ULAMA MALAWI TERBITKAN BUKU LURUSKAN SEJARAH ISLAM

Sheikh-Fattani_closeup_aug7
Syaikh Abdul Razzaq Fattani, ulama Malawi, negara di kawasan Afrika Selatan (Foto: mwnation)

Lilongwe, Malawi, 7 Muharram 1437/20 Oktober 2015 (MINA) – Dalam upaya melestarikan sejarah Islam di negara Afrika bagian selatan, salah satu ulama Muslim kenamaan Malawi telah menerbitkan sebuah buku berjudul Footprints of Islam in Malawi’ untuk meluruskan kesalahpahaman tentang Muslim di negara sekuler itu.

Abdul Razzaq Fattani, sang ulama, menyatakan penelitian berskala luas yang ia jalankan selama bertahun-tahun tentang masuknya Islam di bumi Malawi, mematahkan beberapa kesalahpahaman yang selama ini diyakini oleh sejumlah kalangan masyarakat.

“Footprints of Islam in Malawi merupakan hasil penelitian luas yang telah saya lakukan selama bertahun-tahun tentang pengenalan Islam di Malawi, meluruskan sejumlah kesalahpahaman yang diyakini oleh beberapa kalangan masyarakat religius di negara ini dan di tempat lain,” ungkap Fattani, mengatakan kepada OnIslam, Senin (19/10) waktu setempat.

“Upaya mulia ini bertujuan melestarikan catatan sejarah Islam di Malawi, mengingat generasi tua semakin beranjak sedikit, akan menciptakan sebuah generasi baru yang tidak mengerti sejarah masa lalu kita. Oleh karena itu, tugas kita untuk memberitahu mereka tentang sejarah kita dan meluruskan isu-isu yang sering disalahpahami,” kata cendekiawan Malawi keturunan India itu.

Ia melanjutkan, “Selama penelitian, saya menemukan banyak informasi (tidak akurat) yang direkam oleh penulis sebelumnya, tidak menggambarkan secara benar tentang Islam dan Muslim Malawi. Dengan rahmat dan karunia Allah, saya telah meluruskan penyimpangan ini.”

Dalam buku itu, merupakan yang pertama di rumpunnya, Fattani menguraikan faktor penyebab awal banyak Muslim berebut kesempatan mencapai pendidikan sekuler selama periode ketika Malawi baru saja menjadi protektorat Inggris.

“Banyak orang telah memberikan alasan yang tidak benar, (misalnya), tentang mengapa umat Islam tidak bisa mencapai pendidikan sekuler dalam jumlah besar dibandingkan dengan rekan-rekan Kristen mereka. Ketika Malawi menjadi protektorat, pemerintah kolonial melakukan semua itu untuk menghapus keberadaan Islam dari bumi Malawi,” tegas Fattani, membeberkan jawaban dari temuan risetnya.

“Muslim dipaksa untuk mengadopsi nama Kristen dan pemuda Muslim yang berusaha untuk mendaftar di sekolah-sekolah misionaris di seluruh negeri dipaksa untuk meninggalkan agama mereka dan menjadi penganut Kristen. Hal ini menyebabkan banyak orang tua Muslim tidak menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah tersebut,” tandasnya.

Akibat dari kebijakan kolonialisme dan pemaksaan keyakinan itu banyak dari kalangan komunitas Muslim tidak beroleh kesempatan untuk mengakses pendidikan sekuler.

“Upaya putus asa untuk melestarikan agama kita tersebut membuat kita rugi (tidak mendapatkan pendidikan). Tapi tidak ada yang menyesal. Kita telah melihat betapa pendidikan sekuler dijadikan taktik oleh para misionaris untuk membunuh Islam dengan membujuk kita mendapatkan pendidikan sekuler di sekolah mereka,” jelas Fattani.

Malawi merupakan sebuah negara sekuler dengan beragam agama yang dianut oleh penduduknya. Islam adalah agama terbesar kedua setelah Kristen. Populasi Muslim mencapai 36 persen dari 16 juta jiwa penduduk negara itu.

Kegagalan Pendidikan

Fattani menjelaskan akibat sikap komunitas Muslim menghindari pendidikan sekuler yang ditawarkan oleh para misionaris, kalangan Islam benar-benar absen dari kegiatan administrasi pemerintah kolonial.

“Hal ini terus berlanjut bahkan setelah (Malawi diberikan) kemerdekaan sebagai sebuah bangsa pada tahun 1964; (Sejak masa itu) kita telah berada di luar pemerintah. Kita selalu tidak diprioritaskan,” kata Fattani.

Bertolak dari masalah itu dan kekhawatiran akan keterasingan Muslim dari Malawi membuat beberapa pemimpin Muslim terdorong untuk mendirikan Lembaga Pusat Pendidikan Muslim. Tujuannya untuk memberikan kesempatakan besar bagi umat Islam mengakses pendidikan Islam dan sekuler.

“Lembaga itu memberikan beasiswa kepada Muslim yang membutuhkan untuk mengejar pendidikan. Ini menandai titik balik dalam upaya untuk mengusir pengaruh misionaris dari anak-anak Muslim yang menghadiri pendidikan sekuler,” jelasnya.

Dengan segala apresiasi dan pengakuan, kata Fattani, para cendekiawan Muslim dan pemimpin amat berperan dalam menubuhkan hari-hari Islam di Malawi. Meski keterbatasan sumber daya dan di bawah kondisi yang sangat sulit, mereka tercatat pernah membela Islam agar tetap hidup bagi generasi berikutnya.

“Buku ini juga bertujuan untuk memberikan penghargaan kepada semua individu Muslim dan organisasi yang berusaha dan rela menderita demi Islam di negara ini,” ujar lulusan Universitas Karachi di Pakistan yang telah mengajarkan Islam di Mozambik selama bertahun-tahun itu.

Pujian dan Sanjungan

Puluhan sejarawan, cendekiawan Muslim, dan akademisi mengapresiasi dan memuji buku Fattani dengan menggambarkannya sebagai ‘sebuah karya sastra yang sangat baik’.

Sarjana dan akademisi Muslim, Dr Imran Shareef Mohammad, mengatakan jejak Islam di Malawi telah membuka lembaran baru dalam sejarah agama-agama.

“Ini adalah buku yang bagus; (sebuah contoh) karya sastra yang menyatukan secara bersama-sama apa yang telah dilakukan oleh sejumlah pihak tentang pertumbuhan Islam di negara ini. Materi yang harus dihargai di dalam komunitas Muslim karena meluruskan segala kesalahpahaman,” kata Shareef.

“Buku ini berusaha untuk menghadirkan isu yang dijauhkan dari pengetahuan banyak orang.Buku ini memberitahu kita dari mana kita berasal, bagaimana kita tiba, dan di mana kita hari ini,”tambahnya.

Sependapat dengan Shareef, akademisi dan sejarawan terkenal, Dr Desmond Dundwa Phiri,sangat memuji buku Fattani. Ia menilai buku itu telah berhasil mengungkap fakta-fakta yang selama ini tersembunyi.

“(Buku) Ini adalah sebuah bagian yang berharga dari dokumen bersejarah. Buku tersebut telahmembeberkan beberapa fakta yang tersembunyi. Kita sekarang bisa mengetahui yangsebenarnya melalui buku ini,” kata Phiri. (T/P022/P4)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)