analisis laboratorium untuk mengetahui apakah ada proses kontaminasi selama proses repacking. Analisis selanjutnya yang juga perlu diperhatikan adalah seluruh bagian yang dibutuhkan saat proses repacking.
Contoh lainnya, gelatin. Sumber gelatin halal sangat terbatas, sehingga penulusuran tetap harus dilakukan untuk memastikan gelatin tidak terkontaminasi. Minuman juga salah satu produk yang harus melalui analisis laboratorium untuk uji etanol.
Seperti yang telah diketahui, Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyebutkan bahwa kandungan etanol tida boleh lebih dari 0,5%. Kemudian, tinta pemilu dan kosmetik waterproof perlu pengujian daya tembus air.
Baca Juga: Konflik Suriah, Presidium AWG: Jangan Buru-Buru Berpihak
“Sedangkan di luar itu sistemnya penelusuran. Tidak semua produk ataupun jawa bisa diperiksa kehalalannya melalui analisis laboratorium. Misal, saat kita ingin membuktikan ayam yang dipakai disembelih sesuai syariah atau tidak, tidak mungkin diuji lab, tetapi harus dengan cara penelusuran langsung,” jelas Cucu.
Kedua, fasilitas produksi harus dipastikan bebas najis. Beberapa perusahaan menggunakan fasilitas produksi bersama dengan perusahaan lain. Boleh jadi bahan yang digunakan sudah halal, namun fasilitas produksinya bercampur dengan produk yang mengandung najis.
Oleh karena itu, harus ada keterangan yang menegaskan bahwa fasilitas produksi hanya diperuntukkan bagi produk yang tidak kritis atau halal.
Ketiga, tim manajemen halal. Seperti yang diketahui bersama, proses audit tidak dilakukan setiap hari. Lalu, bagaimana memastikan pelaku usaha konsisten memproduksi produk halal setiap hari?
Baca Juga: Krisis Suriah, Rifa Berliana: Al-Julani tidak Bicarakan Palestina
Ini memang bukan hal yang mudah. Perusahaan atau pelaku usaha harus bisa menerapkan Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH). Artinya, perusahaan menyiapkan orang-orang yang bisa menjadi kepanjangan tangan auditor, biasa disebut sebagai tim manajemen halal atau penyelia halal.
Seluruh prosedur yanag dituanagkan secara tertulis, misalnya dalam Standart Operating Procedur (SOP), harus disiapkan.
“Dengan begitu, semua pihak yang terlibat dalam produksi memiliki acuan baku yang disahkan atau disepakati bersama terkait dengan cara bekerja. Semuanya diatur, mulai dari bagaimana cara mengganti bahan, pembelian, produksi, hingga pemusnahan produk. Seluruhnya harus mematuhi aturan yang berlaku,” jelas Cucu.
Tentunya, lanjut Cucu, perusahaan yang tidak memiliki prosedur, tim, beserta seluruh bukti yang tertelusur dianggap belum mampu menerapkan SJPH. Jika ketiga poin tersebut tidak terpenuhi, maka sertifikat halal tidak akan keluar. Meski begitu, Anda tidak perlu khawatir.
Baca Juga: AWG Selenggarakan Webinar “Krisis Suriah dan Dampaknya bagi Palestina”
Saat ini, pemerintah telah mengupayakan jaminan kehalalan produk melalui regulasi yang akan diimplementasikan secara bertahap.
Tentunya, kelak hal ini akan semakin mempermudah konsumen muslim Indonesia dalam memilih produk yang harus dikonsumsi atau digunakan.
Selain itu, LPPOM MUI juga terus memudahkan konsumen muslim dalam melakukan pencarian produk halal, Anda dapat mengecek kehalalan produk melalui website www.halalmui.org atau mengunduh aplikasi Halal MUI di Playstore.(R/R1/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Puluhan WNI dari Suriah Tiba di Tanah Air