300 FEMINIS TOLAK RUU KONVERSI AGAMA

300 feminis tolak ruu beda agama
rna
rna

Thailand, 3 Sya’ban 1435/1 Juni 2013 (MINA) – Sebanyak 300 feminis dari seluruh Asia-Pasifik mengadakan konferensi besar di Thailand untuk membahas meningkatnya kekhawatiran perempuan Myanmar tentang hukum pernikahan beda agamga.

Sabtu yang merupakan hari kedua Forum Feminis Asia Pasifik (APFF) di kota Chiang Mai berencana mencari solusi dan untuk menyusun strategi menentang RUU yang diusulkan. RUU tersebut membatasi wanita Buddhis untuk mendapatkan izin dari orang tua mereka dan otoritas lokal sebelum menikah dengan pria dari agama lain.

“UU ini menghilangkan hak asasi perempuan,”, kata pendiri jaringan perempuan Akhaya Rangoon, Htar Htar mengatakan kepada website Irrawaddy di sela-sela forum an dikutip Mi’raj Islamic News Agency (MINA) pada Jumat.

Dia mengatakan bahwa hal itu tidak  hanya masalah lokal tetapi merupakan isu global. “Kita akan mendiskusikan masalah ini bersama, ” tandasnya.

Forum ini diselenggarakan oleh Forum Asia Pacific untuk Hukum dan Pemabngunan Perempuan (APWLD). Peserta membahas berbagai isu dari fundamentalisme kerusuhan agama, perdamaian dan keamanan, dan kelestarian lingkungan hidup.

Tin Tin Nyo, sekretaris Liga Perempuan Burma (WLB), mengatakan pembicaraan berfokus pada hak-hak buruh, perampasan tanah, kekerasan seksual dan peran perempuan dalam pembangunan perdamaian.

“Orang-orang Myanmar menghadapi kesulitan yang sama seperti yang di negara lain,” katanya, menyerukan “gerakan kolektif melalui wilayah Asia Pasifik, daripada gerakan terisolasi di masing-masing negara.”
Kate Lappin, koordinator regional APWLD, mengatakan hasil dari forum tersebut akan disampaikan kepada Majelis Umum PBB di New York pada bulan September.

RUU Pembatasan konversi agama adalah yang pertama dari beberapa proposal kontroversial yang menyebabkan meningkatnya nasionalisme Buddha.

Undang-undang yang diusulkan oleh kementerian agama dan belum diperdebatkan di parlemen, akan mengatur orang-orang yang ingin mengubah keyakinan mereka harus mendapatkan persetujuan dari pemerintah daerah setempat.

“Tidak seorangpun dapat mengkonversi agama dengan tujuan untuk menghina, memfitnah, merusak atau menyalahgunakan agama apapun,” kata laporan di surat kabar Myanmar The Mirror. Ia menambahkan bahwa di bawah undang-undang yang diusulkan, para pelaku yang melanggar akan mendapatkan sanksi penjara dua tahun. Agama telah menjadi isu sangat sensitif di mayoritas Buddha Myanmar, di mana beberapa kekerasan anti-Muslim dalam dua tahun terakhir menewaskan sekitar 250 orang.

Usulan konversi agama merupakan bagian dari serangkaian dari rancangan undang-undang yang sedang dipertimbangkan oleh departemen pemerintah dan disarankan oleh Presiden Thein Sein setelah kampanye oleh biarawan ekstremis.

Sebuah rencana yang sangat kontroversial untuk memberlakukan pembatasan nikah beda agama juga sedang dipertimbangkan namun rincian belum terungkap. Kelompok hak asasi manusia menyatakan kekhawatiran pembatasan pernikahan itu akan mengancam kebebasan beragama dan hak-hak perempuan.

Thein Sein, yang mengambil alih kekuasaan pada 2011, telah memimpin pembukaan mantan junta yang dikelola negara untuk dunia dan mengantar perubahan politik dan ekonomi yang pesat dan memacu Barat untuk mencabut sanksi. Tapi kerusuhan agama dan konflik di daerah-daerah etnis minoritas telah mengarahkan kepada reformasi.

Pernyataan tersebut juga mengatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk bebas mengkonversi dan akan memberi hukuman enam bulan penjara bagi siapa pun yang mencoba untuk melanggarnya. RUU tersebut mendapat sambutan secara tersembunti dari biarawan penentang adanya etnis Muslim, Wirathu yang memimpin kampanye nasionalis Buddha telah dituduh memicu kemarahan anti-Muslim.

“Itu tidak memenuhi kepuasan kami sepenuhnya. Tapi kamic menerimanya karena bisa menjadi pelindung,” katanya kepada AFP.

Laporan itu menyerukan masukan dari berbagai pihak mengenai RUU selama beberapa minggu mendatang. Namun belum jelas kapan akan dibahas oleh parlemen, yang dilanjutkan pada 28 Mei.

Konstitusi mengatakan setiap warga negara memiliki hak yang sama dengan bebas untuk mempraktikkan agama mereka. Myanmar telah menghadapi kritik dari kelompok hak asasi manusia atas kasus kontroversial “kebijakan dua anak” di beberapa bagian negara bagian barat Rakhine. Menurut PBB, Muslim Rohingya merupakan salah satu orang paling teraniaya di dunia. Gelombang kekerasan komunal mematikan antara umat Buddha dan Muslim di Rakhine pada 2012 menyisakan sekitar 140.000 pengungsi, terutama Rohingya.(T/P08/EO2)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: Admin

Comments: 0