Indonesia Angkat Pentingnya Literasi Keagamaan Lintas Budaya di Sela-sela Sidang Dewan HAM PB, 

Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho (paling kanan), menyampaikan paparan tentang pelatihan guru dan pendidik tentang Literasi Keagamaan Lintas Budaya yang telah dilakukan di Indonesia.(Foto: Leimena Institute)

Jenewa, MINA – Deputi Perwakilan Tetap RI untuk Perserikatan Bangsa-bangsa (), Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dan organisasi lainnya di Jenewa, Swiss, Duta Besar Achsanul Habib, mengangkat pentingnya literasi keagamaan lintas budaya sebagai implementasi pendidikan lintas agama, untuk mengatasi segala bentuk intoleransi dan prasangka beragama yang menjadi tantangan dunia saat ini.

Hal itu disampaikan Dubes Habib dalam acara tambahan (side event) di sela-sela Sidang Dewan HAM PBB ke-55 di Jenewa, Swiss, Selasa (12/3). Tema yang diangkat adalah “The Role of Cross-Cultural Religious Literacy and Human Rights Education in Combating Intolerance, Negative Stereotyping, and Stigmatizazion of Persons Based on Religion and Belief”, sejalan dengan Resolusi Dewan HAM PBB 16/18.

“Pada saat ini, peningkatan literasi keagamaan lintas budaya dan pendidikan hak asasi manusia memainkan peran penting dalam menciptakan lingkungan yang menolak segala bentuk intoleransi dan prasangka beragama,” kata Dubes Habib saat menyampaikan sambutan pembuka.

Acara tambahan tersebut diinisiasi oleh Dubes Achsanul Habib bersama Perwakilan Tetap Republik Gambia untuk Kantor PBB dan organisasi lainnya di Jenewa, Duta Besar Muhammadou M.O. Kah, yang juga memberikan sambutan pembuka. Acara dimoderatori oleh Presiden Asosiasi Forum Lintas Agama G20, Prof. W. Cole Durham, Jr., dengan peserta berasal dari perwakilan pemerintah negara-negara asing, organisasi internasional, dan masyarakat sipil di Jenewa.

Baca Juga:  Banyak Konten Palestina, Senator AS Dukung Pelarangan TikTok di Negaranya

Dubes Habib mengatakan tema yang diangkat sangat relevan dengan peningkatan kasus pelanggaran HAM terhadap individu berdasarkan agama atau kepercayaan di seluruh dunia. Selain intoleransi, stereotip dan stigmatisasi negatif, anggota kelompok agama dan penganut agama di seluruh dunia juga menghadapi kebencian, diskriminasi dan kekerasan setiap hari.

“Kegagalan untuk mengatasi masalah mendesak ini akan membawa kita ke jalur yang lebih berbahaya menuju ketidakamanan dan konflik seperti yang telah diajarkan sejarah selama beberapa dekade,” katanya.

Dubes Habib menegaskan literasi keagamaan lintas budaya telah menjadi bagian integral dari kebijakan luar negeri Indonesia. Hal tersebut dipromosikan lewat dialog antaragama yang telah terjalin secara bilateral dengan 34 negara mitra.

Pemerintah Indonesia telah memprakarsai Jakarta Plurilateral Dialogue (JPD) pada Agustus 2023 untuk mengarusutamakan komitmen global dalam melaksanakan Resolusi Dewan HAM PBB 16/18 tentang “Melawan Intoleransi, Stereotip, dan Stigmatisasi Negatif, serta Diskriminasi, Hasutan untuk Melakukan Kekerasan dan Kekerasan terhadap Orang-orang Berdasarkan Agama atau Kepercayaan”.

Baca Juga:  1.908 Ton Bantuan Kemanusiaan Türkiye, Qatar Berlayar ke Gaza

Selanjutnya, pada November 2023, Kementerian Hukum dan HAM RI bersama Institut Leimena juga telah melaksanakan Konferensi Internasional tentang Literasi Keagamaan Lintas Budaya untuk mendorong masyarakat yang damai dan inklusif.

Dubes Habib menjelaskan literasi keagamaan berarti membangun pengetahuan dan pemahaman tentang pentingnya perbedaan agama dan keyakinan, termasuk agama yang kita anut. Tujuannya memupuk rasa saling menghormati dan menghilangkan ketidakpedulian dan kesalahpahaman yang meningkatkan intoleransi dan prasangka.

“Kami senang Institut Leimena sebagai promotor utama literasi keagamaan lintas budaya di Indonesia dapat bergabung sebagai salah satu pendukung acara penting ini,” kata Dubes Habib.

Pendekatan Pendidikan

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, mengatakan literasi keagamaan lintas budaya atau LKLB menjadi contoh pendekatan pendidikan dari Indonesia untuk mengatasi masalah intoleransi dan membangun relasi lebih baik antar penganut agama yang berbeda, sesuai dengan tujuan Resolusi Dewan HAM PBB 16/18.

Matius menyebut diskusi panel yang diadakan di sela-sela Sidang Dewan HAM PBB ini menunjukkan signifikansi dari inisiatif Indonesia lewat program pelatihan LKLB yang berfokus kepada guru dan pendidik. Program pelatihan LKLB dilakukan Institut Leimena bersama 25 lembaga mitra telah melatih lebih dari 7.000 pendidik di 34 provinsi di Indonesia dalam waktu kurang dari 2,5 tahun.

Baca Juga:  Turkiye Desak Israel Segera Mundur dari Perlintasan Rafah

“Program LKLB semakin mendapatkan perhatian dunia internasional di tengah semakin berkembangnya masalah ujaran kebencian, Islamofobia, dan lain-lain,” katanya.

Matius menambahkan Dubes Muhammadou M.O. Kah, yang menjabat sebagai Wakil Presiden Dewan HAM PBB saat Konferensi Internasional LKLB pada 13-14 November 2023, telah mendorong agar inisiatif LKLB dari Indonesia diperkenalkan ke masyarakat dunia yang lebih luas karena amat dibutuhkan.

Selain Matius Ho, pembicara lain dari side event ini adalah Prof. Katherine Marshall (Senior Fellow Georgetown University Amerika Serikat), Prof. Rodrigo Vitorino Souza Alves (Federal University of Uberlandia, Brasil), dan Prof. David M. Kirkham (Executive Director, GO-HRE, Swiss), Maria Lucia Uribe Torres (Director Arigatou International, Swiss).

“Panelis lain menanggapi sangat positif atas penerapan program LKLB di Indonesia. Narasumber lain yang juga menyampaikan contoh program di negara-negara lain, seperti Maria Lucia Uribe Torres (Arigatou International) dan David Kirkham (GO-HRE), justru berharap dapat bekerja sama juga karena melihat banyak kecocokan dengan program LKLB,” kata Matius.(R/R1/P2)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rana Setiawan

Editor: Rana Setiawan

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.