Jenderal Angkatan Darat Thailand Divonis Terlibat Perdagangan Manusia

Foto: Narong Sangnak © Scanpix

Bangkok, MINA – Seorang jenderal Angkatan Darat menjadi salah satu tokoh paling terkenal yang dinyatakan bersalah pada hari Rabu (19/7/2017) dalam persidangan kasus perdagangan manusia terbesar yang melibatkan lebih dari 103 terdakwa.

Kasus perbudakan modern ini terungkap menyusul penemuan mengerikan belasan kuburan dangkal di dekat perbatasan Thailand-Malaysia pada Juni 2015. Sejumlah korban yang tewas berasal dari etnik Muslim dari Negara Bagian Rakhine, Myanmar.

Ke-103 terdakwa dituduh melakukan perdagangan manusia dan beberapa dari mereka yang divonis bersalah juga dihukum karena terlibat dalam kejahatan transnasional yang terorganisasikan, penahanan paksa yang menyebabkan kematian, dan pemerkosaan.

Letnan Jenderal Manas Kongpaen, Kepala Komando Operasi Keamanan Internal (ISOC) di Selatan, dijatuhi hukuman 27 tahun penjara karena berbagai tuduhan perdagangan manusia dan sejumlah pelanggaran lainnya.

“Dia (Manas) juga bersalah terlibat dalam jaringan kejahatan transnasional terorganisasikan dan bekerja sama dengan orang lain untuk memfasilitasi perdagangan manusia,” kata seorang hakim di Pengadilan Pidana Bangkok seperti dilaporkan Bangkok Post yang dikutip MINA.

Baca Juga:  Warga London Memprotes Serangan Israel di Rafah

Nama Manas disebut secara khusus karena posisinya sebagai perwira senior di ISOC. Pelanggarannya mencakup perdagangan manusia dan menerima suap dalam kasus-kasus yang melibatkan migran dari Myanmar dan Bangladesh.

Pengadilan mencatat bahwa Manas, pejabat tertinggi yang diadili, memegang peran penting dalam aparat keamanan yang mencakup wilayah Thailand Selatan, sebuah pusat perdagangan manusia dalam sebuah jaringan yang membentang dari Myanmar hingga Malaysia.

Hakim mengungkapkan dia menerima 14,8 juta baht (sekitar Rp5,8 miliar) dari agen perdagangan manusia, dan menggunakan posisinya untuk memandu geng-genk perdagangan manusia di sekitar pos pemeriksaan setelah korban tiba di pantai terpencil sebelum dibawa ke kamp-kamp hutan.

Pada 2013 dia dipromosikan untuk memimpin ISOC di seluruh Thailand Selatan. Perdana Menteri Prayut Chan-o-cha, saat itu menjabat Kepala Angkatan Bersenjata Kerajaan Thailand, yang menandatangani perintah promosi tersebut.

Satu terdakwa lain yang dianggap gembong dalam kasus perdagangan manusia tersebut adalah Pajjuban Aungkachotephan, juga dinyatakan bersalah, dan dijatuhi hukuman 75 tahun penjara. Dia adalah seorang pengusaha terkemuka dan mantan politisi di Provinsi Satun di Thailand Selatan.

Baca Juga:  Mahasiswa Oxford hingga Cambridge University Turun Gunung Bela Palestina

Selain Manas dan Pajjuban Aungkachotephan, sejumlah pejabat polisi, politisi lokal, dan warga negara Myanmar juga didakwa melakukan penyelundupan dan perdagangan migran di perbatasan Thailand-Malaysia.

Persidangan digelar secara marathon dari pagi dan hingga Rabu (19/7) larut malam, sekitar 70 putusan telah dijatuhkan, dengan hukuman akan diumumkan kemudian. Prosesnya bisa memakan waktu berjam-jam dengan kemungkinan dilanjutkan Kamis (20/7).

Proses persidangan kasus ini dimulai sejak 2015 setelah sebuah aksi penindakan keras terhadap kelompok-kelompok perdagangan manusia menyusul penemuan mengerikan belasan kuburan dangkal di dekat perbatasan Thailand-Malaysia pada Juni 2015.

Intimidasi Saksi

Fortify Rights, lembaga hak asasi manusia yang berbasis di Asia Tenggara dan terdaftar di Swiss dan Amerika Serikat, menyebut putusan pengadilan itu sebagai penindakan besar terhadap perdagangan manusia, namun prosesnya dirusak oleh tuduhan intimidasi terhadap para saksi, juru bahasa, dan penyidik.

“Putusan pengadilan ini merupakan sebuah tahap penting untuk otoritas Thailand dan kami berharap ini mengirimkan gelombang kejut terhadap sindikat kriminal dan institusi yang terlibat di negara ini,” kata Amy Smith, Direktur Eksekutif Fortify Rights, dalam keterangan resmi yang diterima MINA, Kamis (20/7).

“Masih banyak yang harus dilakukan untuk mempertanggungjawabkan kejahatan mengerikan yang terjadi di Thailand dalam beberapa tahun terakhir dan untuk memastikan hal ini tidak akan pernah terjadi lagi,” ujarnya.

Terkait proses pengadilan, Amy mengatakan lembaganya mendokumentasikan pihak berwenang Thailand menahan saksi etnis Rohingya di tempat penampungan tertutup, melanggar hak kebebasan mereka, dan diduga menyerang saksi secara fisik.

Baca Juga:  Polisi Bubarkan Paksa Protes Pro-Palestina di Universitas Paris

Fortify Rights juga mengkhawatirkan nasib dua saksi lainnya yang bersembunyi karena mendapatkan ancaman. Pada tahap awal persidangan, Kementerian Kehakiman memberikan perlindungan formal kepada hanya 12 dari ratusan saksi yang dijadwalkan untuk bersaksi.

Menurut sumber pemerintah, Amy melanjutkan, pihak berwenang Thailand masih menahan lebih dari 121 orang Rohingya di tempat penampungan yang dikelola pemerintah.

“Fortify Rights mengkhawatirkan berbagai faktor tersebut dapat membuat bias hasil persidangan dan berpotensi melanggar standar pengadilan yang adil,” kata Amy. (L/R11/R01)

 

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: Syauqi S

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.