Ketegangan Israel-Iran Picu Perang Regional

Ilustrasi: Anggota Korps Garda Revolusi Islam melakukan latihan militer dengan rudal balistik dan kendaraan udara tak berawak di Gurun Garam Besar, di tengah Dataran Tinggi Iran, pada 15 Januari 2021 di Iran. [Sepahnews/Handout – Anadolu Agency]

Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior MINA News

Menurut para pengamat Timur Tengah, dukungan keras Presiden Amerika Serikat Joe Biden terhadap Israel bertentangan dengan tujuan AS untuk menghindari perang regional di Timur Tengah.

Biden memberikan peringatan singkat tegas kepada Iran ketika negara itu akan membalas Israel atas serangan udara mematikan terhadap konsulat Iran di Damaskus, suriah.

Namun Iran tetap melancarkan serangannya ke Israel, sehingga meningkatkan kekhawatiran akan terjadinya perang regional dan menunjukkan batas-batas upaya pencegahan AS di Timur Tengah.

Iran pun telah meluncurkan lebih dari 200 drone pembunuh, rudal balistik, dan rudal jelajah dalam jumlah besar.

Iran berkeras bahwa mereka bertindak untuk “membela diri” setelah Israel menyerang misi diplomatiknya di Damaskus.

Uni Eropa, Inggris, Perancis, Meksiko, Ceko, Denmark, Norwegia dan Belanda semuanya mengecam serangan Iran.

Sementara ketika misi diplomatik Iran di Damaskus diserang Israel, Uni Eropa terdiam.

Dalam pernyataannya, Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amir-Abdollahian mengatakan, negaranya hendak menunjukkan “peringatan yang diperlukan” ke Amerika Serikat atas serangan balasannya terhadap Israel, menyusul serangan rudal Israel pekan lalu terhadap konsulat Iran di ibu kota Suriah, Damaskus.

Serangan mematikan tanggal 1 April 2024 itu menewaskan 16 orang, termasuk Brigadir Jenderal Mohammad Reza Zahedi dan Brigadir Jenderal Mohammad Hadi Haji Rahimi.

Situasi ini telah memberikan tekanan lebih lanjut pada kebijakan luar negeri Washington.

AS terjebak di antara dua prioritas yang tampaknya saling bertentangan, menawarkan dukungan tanpa syarat kepada Israel atau mencegah konflik di Gaza meluas.

Trita Parsi, Wakil Presiden Eksekutif di Quincy Institute, sebuah wadah pemikir yang mempromosikan diplomasi, mengatakan, “Biden menggandakan formula yang sejauh ini benar-benar membawa bencana.” (Shahifah Al-Quds, Sabtu, 13 Apreil 2024).

Parsi mengatakan Biden seharusnya menegur Israel karena menyerang kedutaan Iran pada 1 April, dan itu melanggar hukum internasional dan itu justru akan membahayakan pasukan AS di wilayah Timur Tengah.

Namun, Biden malah berjanji untuk mendukung Israel menghadapi serangan Iran.

AS tidak mengecam serangan Israel terhadap fasilitas diplomatik Iran di Suriah, yang menewaskan beberapa anggota Korps Garda Revolusi Islam (IRGC), termasuk dua jenderal. Namun Gedung Putih juga mengatakan tidak akan terlibat di dalamnya.

Para diplomat AS dilaporkan telah melakukan komunikasi melalui telepon, berbicara dengan rekan-rekan mereka di seluruh dunia untuk mendesak Iran menahan diri.

Para pejabat AS juga menegaskan kembali dukungan kuat negara mereka terhadap Israel, sehingga meningkatkan kekhawatiran akan konfrontasi langsung antara Washington dan Teheran.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sendiri sejak awal perang di Gaza, memang memberi lampu hijau terhadap pembunuhan massal dan pelanggaran hak asasi manusia di wilayah Palestina.

“Hal ini membantu membentuk strategi Israel yang tidak mengenal batas, tidak peduli dengan hukum internasional, karena mereka memahami bahwa Biden akan mendukung mereka apa pun yang terjadi,” kata Parsi kepada Al Jazeera.

Sina Toossi, peneliti senior di lembaga pemikir The Center for International Policy, menyebut pendekatan AS terhadap krisis ini “munafik dan kontradiktif”.

“Mereka menyerukan kepada semua pihak di kawasan ini untuk menahan diri, mengatakan kepada Iran jangan melakukan eskalasi, sementara mereka mendorong Israel untuk bertindak dengan kekebalan hukum internasional,” kata Toossi.

Pemimpin Tertinggi Iran Ali Khamenei menegaskan, “Rezim Zionis Israel melakukan kesalahan dan harus dihukum.”

Menurut Penulis Al Jazeera asal Lebanon, Ali Harb, masih harus dilihat di mana dan bagaimana hukuman yang dijanjikan itu akan dijatuhkan. Dan jika hal itu terjadi, hal ini bisa menjadi titik balik dalam konflik Gaza yang akan menjadi semakin meluas.

Kelompok Hezbollah Lebanon yang bersekutu dengan Iran telah terlibat baku tembak dengan pasukan Israel setiap hari.

Kelompok Houthi Yaman yang telah menembakkan rudal dan drone ke kapal-kapal yang terkait dengan Israel di Laut Merah, dan serangan kelompok di Irak yang menyerang sasaran AS di Irak, semakin menunjukkan konflik meluas tersebut.

Israel Panik

Serangan balasan Iran yang mengejutkan, membuat Israel panik. Negeri Zionis itu pun segera meminta Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa () agar melakukan rapat darurat untuk mengecam serangan tersebut.

Permintaan tersebut dilayangkan melalui surat resmi yang dikirimkan Duta Besar Israel untuk PBB Gilad Erdan kepada Presiden Dewan Keamanan PBB Vanessa Frazier.

Baca: https://minanews.net/panik-dibombardir-iran-israel-minta-dk-pbb-rapat-darurat/

“Serangan Iran merupakan ancaman serius terhadap perdamaian dan keamanan global dan saya berharap Dewan Keamanan akan menggunakan segala cara untuk mengambil tindakan nyata terhadap Iran,” tulis Erdan dalam postingan di X.

Gilad juga meminta DK PBB segera menetapkan Korps Garda Revolusi Iran (IRGC) sebagai organisasi teroris. Menurutnya, serangan Iran menjadi ancaman terhadap perdamaian dunia.

“Saya berharap Dewan Keamanan segera bertindak melawan Iran dengan segala cara,” katanya.

DK PBB pun kabarnya akan mengadakan pertemuan darurat mengenai serangan Iran yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Israel.

Baca: https://minanews.net/panik-dibombardir-iran-israel-minta-dk-pbb-rapat-darurat/

Menurut informasi Juru Bicara Malta, yang memegang jabatan presiden bergilir DK PBB bulan April ini, mengatakan Dewan Keamanan menargetkan pertemuan tersebut diadakan pada Ahad (14/4) pukul 16.00 waktu setempat.

Ini menjadi standar ganda kesekian kalinya ketika “teroris” disematkan pada organisasi atau perlawanan bersenjata yang melawan Israel. Termasuk yang disematkan kepada gerakan perlawanan Hamas di Palestina. Sementara Zionis Israel tidak juga dicap sebagai teroris bahkan “The real terrorist”.

Deeskalasi Segera

Sementara itu, India menyatakan sangat prihatin atas meningkatnya permusuhan antara Israel dan Iran yang mengancam perdamaian dan keamanan di kawasan Asia Barat.

“Kami menyerukan deeskalasi segera, menahan diri, mundur dari kekerasan, dan kembali ke jalur diplomasi,” kata pernyataan Kementerian Luar Negeri India.

Pandangan serupa dinyatakan Qatar, yang menyerukan semua pihak terkait untuk menghentikan eskalasi dan melakukan pengendalian diri secara maksimal, menyusul tanggapan Iran dengan rudal dan drone terhadap serangan Israel yang menargetkan konsulat Iran di ibu kota Suriah, Damaskus.

Kementerian Luar Negeri Qatar menyatakan keprihatinan mendalam mengenai perkembangan situasi di kawasan Teluk, dan menyerukan semua pihak untuk menghentikan eskalasi, menenangkan diri, dan menahan diri sepenuhnya, Al-Quds Al-Araby melaporkannya.

Qatar juga mendesak komunitas internasional untuk mengambil tindakan segera untuk meredakan ketegangan dan mengurangi eskalasi di kawasan.

Dalam pengamatan Prof. Vali Nasr, seorang guru besar hubungan internasional di Universitas John Hopkins, mengatakan, Biden tidak ingin AS terlibat perang dengan Iran, terutama saat ia berupaya untuk terpilih kembali sebagai Presiden AS pada pemilu bulan November 2024.

“Posisi Amerika Serikat adalah mereka tidak ingin perang meluas.

Mereka tidak ingin terseret ke dalam perang dengan Iran. Mereka tidak ingin perang Gaza menjadi perang regional,” katanya.

“Mereka mungkin mengatakan sesuatu kepada Israel di balik layar, tapi menurut saya secara terbuka mereka mencoba memperingatkan Iran agar tidak meningkatkan perang juga,” lanjutnya.

Menurut Ryan Costello, Direktur Kebijakan di Dewan Nasional Iran Amerika (NIAC), sebuah kelompok berbasis di Washington, DC yang mendukung diplomasi AS dengan Iran, memperingatkan bahwa jika AS bergabung dengan Israel dalam serangan balasan, dampaknya bisa menjadi bencana besar.

“Ini benar-benar gegabah dan pasti akan menjerumuskan seluruh wilayah ke dalam konflik berdarah dan penuh bencana,” katanya.

Sementara itu, Parsi dari Quincy Institute menekankan bahwa solusi terbaik terhadap ketegangan yang meningkat di Timur Tengah adalah dengan mengakhiri perang di Gaza.

“Dalam gambaran yang lebih luas, tentu saja ada jalan deeskalasi yang selalu tersedia bagi Biden, dan itu adalah mendorong gencatan senjata di Gaza,” kata Parsi.

“Gencatan senjata akan menghentikan serangan milisi Irak terhadap AS, akan menghentikan serangan Houthi terhadap kepentingan Israel, dan akan menghentikan eskalasi antara Iran dan Israel serta Hezbollah dan Israel,” ujarnya.

Rusia sudah mengingatkan dan mendesak pelaksanaan resolusi PBB, yang dikeluarkan pada bulan Maret lalu, yang berisi seruan soal gencatan senjata di Gaza.

Rusia mengingatkan bahwa resolusi Dewan Keamanan PBB mengikat semua negara anggota PBB, termasuk Resolusi 2728 yang disahkan pada 25 Maret.

Sebuah gencatan senjata yang antara lain menyangkut pertukaran sandera, akan semakin sulit terlaksana setelah Gerakan Perlawanan Hamas menolak usulan gencatan senjata terbaru dari mediator, di tengah ketegangan menyusul serangan Iran ke Israel.

Menurut Mossad, agen intelijen eksternal Israel, Hamas menolak garis besar gagasan yang disampaikan oleh para mediator (AS, Qatar dan Mesir).

Itu semua akibat ulah negara zionis Israel itu sendiri yang bertindak semaunya sendiri, tanpa mengindahkan resolusi PBB tentang gencatan senjata dan dengan semena-mena menyerang misi diplomatik negara lain. (L/RS2/RS3)

Mi’raj News Agency (MINA)

*Penulis, Ali Farkhan Tsani, adalah Wartawan dan Redaktur Senior MINA News, Duta Al-Quds Internasional, Da’i Pondok Pesantren Al-Fatah Bogor, Penulis Buku Kepalestinaan. Penulis, Dapat dihubungi melalui Nomor WA : 085817123848, atau email [email protected]

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.