GAGAL KE MALAYSIA, MIGRAN TERPERANGKAP TANPA KEWARGANEGARAAN

Kamp pengungsi Rohingya di Cox's Bazaar, Bangladesh, 16 Agustus 2009. (Foto: Reuters)
Kamp pengungsi Rohingya di Cox’s Bazaar, , 16 Agustus 2009. (Foto: Reuters)

Oleh: Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Yang tidak diinginkan oleh Bangladesh dan adalah menemukan ratusan terapung-apung di laut karena rute perdagangan transnasional telah terganggu.

Ratusan migran yang ditemukan itu sekarang tinggal di tenda-tenda di semak belukar perbatasan Bangladesh-Myanmar.

Setelah sepekan penuh bersama-sama di sebuah kapal menuju Malaysia, para migran yang terdiri dari pengungsi Rohingya dan warga Bangladesh, pada akhirnya kembali lagi ke tempat dekat mereka mulai.

Mereka melakukan perjalanan banyak menerjang mara bahaya demi menyelamatkan diri dari penganiayaan atau kemiskinan.

Sejak krisis migran di Asia Tenggara mencuat, lebih dari sebulan yang lalu, sejumlah 4.500 migran dan Bangladesh telah terdampar. PBB memperkirakan ada sekitar 2.000 orang masih terjebak di laut.

Myanmar menemukan perahu Muslim Rohingya dan Bangladesh yang mengangkut 733 penumpang, mayoritas laki-laki, tetapi juga ada perempuan dan anak-anak. Mereka ditinggalkan oleh penyelundup pada akhir bulan lalu. Pada akhirnya mereka turun di negara bagian Rakhine barat, Rabu 3 Juni 2015.

Baca Juga:  [POPULAR MINA] Serangan ke Rafah dan Aksi Muhammadiyah

Calon migran itu kemudian dibawa ke kamp-kamp di wilayah terpencil dekat perbatasan Myanmar-Bangladesh, di mana sebelumnya 200 laki-laki yang bernasib sama sudah ditahan.

Baik pemerintah Myanmaar dan Bangladesh tidak menunjukkan kesediaannya untuk menerima mereka.

Sesampainya di salah satu kamp, ​​para pria dimandikan untuk pertama kalinya setelah beberapa hari dan menerima perawatan medis yang mendesak.

Pejabat imigrasi Myanmar mencatat nama, umur dan alamat migran yang kini berada di jantung pergumulan diplomatik dengan Bangladesh.

“Saya ingin kembali ke Bangladesh. Saya berdoa kepada Tuhan untuk bisa pulang cepat,” kata Shophikuu (20) dari Chittagong Bangladesh.

Shophikuu sama seperti migran yang lainnya, naik perahu dengan harapan mendapat kehidupan yang produktif dan lebih baik di Malaysia.

Nishok (24) juga putus asa untuk kembali ke keluarganya. Dia mengatakan, ia terpaksa pergi karena di bawah todongan senjata.

“Seorang broker bertanya apakah saya ingin pergi ke Malaysia. Ketika saya menolak untuk pergi, ia menodongkan pistolnya pada saya dan membawa saya ke perahu,” katanya kepada Agene France Presse (AFP).

Baca Juga:  Puisi Penyair Gayo untuk Palestina

Nishok terpojok oleh di Cox Bazar, sebuah wilayah pesisir miskin di Bangladesh, di mana sekitar 300.000 pengungsi Rohingya dengan susah payah keluar dari Myanmar dan hidup bersama warga miskin Bangladesh.

Sebelumnya dilaporkan telah ada migran yang dipaksa melakukan perjalanan berbahaya ke selatan, karena broker bisa mendapatkan keuntungan besar dengan menuntut keluarga migran membayar biaya keberangkatan sekitar $ 2.000 serta menjual korban ke bisnis gelap di Malaysia.

Mengingat sulitnya perjalanan, di mana migran hanya diberi makan satu kali sehari, Nishok berbicara tentang orang tuanya, “Saya sangat rindu ibu dan ayah saya, saya benar-benar ingin melihat mereka.”

Setelah tindakan keras Thailand pada para penyelundup, melemparkan industri migran yang multi-juta dolar ini ke dalam kekacauan.

Kedua negara, Myanmar dan Bangladesh berada di bawah tekanan internasional untuk mengambil migran pulang dan meningkatkan kondisi hidup mereka agar menghentikan eksodus mereka.

Baca Juga:  Puisi Penyair Gayo untuk Palestina

Seorang pejabat imigrasi Myanmar mengatakan kepada AFP, gelombang pertama dari 200 migran yang perahunya terdampar di Malaysia, akan dipulangkan ke Bangladesh pada Ahad (7 Juni), tapi pejabat Bangladesh mengatakan mereka masih memverifikasi kebangsaan dan bersikeras mereka hanya akan menerima warga negara mereka sendiri.

Pihak berwenang Myanmar telah memberikan akses kepada organisasi-organisasi internasional termasuk badan pengungsi PBB (UNHCR) dan Medecins Sans Frontieres ke kamp-kamp di mana mereka bisa menyediakan makanan, air dan perawatan untuk migran yang tinggal di dalam tenda, masing-masing tenda menampung 15 orang.

Tapi perjalanan para migran selanjutnya masih belum jelas, sebab mereka belum tahu apakah akan mendapat kewarganegaraan.

Sekitar 1,3 juta warga Muslim Rohingya tidak memiliki kewarganegaraan dan dianggap oleh pemerintah menjadi imigran ilegal dari Bangladesh.

Puluhan ribu Muslim Rohingya telah melarikan diri dari Rakhine State, Myanmar, sejak 2012 ketika kekerasan komunal mematikan melanda negara itu.

“Saya ingin kembali ke tempat saya dan melihat anak-anak saya dan orang tua,” kata Mar Moot Toyo (25), seorang Rohingya dari Rakhine, kepada AFP sebelum diangkut ke kamp. (T/P001/R05)

 

Sumber: Nahar Net

 

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

 

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor:

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0