Pejuang “Brigade Tulkarm – Respons Cepat” Ciptakan Front Ketiga Bagi Israel

Perlawanan bersenjata Palestina menyaksikan kebangkitan kembali di Tepi Barat yang diduduki dalam dua tahun terakhir, dengan Tulkarem bergabung dalam gelombang tersebut sejak awal tahun 2023. [Qassam Muaddi/TNA]

Oleh: Qassam Muaddi,

Pada hari Kamis, 18 Januari 2024, untuk hari kedua berturut-turut, pasukan melanjutkan serangan ke kota Tulkarem, timur laut Tepi Barat yang diduduki. Selama 48 jam terakhir, Israel membunuh sepuluh warga di Tepi Barat.

Setelah lebih dari 12 jam penggerebekan di kamp pengungsi Tulkarem, yang berlangsung hingga Rabu malam dan menewaskan lima warga Palestina, pasukan Israel melancarkan serangan lain ke kamp pengungsi Nour Shams pada Kamis pagi.

Selama penggerebekan di Tulkarem pada hari Rabu, pasukan Israel menangkap puluhan warga Palestina dan menggeledah rumah-rumah di tengah konfrontasi dengan pejuang Palestina setempat.

Media Israel melaporkan bahwa seorang tentara Israel terluka parah.

Pada hari Kamis, pertempuran berlanjut di Nour Shams, di mana pejuang Palestina di mengumumkan bahwa mereka berhasil menargetkan buldoser militer Israel dengan alat peledak lokal.

Pasukan Israel telah berusaha mengalahkan Brigade Tulkram selama hampir satu tahun.

 

Warisan Tulkarm

Tulkarem adalah kota berpenduduk sekitar 150.000 jiwa, terletak di wilayah pertanian bersejarah Palestina, yang berada tepat di tepi garis gencatan senjata setelah perang tahun 1948. Garis tersebut, yang kemudian dikenal sebagai ‘Garis Hijau’, menjadi perbatasan “negara’ Israel yang diakui secara internasional, yang ditetapkan dengan kekerasan dalam apa yang dikenal sebagai “Nakba Palestina”.

Selama Nakba Palestina pada tahun 1948, Tulkarem menampung ribuan warga Palestina yang diusir dari kota-kota mereka oleh pasukan Zionis dari daerah yang sekarang menjadi distrik Israel di utara Tel Aviv, Raanana dan Natanya. Para pengungsi ini ditampung di dua lokasi di sekitar Tulkarm, yang kemudian menjadi kamp pengungsi Nour Shams dan Tulkarm.

Sepanjang tahun 1970-an hingga 1980-an serta Intifada Kedua di awal tahun 2000-an, beberapa generasi pejuang bersenjata Palestina bermunculan dari dua kamp pengungsi tersebut.

Beberapa tokoh terkenal termasuk Khader Taleb, yang mendirikan sel bersenjata PFLP pertama di kota tersebut dan dibunuh pada tahun 2002 oleh pasukan Israel. Yang lainnya adalah Dr Thabet Thabet, seorang dokter gigi dan intelektual, anggota senior Fatah dan teman dekat pemimpin Palestina Yasser Arafat, yang dibunuh oleh pasukan khusus Israel pada tahun 2000 setelah menuduhnya membentuk sel bersenjata di Tulkarem.

Tokoh paling terkenal dalam perlawanan bersenjata Palestina di Tulkarem pada tahun 2000-an, yang penting untuk memahami situasi saat ini, adalah Raed Al-Karmi—pemimpin sayap bersenjata Fatah, Brigade Martir Al-Aqsa. Pasukan khusus Israel membunuhnya pada Januari 2002.

Baca Juga:  Wamen Kominfo: Remaja dan Manula Rentan Kena Hoaks

Dua dekade setelah Intifada kedua, aktivisme bersenjata Palestina melonjak di wilayah utara Tepi Barat yang diduduki.

Kelompok bersenjata lokal mulai terbentuk pada akhir tahun 2021 untuk menantang pasukan dan pemukim Yahudi Israel, setelah Israel melancarkan gelombang penggerebekan di Jenin setelah enam warga Palestina melarikan diri dari penjara dengan keamanan tinggi Israel di Gilboa pada September 2021.

Pada awal tahun 2022, Brigade Jenin lahir, disusul oleh kelompok Lions’ Den (Sarang Singa) di Nablus.

Pemuda Palestina yang membentuk kelompok ini berasal dari faksi politik yang berbeda atau tidak memiliki afiliasi politik apa pun.

Berbekal senjata api pribadi dan bahan peledak buatan lokal, aktivitas kelompok-kelompok ini terfokus pada penembakan pos-pos militer dan pemukiman Israel serta menghadapi serangan pasukan Israel di kota-kota mereka.

Reaksi pasukan Israel terhadap gelombang ini adalah dengan meningkatkan kekerasan dan intensitas serangan, dengan melancarkan serangan udara menggunakan helikopter dan drone pada Juli 2023, yang belum pernah terjadi di Tepi Barat sejak tahun 2002.

Lahirnya Brigade Tulkarm

Di Tulkarem, kembalinya perlawanan bersenjata terjadi sebagai reaksi terhadap meningkatnya serangan Israel terhadap Jenin dan Nablus.

Pada akhir tahun 2021, seorang warga Palestina berusia 20 tahun, Seif Abu Labadeh, mendirikan sel bersenjata di Tulkarm untuk sayap bersenjata Jihad Islam Palestina (PIJ). Dia terbunuh dalam penyergapan Israel antara Tulkarem dan Jenin pada April 2022.

Secara terpisah, kelompok lain muncul dan menamakan dirinya The Falcons’ Nest (Sarang Elang) pada Oktober 2022 yang meniru ‘Sarang Singa’ di Nablus. Sementara itu, dua pemuda Palestina berusaha menghidupkan kembali warisan sayap bersenjata Fatah, Brigade Syuhada Al-Aqsa di kota.

Salah satunya adalah Ameer Abu Khadijah, 24 tahun. Dia lulus dari universitas beberapa tahun sebelumnya dan bekerja sebagai polisi di pasukan keamanan Otoritas Palestina. Dia dipecat dari pekerjaannya dan kemudian mencari pekerjaan di bidang konstruksi.

Yang lainnya adalah Jihad Shehadeh, 24 tahun. Shehadesh adalah putra seorang setia Fatah seumur hidup dan mantan anggota kelompok ‘Black Panthers’ Fatah yang terkenal pada tahun 1980an. Shehadeh dan Abu Khadija membentuk kelompok yang memproklamirkan diri sebagai bagian dari ‘Brigade Syuhada Al-Aqsa’ yang disebut ‘Respon Cepat’.

‘Respon Cepat’ mengacu pada pemimpin Brigade Syuhada Al-Aqsa di Tulkarem selama Intifada kedua, Raed Al-Karmi, yang diberi julukan tersebut karena ia melancarkan serangan balasan terhadap sasaran Israel kurang dari 24 jam setelah rekan-rekannya dibunuh, seperti setelah pembunuhan Dr Thabet Thabet.

Baca Juga:  Ketum ICMI: Indonesia Peringkat Kedua Dunia soal Sampah Sisa Makanan

Shehadeh dan Abu Khadijah memilih julukan ini untuk kelompok mereka, yang menunjukkan bahwa generasi baru sedang mengambil warisan perlawanan bersenjata Fatah di Tulkarem.

Pada akhir Februari 2023, pasukan Israel membunuh 11 warga Palestina dalam serangan di Nablus dan melukai sekitar 100 orang.

 

Di antara para korban terdapat seorang pria berusia 72 tahun yang ditembak mati oleh pasukan Israel di pasar populer di kota tua Nablus dan seorang pria berusia 61 tahun yang dikenali di rumah sakit oleh putranya, yang sedang bertugas sebagai perawat di sana.

Menanggapi pembantaian Nablus, tiga kelompok perlawanan di Tulkarem bergabung dengan nama gabungan ‘Brigade Tulkarm – Respon Cepat’.

Pada awal Maret, sekelompok pria bersenjata bertopeng membacakan pernyataan pertama brigade tersebut di depan sekelompok kecil orang di alun-alun utama Tulkarem. Orang yang membaca pernyataan itu adalah Amir Abu Khadijah.

 

Segitiga Jenin-Nablus-Tulkarm

Abu Khadijah dibunuh oleh pasukan Israel sebulan kemudian dalam baku tembak dengan tentara Israel yang mengepung sebuah rumah tempat dia bersembunyi di desa Izbat Shufa, yang terletak di pinggiran tenggara Tulkarm.

Dalam sebuah wawancara dalam bahasa Arab dengan media lokal Palestina ‘Ultra Palestine’, yang diterbitkan pada 6 Maret 2023, seorang anggota brigade Tulkarm mengatakan bahwa kelompok tersebut melampaui afiliasi politik dan termasuk dalam jajarannya individu-individu yang tergabung dalam Fatah, Hamas, PIJ dan PFLP.

Wawancara tersebut dilakukan dalam konteks protes di Tulkarem terhadap upaya pasukan keamanan PA untuk menangkap anggota brigade untuk membendung pengaruhnya yang semakin besar. Pejuang yang tidak disebutkan namanya itu menggunakan wawancara tersebut untuk menegaskan bahwa brigade tersebut tidak berselisih dengan Otoritas Palestina dan menyerukan kepada warga Palestina untuk tidak memulai konfrontasi satu sama lain.

Pembentukan Brigade Tulkarm membentuk segitiga perlawanan bersenjata Palestina dengan Jenin dan Nablus, mengingatkan kita pada momok Intifada Kedua, di mana segitiga serupa menjadi tulang punggung perlawanan bersenjata Palestina pada periode itu.

Pada bulan Juli 2023, pasukan Israel meningkatkan serangan kekerasan mereka, dan kini mengandalkan serangan udara, yang pertama kali digunakan di Jenin.

Baca Juga:  [POPULAR MINA] Serangan ke Rafah dan Aksi Muhammadiyah

Dalam setiap penyerbuan, pasukan Israel dihadang oleh para pejuang Palestina, yang kinerjanya tampak meningkat, dan mereka berhasil merusak kendaraan militer Israel dan melukai atau membunuh tentara Israel.

Pada bulan Oktober, ketika sebagian besar perhatian media terfokus pada perang Israel di , pasukan Israel menyerbu Tulkarem dan membunuh tujuh warga Palestina. Dalam penggerebekan itu, delapan tentara Israel terluka saat melawan pejuang brigade tersebut.

“Pengalaman bertempur para pejuang Tulkarem berkembang relatif lebih cepat dibandingkan di Jenin karena pengalaman tersebut dikumpulkan selama dua tahun di Jenin, kemudian di Nablus, dan kemudian diekspor ke Tulkarem,” kata Bilal Shalash, seorang sejarawan yang berspesialisasi dalam sejarah perlawanan Palestina, kepada The New Arab (TNA).

“Ini adalah pola dalam sejarah kontemporer Palestina. Perlawanan bersenjata berkembang di satu wilayah, pasukan Israel menindaknya, dan pengalaman berpindah ke tempat lain,” tambah Shalash.

Hasil yang ambigu

“Hal yang sangat baru dalam gelombang perlawanan bersenjata saat ini adalah bahwa kelompok-kelompok ini tidak terkait dengan kepemimpinan pusat, sehingga lebih sulit bagi pendudukan [Israel] untuk menghancurkan mereka dengan membunuh para pemimpin mereka. Meskipun ada upaya dari Israel, kelompok-kelompok ini masih terhubung” kata Shalash.

“Penindasan keras terhadap Tulkarem saat ini sedang berlangsung di saat perlawanan di Jenin dan Nablus belum berhasil ditumpas meskipun telah menerima banyak serangan, sehingga membuat situasi saat ini menjadi lebih rumit. Hasil dari konfrontasi saat ini di Tepi Barat bagian utara, khususnya di Tulkarem, juga sebagian bergantung pada bagaimana perang terjadi dalam waktu dekat di Gaza dan bagaimana situasi umum berkembang di wilayah Tepi Barat lainnya,” tambahnya.

Awal pekan ini, Faisal Salameh, seorang warga dan aktivis di Tulkarem, mengatakan kepada TNA bahwa setelah serangan Israel di kota tersebut, “pasukan pendudukan menyebabkan kerusakan besar, melibas jalan-jalan yang sudah dibuldoser di kamp-kamp pengungsi dan menghancurkan sebagian besar infrastruktur, meledakkan pipa limbah dan mematikan jaringan air dan listrik.”

Ketika serangan Israel menjadi lebih sering dan brutal di kota-kota di Tepi Barat yang diduduki, para pejuang Palestina setempat melakukan perlawanan.

Pada titik ini, Israel terlibat dalam “front ketiga” di Tepi Barat sementara mereka mengklaim bahwa mereka berusaha menghindarinya.

Sementara itu, jumlah korban tewas warga Palestina, termasuk warga sipil, terus meningkat di Tepi Barat dengan setiap serangan baru Israel.

Sejak awal tahun 2024, 48 warga Palestina telah dibunuh oleh pasukan Israel dan pemukim Yahudi di Tepi Barat.

Israel telah membunuh 367 warga Palestina di Tepi Barat yang diduduki sejak 7 Oktober. (AT/RI-1/P1)

Sumber: The New Arab

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.