RESTO FRANCHISE WAJIB MILIKI SERTIFIKAT HALAL

Ylki Produk Halal

1Ylki Produk HalalJakarta, 5 Sya’ban 1435/3 Juni 2014 (MINA) – Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mengatakan, untuk menjamin bahwa produk mereka aman dikonsumsi konsumen muslim, maka resto franchise wajib memiliki sertifikat halal.

Hal itu disampaikan Tulus dalam diskusi mencari solusi dalam percepatan pembahasan Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH), yang diadakan oleh Sekretariat DPR-RI bekerjasama dengan Forum Wartawan DPR,  Senin  di    Gedung DPR, Jakarta.

Hadir sebagai pembicara, Anggota Panja RUU JPH H. Raihan Iskandar, Direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim, dan Ketua YLKI Tulus Abadi,

Menurut Tulus, melindungi konsumen pemerintah juga harus meningkatkan pengawasan terhadap peredaran produk. Selama ini masih banyak produk yang tidak jelas informasi kandungannya, misalnya masih ada yang dalam huruf kanji. “Ini juga harus menjadi perhatian,” katanya.

Tulus Abadi juga mengatakan, dalam UU Perlindungan Konsumen sebenarnya sudah diatur mengenai hak-hak konsumen, termasuk dalam hal halal. Dalam hal RUU JPH, menurut Tulus idealnya memang mandatory.

Namun, harus pula diingat bahwa untuk hal tersebut perlu diperhatikan aspek-aspek lain, seperti infrastruktur, kesiapan SDM dan sebagainya. Sebagai jalan tengah diusulkan agar mandatory halal dapat diterapkan secara bertahap dan diterapkan pada daerah dan jenis produk tertentu.

Resto franchise dari luar negeri, harus halal. Namun di Bali, rasanya tidak mudah untuk menerapkan UU Produk halal secara mandatory.

Pemerintah hanya bertindak selaku regulator, tak pantas menjadi operator. Kalau kedua peran tersebut dijalankan oleh pemerintah, besar kemungkinan akan menjadi ladang korupsi. “Ingat masalah haji,” ujarnya.

Jika MUI bersikukuh menangani pemeriksaan halal, harus pula diingat bahwa MUI harus bisa melayani sertifikasi halal sampai ke seluruh pelosok Indonesia.

Jangan karena pelayanannya hanya di Jakarta dan kota-kota tertentu saja maka hal tersebut akan menimbulkan biaya tambahan bagi pengusaha daerah yang harus membayar lebih mahal,” kata Tulus Abadi.

Anggota Panja RUU JPH H. Raihan Iskandar mengatakan, RUU JPH tersebut sebenarnya bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Namun dalam perjalanannya ada masalah krusial yang harus disepakati, misalnya mengenai siapa yang berwenang menangani produk halal.

Posisi terakhir, masalah semakin berat ketika bicara tentang fatwa halal, yang melibatkan para ulama. “Kalau melibatkan banyak ulama dan harus berkumpul dalam satu wadah, pasti akan menyebabkan fatwa halal semakin lama,” ujarnya. Masalah lain terletak di eksekutif, karena di pemerintah juga ada perbedaan pendapat, katanya.

Oleh karenanya, pihaknya mengusulkan beberapa alternatif lain yang ditawarkan, misalnya MUI menangani fatwa halal. Sementara bidang lain ditangani pemerintah.

“Posisi MUI ini baina wa baina tapi harus dimuliakan. Karena itu, DPR berpendapat bahwa MUI diberi peran yang mulia di bidang halal, yakni menangani fatwa.

DPR menganalogikan tentang zakat, di mana banyak lembaga yang menangani masalah zakat dan semua berjalan dengan baik. Pemerintah juga memiliki lembaga zakat sendiri.

Dalam hal halal, pemerintah selaku regulator bertindak sebagai pengawas. Sedangkan sifat sertifikasi halal, merujuk UU sejenis yang sudah ada maka sifatnya adalah voluntary. (L/P012/P04)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

 

 

Wartawan: kurnia

Editor:

Comments: 0